Sedihnya Kisah Pasien di Ambon Ini. Minta Kaki Diamputasi Hingga Terusir dari Rumah Sakit

Ibu muda ini hanya bisa menaruh kedua tangan di atas kepalanya sambil sesekali mengerang kesakitan yang terus menjalar ke tulang kaki hingga tubuhnya

Editor: Mairi Nandarson
kompas.com/Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty
Alwiyah Patty penderita infeksi tulang hanya bisa terbaring lesu sambil ditemani suaminya Azis Hadeo di sebuah kamar kontrakan keluarganya di kawasan Batu Merah Kecamatan Sirimau Ambon, Minggu (30/10/2016). Harapannya untuk mendapatkan kesembuhan di rumah sakit pupus setelah pasien BPJS ini diminta keluar dari rumah sakit tempatnya dirawat pada Jumat pekan lalu 

BATAM.TRIBUNNEWS.COM, AMBON - Alwiyah Patty hanya bisa terbaring lesu.

Ibu muda ini hanya bisa menaruh kedua tangan di atas kepalanya sambil sesekali mengerang kesakitan yang terus menjalar ke tulang kaki hingga tubuhnya.

Di kamar kos-kosan salah satu keluarganya di kawasan Batu Merah, Kecamatan Sirimau Ambon, ibu berusia 35 tahun ini terbaring lemah tanpa penanganan medis.

Kaki kirinya tidak lagi normal seperti dulu karena betisnya terus mengecil hingga tampak hanya kulit yang membungkus tulang kakinya.

Sedangkan kaki bagian kanannya harus ia relakan diamputasi pada tahun 2012 silam karena penyakit infeksi tulang yang dideritanya.

Akibat penyakit menahun yang dideritanya itu, Alwiyah kini hanya bisa pasrah sambil berdoa, semoga rasa sakit yang dideritanya bisa segera berakhir.

Saat ini, tak banyak yang bisa ia diperbuat selain mengonsumsi obat penahan rasa nyeri.

Diusir dari rumah sakit

Jumat pekan lalu mungkin menjadi hari yang paling sial bagi Alwiyah.

Harapannya untuk mendapatkan kesembuhan di Rumah Sakit Bahayangkara Ambon pupus, setelah ibu beranak dua ini diminta keluar oleh dokter dari rumah sakit tempatnya dirawat.

Meski dengan berat hati, Alwiyah dan sang suami, Azis Hadeo terpaksa harus angkat kaki dari rumah sakit.

Padahal, kondisi Alwiyah saat itu masih sangat lemas dan membutuhkan perawatan.

Alwiyah juga masih terus menggigil karena tidak mampu menahan sakit yang dideritanya.

Dalam kondisi seperti itu, Alwiyah harus digotong suaminya keluar dari rumah sakit bersama semua barang-barangnya.

Saat ditemui Kompas.com, Alwiyah menuturkan kisah sedih yang menimpa dirinya itu.

Dia mengaku terpaksa keluar dari rumah sakit tersebut setelah diperintahkan seorang dokter yang sempat menemuinya di sana.

“Saat itu, dokter tanya kondisinya saya gimana? Lalu saya menjawab masih lesu dan sesak nafas, saya juga masih merasa keram dan menggigil, tapi dokter bilang ibu keluar hari ini saja nanti bisa berobat di luar,” kata Alwiyah, Minggu (30/10/2016).

Pernyataan dokter tersebut membuat Alwiyah dan suaminya kaget.

Meski memiliki kartu jaminan kesehatan dari BPJS, harapan untuk menikmati perawatan dengan baik tak juga didapatkan.

Menurut Alwiyah, dokter yang memintanya keluar dari rumah sakit tidak begitu dikenalinya.

Yang diingat, dokternya seorang perempuan yang saat itu sempat mendatanginya di ruang perawatan.

Saat itu dokter itu sempat mengeluarkan perkataan yang begitu menghentak hatinya.

Kata dokter, saat itu statusnya sebagai pasien BPJS akan dicabut jika dia tidak segera keluar dari rumah sakit.

“Saya dan suami hanya bisa pasrah setelah mendengar dokter itu.

Dia bilang kepada saya kalau tidak keluar nanti saya bayar biaya rumah sakit karena status saya sebagai pasien BPJS akan dicabut.

Dia juga bilang nanti apa kata pasien lain kalau saya masih tetap di rumah sakit,” ujar Alwiyah.

Bolak-balik ke rumah sakit

Alwiyah sendiri sudah tiga kali masuk keluar Rumah Sakit Bahayangkara.

Sebelumnya, dia juga sempat menjalani perawatan karena penyakit yang sama di Rumah Sakit dr Latumeten dan juga RSU Haulussy Ambon.

Pertama kali dia masuk ke Rumah Sakit Bhayangkara pada pertengahan Agustus 2016 lalu. Saat itu, dia dirawat kurang selama lebih dua minggu.

Setelah keluar dan kembali ke kampung halamannya, dia masuk lagi ke rumah sakit tersebut akibat penyakit yang dideritanya kambuh.

“Dokter ahli bedah lalu mengangkat tulang kaki saya yang patah, saya sempat dirawat tiga hari setelah pengangkatan tulang kaki dan setelah itu saya keluar,” ujarnya.

Terakhir dia kembali masuk ke rumah sakit itu pada seminggu lalu.

Namun sayang harapannya untuk sembuh dari penyakitnya pupus karena dia sudah lebih dulu diminta pulang ke rumah oleh dokter di rumah sakit tersebut.

Padahal, sesuai hasil foto rontgen tulang yang ada di kakinya sudah retak.

“Saya minta kepada dokter amputasi saja kaki saya. Keluarga juga sudah setuju tapi ditolak oleh dokter ahli tulang, padahal hasil rontgen tulang kaki saya sudah retak,” katanya.

Alwiyah menuturkan, sebelum memutuskan ke Rumah Sakit Bhayangka, dua pekan lalu dia sempat menjalani perawatan medis di RSU Haulussy Ambon dan sempat ditangani oleh dokter ahli tulang bernama dokter Wijaya.

Sayang, apa yang dialaminya di Rumah Sakit Bhayangkara juga ikut dialaminya di RSU Haulussy.

Dokter Wijaya yang menanganinya juga memintanya keluar dari rumah sakit terbesar di Maluku itu dengan alasan penyakit yang dideritanya tidak terlalu parah sehingga cukup diobati di luar saja.

Alwiyah mengaku dokter Wijaya sebelumnya sempat memutuskan untuk melakukan operasi terhadap kaki kirinya.

Namun sang dokter lalu membatalkan rencana tersebut.

Padahal saat itu dia dan suaminya telah membeli sejumlah obat dan cairan NACL sebanyak tujuh botol untuk keperluan operasi.

“Dokter Wijaya telah setuju untuk operasi, namun di hari yang sama dokter membatalkan operasi setelah bertemu dengan sejumlah perawat," kata Alwiyah.

Padahal, kata Alwiyah, hari itu dokter Wijaya sudah menanyakan kesiapan untuk operasi. Awliyah pun mengatakan siap.

"Namun setelah bertemu dengan perawat dia kembali dan bilang kepada saya nanti berobat saja di klinik, dia juga menyarankan membeli salap di apotiknya saja dan meminta kita keluar dari rumah sakit karena katanya kaki saya tidak parah,” tuturnya.

Dokter Wijaya yang menanganinya di RSUD Haulussy juga meminta Alwiyah agar membeli salep untuk penyembuhan kakinya di apotek. Salap itu seharga Rp 200.000 lebih.

Menurut Alwiyah, saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara, dokter Wijaya juga meminta dokter ahli bedah untuk tidak melakukan operasi.

Padahal, ia mengaku kondisi kakinya sudah sangat parah, bahkan dia sendiri dapat merasakan ada tulang kakinya yang tidak lagi tersusun secara beraturan.

“Jadi saat itu, dokter bedah yang menangani saya meminta berkonsultasi dengan dokter ahli tulang, ternyata yang datang adalah dokter Wijaya, saat itu dia langsung bilang, ini pasien saya, tidak perlu dioperasi cukup berobat di luar dan pakai salep saja,” ujarnya.

Kartu BPJS tak berguna

Meski terdaftar sebagai pasein BPJS, namun selama menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara, Alwiyah dan suaminya harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah.

Tak pelak, selama Awliyah berada di rumah sakit, sang suami membanting tulang untuk mendapatkan uang demi keperluan pengobatan istrinya tersebut.

“Saya juga heran, padahal istri saya menggunakan BPJS, tapi jujur saja selama berobat di rumah sakit kita sudah mengeluarkan uang hingga lebih dari Rp 3 juta, itu belum terhitung biaya obat-obat yang saya beli saat istri saya masuk di RSUD Haulussy,” ujar Azis, sang suami.

Jumlah uang yang dikeluarkan itu, kata Azis, untuk membeli sejumlah obat yang diminta pihak rumah sakit, serta periksa darah selama dua kali.

Karena tidak punya cukup uang, Azis terpaksa meminjam uang kepada keluarganya yang ada di Ambon.

Waktu itu, kata Azis, dia sempat bingung dengan pelayanan rumah sakit. Pasalnya, meski memiliki kartu BPJS mandiri, dia masih saja mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah untuk kesembuhan istrinya.

Karena itu dia sempat berusaha untuk menemui pihak BPJS, namun upayanya itu gagal.

“Saat itu saya ingin mengadu ke BPJS, namun perawat di rumah sakit itu bilang kepada saya nanti ketemu dengan kepala ruangan saja, dia bilang nanti seluruh nota pembelian obat disimpan sebagai bukti,” katanya.

Azis mengaku hingga kini uang pengganti yang diharapkan kembali tak juga didapat.

Pihak rumah sakit beralasan bahwa pihak BPJS belum menyetorkan uang ke rumah sakit tersebut, sehingga dia diminta untuk menyimpan nota pembelian obat.

”Perawat itu bilang BPJS belum setor uangnya, makanya saya diminta menyimpan nota yang ada.

Saya hanya diminta untuk menitipkan nomor telepon,” kata dia.

Saat ini, kata Azis, dia hanya bisa pasrah melihat kodnisi istrinya.

Dia mengaku sudah lelah bolak-balik ke rumah sakit karena selalu diperlakukan tidak manusiawi. Apalagi, saat ini dia tidak punya uang untuk biaya perawatan lagi.

“Mau gimana lagi kita sudah bingung entah mau ke rumah sakit mana, kita juga apakah kartu BPJS ini masih berguna atau tidak,” katanya dengan nada kecewa.

Pihak keluarga, kata Azis, menginginkan agar kaki istrinya dapat diamputasi.

Sebab, bakteri yang ada di tulang kaki istrinya itu akan menyebar kemana-mana.

Mereka ikhlas kaki Alwiyah yang tersisa diamputasi karena tidak ingin melihat dia terus menderita.

Dia mengaku setelah kaki kanan Awliyah diamputasi pada tahun 2012 silam, istrinya tidak lagi merasakan kesakitan. Namun kini, penyakit itu kembali menjalar ke kaki kiri istrinya.

“Kasihan saya tahu betul penderitaannya, dan kami ingin kakinya diamputasi karena kaki sebelah kanan yang diamputasi juga tidak sakit lagi.

Kami hanya ingin penyakitnya tidak menjalar kemana-mana,” harapnya.

Jawaban BPJS

Secara terpisah, Kepala BPJS Maluku Asri Rahmat Ritonga kepada Kompas.com mengatakan, pihaknya telah menindaklanjuti persoalan tersebut dengan berkoordinasi dengan manajemen Rumah Sakit Bhayangkara dan juga dokter yang menangani pasien tersebut.

“Kami sudah menindaklanjuti kasus ini, kami telah berkoordinasi dengan manajemen RS Bhayangkara.

Setelah itu kami juga telah meminta penjelasan dari dokter Wijaya,” ungkar Rahmat, Senin (31/10/2016).

Rahmat mengatakan, berdasarkan penjelasan dari dokter Wijaya, keputusan dokter menolak amputasi kaki kiri Alwiyah karena tidak ada indikasi medis yang memungkinkan dilakukan operasi tersebut.

“Jadi kami telepon ke dokter Wijaya dan beliau menjawab bahwa pasien ini tidak ada indikasi medis untuk dilakukan amputasi, yang memintakan kan pihak keluarga, dan itu ada prosedurnya,” terangnya.

Pihak BPJS sendiri, kata dia, tidak bisa memaksa dokter atau pihak rumah sakit untuk mengikuti keinginan pasien.

Sebab, tanggung jawab pelayanan medis berada di tangan dokter yang menanganinya.

“Karena tindakan apa yang akan diambil dan dibutuhkan itu ada pada dokter. Jadi, pasien memang tidak berhak untuk memaksakan itu,” ujarnya.

Menurut Rahmat, jika amputasi dilakukan karena keinginan keluarga pasien, maka ketentuannya pasien tersebut tidak akan terjamin dalam BPJS.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28, jelas Rahmat, bahwa tindakan yang dijamin dalam BPJS Kesehatan adalah sesuai dengan indikasi medis.

“Jadi kalau atas permintaan sendiri itu sebetulnya tidak ditanggung oleh BPJS kesehatan karena tidak ada indikasi medisnya.

Kami mempercayakan semuanya kepada dokter. Kami juga tidak bisa memaksa dokter untuk lakukan saja amputasi sesuai permintaan pasien,” terangnya.

Terkait perlakuan pihak rumah sakit yang dinilai merugikan pasien, Rahmat menyatakan hal itu karena berdasarkan petunjuk dokter tersebut, bahwa kondisi pasien tidak harus diamputasi.

“Alasan pihak rumah sakit juga sama, mereka khawatir kalau terjadi sesuatu yang dituntut mereka,” katanya.

Untuk biaya pengobatan sebesar Rp 3 juta lebih yang ditanggung pasien, Rahmat mengatakan pihaknya segera membayarkannya dalam waktu dekat.

Menurutnya, biaya yang dikeluarkan pasien BPJS harusnya tidak perlu terjadi karena telah dijamin.

“Paling lambat seminggu biaya yang dikeluarkan pasien itu akan diganti.
Kami juga sudah koordinasi dengan manajemen rumah sakit,” katanya.

Sementara itu, dokter Wijaya yang dikonfirmasi Kompas.com tidak mau berkomentar terkait masalah tersebut.

”Saya tidak mau, Anda bikin surat resmi dulu, masukan ke saya, baru akan saya tanggapi,” ujarnya.(Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved