Tepian Zaman
Mengerikan! Asmara Berujung Pisau, Saat Caci Maki Berakhir dengan Mutilasi
Hotel yang berjarak 200 m dari Kantor Polisi Resort Jakarta Utara itu terlihat kusam. Begitu juga lobinya
Zaky tersinggung. Dia merasa dipermainkan. Apalagi kondisinya saat itu sedang tertekan akibat tuntutan dari orangtuanya, istrinya, mertua, dan orangtua Atikah.
Dalam kondisi stres Zaky menerima pesan singkat dari teman Atikah. “Kalau memang jantan, kamu harus berani. Dan kalau bener suka sama Atikah, kamu datang ke tempat kerja,” isi pesan singkat tersebut.
Pesan tersebut langsung dibalas oleh Zaky dan disambut telepon balik oleh Atikah. Awalnya percakapan tersebut berlangsung baik. Sayang, di akhir keduanya malah bertengkar.
Atikah memaki dan mengancam Zaky, “Selagi saya masih hidup, saya akan cari Mas. Saya akan hancurin keluarga Mas semua.”
Kemesraan berakhir pembunuhan
Siang hari, 17 Januari 2008, kedua sejoli yang sedang berkonflik ini bertemu di halte yang terletak di depan Plaza Koja, Jakarta Utara.
Di halte yang berjarak 3 km dari rumah Atikah ini mereka kembali bertengkar. Keributan tersebut juga melibatkan istri Zaky yang dihubungi Atikah melalui ponsel. Saat itu, Atikah memaki-maki istri Zaky.
Dengan pikiran yang kalut dan bingung, Zaky mengajak Atikah pergi ke hotel.
Sekitar pukul delapan malam, mereka tiba di Hotel BM. Di dalam kamar 17 AB, Atikah kembali meminta pertanggungjawaban Zaky.
“Mas, perut saya makin besar. Saya mau nikah tanpa janin dan minta duit untuk menggugurkan kandungan,” pinta Atikah.
Ketegangan sempat mereda ketika mereka mulai saling mengungkapkan perasaan sayang. Bahkan keduanya sempat akan melakukan hubungan badan.
Hanya saja, akhirnya Zaky mengetahui bahwa saat itu Atikah sedang menjebaknya. Atikah menghubungi ponsel istri Zaky dan membiarkan telepon tersebut tetap tersambung saat mereka bermesraan.
Kontan, Zaky meninju rahang Atikah. “Mas, matiin saya saja, kalau Mas berani,” tantang Atikah kala itu. Zaky pun makin mata gelap. Pisau yang sebelumnya disiapkan untuk mengancam Atikah ditodongkannya.
Atikah berontak. Tangannya sampai tergores. Sambil berusaha merebut pisau, Atikah terus mencaci Zaky.
Malam itu pergumulan keduanya berlangsung begitu sengit hingga akhirnya menyebabkan Atikah harus meregang nyawa.
Untuk menghilangkan jejak, kamar yang penuh bercak darah pun dibersihkan.
Zaky juga mengganti seprai, handuk, dan bantal yang berlumuran darah dengan yang masih bersih dari kamar sebelah. Tubuh korban yang sudah tanpa kepala ditaruh di bawah tempat tidur.
Potongan kepala korban dan pakaiannya dimasukan ke tas dan dibuang ke Kali Kresek yang terletak di antara Hotel BM dan rumah Atikah.
Sementara uang senilai Rp120.000, ponsel merek Nokia tipe 3220, dan motor Yamaha Jupiter Z milik korban dibawa pulang.
Nasib penjual nasi goreng
Hasil penyidikan kasus kematian Atikah membawa polisi kepada satu nama, Zaky Afrizal Nurfaizin. Namun, keberadaan Zaky masih belum diketahui.
Sampai akhirnya polisi mencoba menelusuri sinyal ponsel Atikah. Ponsel tersebut digunakan Zaky untuk menghindari kecurigaan keluarga Atikah
dengan mengirim pesan palsu yang menyatakan bahwa dirinya sedang berada di Sukabumi, serta mengabarkan bahwa telah dirampok, diperkosa, dan dibuang di Cibubur, Depok, Jawa Barat.
Akhirnya ponsel tersebut justru menjadi bumerang bagi Zaky karena mempermudah pihak kepolisian melacak keberadaanya. Pada 22 Januari 2008,
atau hanya berselang lima hari setelah pembunuhan, polisi menangkap Zaky di sebuah kontrakan di Jalan Kota Bambu Utara 2, Palmerah, Jakarta Barat.
Kontrakan Zaky diisi oleh sejumlah pedagang nasi goreng, profesi asli Zaky. Di kawasan yang banyak dihuni oleh para penjual makanan seperti bakso atau nasi goreng ini, Zaky dikenal sebagai seorang pria yang alim dan rajin beribadah.
Selain menangkap Zaky, polisi juga menemukan barang bukti berupa KTP, sepeda motor, helm serta ponsel milik Atikah.
Ponsel Zaky pun disita sebagai barang bukti beserta sepatunya yang masih terkena bercak darah. Dengan kaos dan celana jeans warna biru, Zaky masuk ke mobil polisi.
Delapan bulan kemudian, tepatnya pada 8 September 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara memvonis bersalah Zaky Afrizal Nurfaizin dan memberinya hukuman penjara seumur hidup.
Benarkah semua salah pelaku?
Mutilasi biasanya terjadi apabila pelaku dan korban sudah saling kenal dan interaksi keduanya terjadi dalam intensitas tinggi. Apabila pelaku dan korban tidak saling kenal, maka pembunuhan biasanya
berhenti sampai pada tindakan mematikan hingga korban meninggal. Demikian analisis Eko Hariyanto, kriminolog dari Universitas Indonesia membedakan kasus mutilasi dengan kasus pembunuhan lainnya.
Yang menarik, menurut Eko, “Mutilasi kerap terjadi setelah korban ataupun pelaku melakukan provokasi.” Kekerasan verbal seperti mencaci dan mengancam
merupakan contoh bentuk provokasi yang sering dilakukan. Ketika keduanya merasa provokasi dalam bentuk verbal tersebut tidak cukup melampiaskan kekesalan atau kemarahan mereka, kekerasan fi sik pun dilakukan.
Dalam pembunuhan Atikah, diketahui korban juga sempat mencaci-maki Zaky. Pelaku disebutnya sebagai “Laki-laki yang pengecut, tidak bertanggung jawab dan kere.” Atikah juga sempat mengancam,
“Selagi saya masih hidup, saya akan cari Mas. Saya akan hancurin keluarga Mas semua.” Bahkan, sesaat sebelum dibunuh, Atikah sempat mengatakan “Ayo, Mas, matiin saya saja kalau Mas berani.” Zaky yang merasa terhina dan dalam kondisi tertekan pula, akhirnya memutuskan untuk membunuh Atikah.
Tindakannya memutilasi, dalam pengakuan Zaky, dilandasi perasaan bingung dan takut diketahui orang. Jadi, seperti yang dikatakan Eko, “Selain karena ingin melampiaskan dendam, mutilasi juga dilakukan untuk menghilangkan jejak.”
Dalam hal penghilangan jejak, Eko menggarisbawahi peran media. Menurutnya tayangan media yang menunjukan cara menghilangkan jejak, termasuk memutilasi, sangat mungkin tersimpan dalam alam bawah sadar seseorang. Hingga suatu saat, dalam kondisi tertentu, ingatan tersebut muncul dan dilakukan. (Intisarionline)