Ini 5 Daerah yang Rawan dan Potensi Konflik Saat Pilkada 2018 Menurut Kapolri
Nantinya, kemungkinan hanya Mabes Polri bisa mem-back up daerah yang rawan. Polisi juga berkerjasama dengan TNI untuk keamanan pilkada ini.
TRIBUNBATAM.id - Dalam Pilkada serentak 2018, akan ada 31 provinsi dengan 171 wilayah yang menggelar pesta politik.
Menurut Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, ada lima provinsi yang tingkat kerawanan gangguannya diperkirakan tinggi.
Kelima daerah tersebut yakni Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Baca: Mengenal Karakter Alpha Woman, Wanita Berkepribadian Kuat
Baca: Aksi Koboi Teroris di Kairo, Mesir, 9 Orang Tewas Diberondong di Jalanan
Baca: RIP. Deynica Welirang, Anak Bos Pabrik Indomie Meninggal di Singapura, 2 Hari Setelah Ulang Tahun
"Yang namanya pemecahan itu kalau berbeda kepentingan akan ada potensi konflik. Oleh karena itu potensi konflik bisa terjadi di 31 provinsi dari 34," ujar Tito di Rupatama, Jumat (23/12/2017).
Rata-rata kerawanan wilayah tersebut yakni menyangkut tingkat karakteristik masyarakat, netralitas penyelenggara, penyebaran hoaks, kampanye kental SARA, politik uang, dan mobilisasi massa di wilayah perbatasan.
Di Jawa Barat, ada kerawanan manipulasi daftar pemilih tetap dan pertentangan elite parpol yang cukup tinggi. Di Jawa Timur, ada pengaruh keagamaan dan pertarungan sengit antar elite parpol.
Di Sulawesi Selatan, selain soal kampanye bernuansa SARA, ada potensi gangguan keamanan akibat belum selesainya naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).
Sementara itu, di Papua, kondisi geografis serta komunikasi dan transportasi terbatas akan sedikit menghambat pelaksanaan pilkada.
Penentuan daerah rawan atau tidaknya ini juga ditakar berdasarkan penentuan pasangan calon kepala daerah di wilayah tersebut.
"Ada saja mungkin daerah yang kita anggap rawan, tapi karena pasangan calon cuma satu, otomatis kita anggap tidak rawan," kata Tito.
Jika pasangan calon lebih dari satu, menurut dia, tingkat kerawanan meningkat karena rentan diterpa isu provokatif dan sensitif.
Tito tak memungkiri terjadinya polarisasi massa saat pilkada serentak. Menurut dia, polarisasi masyarakat wajar terjadi dalam kontestasi politik. Namun, akan berbahaya jika polarisasi tersebut mengakibatkan perpecahan di masyarakat.
Dibanding dengan pilkada serentak 2017, akan ada perubahan pola pengamanan untuk pilkada serentak 2018.
Kekuatan Polri untuk pengamanan akan difokuskan di wilayah masing-masing dan tidak banyak menggunakan pola saling mem-back up.
Nantinya, kemungkinan hanya Mabes Polri bisa mem-back up daerah yang rawan. Sementara itu, meski wilayah hukum Polda Metro Jaya tak menggelar pilkada serentak, personelnya dibutuhkan untuk tetap di tempatnya.
Baca: Sesekali Cobalah Berlibur ke Perpustakaan. Tersedia Internet Gratis Lho!
"Polda metro tidak akan digeser karena harus mengamankan ibu kota dan pusat politik ekonomi. Yang bisa digeser adalah Mabes Polri, tapi tidak banyak," kata Tito.
Oleh karena itu, Polri meminta bantuan TNI untuk bersama-sama mengamankan jalannya pilkada.
Tito telah berkoordinasi dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto untuk memberi dukungan maksimal.
"Kami akan safari seperti yang dilakukan di Kalbar. Kita kumpulkan polisi dan TNI mengamankan wilayah masing masing. Kuncinya ada di sana," kata dia. (*)
Berita ini telah diterbitkan oleh Kompas.com dengan judul: Lima Wilayah Ini Paling Rawan Gangguan Keamanan Jelang Pilkada 2018