Pelari Terkenal Singapura Ikut Barelang Bridge Marathon. Kisah Hidupnya Menginspirasi Banyak Orang

Pelari marathon asal Singapura ikut ambil bagian dalam even Barelang Bridge Marathon yang akan berlangsung Minggu (11/12/2016).

Penulis: Mairi Nandarson |
ist
Shariff Abdullah (kanan) saat mendaftar ulang lomba lari Barelang Bridge Marathon di Hotel Amaris, Sabtu (10/12/2016) 

BATAM.TRIBUNNEWS.COM, BATAM - Pelari marathon asal Singapura ikut ambil bagian dalam even Barelang Bridge Marathon yang akan berlangsung Minggu (11/12/2016).

Pelari-pelari internasional lain yang ikut antara lain dari Kenya, Australia, Malaysia dan beberapa negara lain, termasuk pelari maraton nasional.

Satu di antara pelari Singapura yang akan ambil bagian adalah Shariff Abdullah. Pelarih maraton yang dikenal dengan pelari kaki palsu berupa plat atau lebih dikenal dengan runner blade.

Shariff sudah ambil bagian di banyak even lomba marathon di berbagai negara.

Pelari kelahiran 10 November 1968 ini, sudah memastikan keikutsertaannya dengan mendaftar ulang di sekretariat panitia Amaris Hotel, Sabtu (10/12/2016).

Shariff dikenal sebagai pelari Singapura pertama yang menggunakan plat buatan untuk membantunya berlari. Alat ini terkenal digunakan pelari Oscar Pistorius asal Afrika Selatan setelah kakinya diamputasi.

a

Seperti dilansir sgbladerunner.com, Shariff sudah menggunakan kaki palsu untuk kaki kirinya sejak berusia 6 tahun.

Meski begitu, Shariff aktif dalam berbagai macam kegiatan olahraga seperti lari, binaraga, treking hingga kayak.

Hingga temannya menjulukinya dengan sebutan Six Million Dollar Man, karena semua olahraga ia bisa mainkan.

Shariff menjalani hidup tidak mudah dengan kondisi seperti itu. Ia menjadi ejekan dan tertawaan. Namun karena ia tidak punya pilihan selain menerima keadaan, itu membuat Dia kuat.

Itu tergambar dari gaya hidup aktifnya dalam kesehariannya.

Saat menjalani pendidikan sekolah dasar hidup Shariff lebih memperihatinkan. Ia sering pindah-pindah.

Setelah tamat sekolah dasar, ia kehilangan orangtua angkatnya, yang kemudian berdampak pada nilai akademiknya. Saat itulah ia merasakan kehidupan seperti di neraka.

Setelah itu, terus pindah-pindah sekolah dan pindah dari rumah ke rumah, dan berganti orangtua asuh, tanpa ada kepastian.

Saat itu, dengan kondisi kaki kiri yang teramputasi, tidak ada yang ingin merawatnya.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved