BPJS Kesehatan Defisit Rp 9 T, Ekonom: Perlu 'Pajak Dosa' untuk Menutupinya. Ini Detail Logisnya!

Kabar defisitnya keuangan BPJS Kesehatan sebesar Rp 9 triliun, memang membuat publik bertanya-tanya.

istimewa
Petugas BPJS Kesehatan memperlihatkan dropbox tempat calon peserta bisa mendaftar dengan cara mudah. Dropbox ini terdapat di seluruh kantor kecamatan di Batam dan Karimun 

TRIBUNBATAM.ID, JAKARTA -  Kabar tentang defisitnya keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebesar Rp 9 triliun, memang membuat publik bertanya-tanya.

Hal tersebut diungkapkan Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira.

Menurutnya, BPJS Kesehatan yang tercatat defisit Rp 9 triliun ini memang membuat publik bertanya-tanya.

Sebab, masyarakat membayar iuran yang tidak sedikit.

“Ini sebuah hal yang pastinya absurd dan melanggar prinsip BPJS itu sendiri yakni meringankan beban masyarakat Indonesia dalam hal biaya kesehatan,” ujar dia seperti dilansir Kontan, Minggu (26/11/2017).

Baca: CATAT! BPJS Kesehatan Tidak Akan Tanggung Semua Biaya Perobatan Delapan Penyakit Kronis Ini

Menurut dia, sebenarnya ada cara yang lebih kreatif.

Salah satunya adalah dengan penerapan pajak dosa atau sin tax.

Cara ini diterapkan di banyak negara yang memiliki jaminan kesehatan universal, contohnya Inggris dengan National Health Services (NHS).

Baca: ASYIK! Dirut BPJS Kesehatan Jamin Biaya Perobatan 8 Penyakit Kronis Ini Tetap Ditanggung 100 Persen

“Uang dari rokok, dan barang kena cukai yang berbahaya bagi kesehatan dipungut lalu dikelola untuk menutup defisit pelayanan kesehatan. Artinya, agar BPJS Kesehatan masih bisa survive kuncinya adalah memperluas dan mengoptimalkan basis pajak dosa,” kata Bhima.

Indonesia sendiri masih sempit dalam menerapkan barang kena cukai (BKC) dengan hanya ada tiga BKC, yakni rokok, alkohol, dan etil alkohol.

Dari tiga barang itu 95 persen hasil cukai Indonesia berasal dari rokok.

“Sedangkan Thailand dan Singapura punya lebih dari 10 barang kena cukai dan tidak bergantung dari rokok semata,” sebutnya.

Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah fokus pada perluasan barang kena cukai yang berbahaya bagi kesehatan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved