Tiap Hari Lansia Ini Genjot Sepeda Belasan Kilo demi Anaknya yang Down Sydrome. Bukti Cinta Orangtua
Hernowo yang setengah tuli sejak lahir tidak menyerah menyekolahkan anaknya yang down syndrome
TRIBUNBATAM.ID - Mendung tebal pagi ini di perbukitan Kecamatan Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta. Hawanya sangat sejuk karena awan turun menyelimuti perbukitan itu. Pada sebuah jalan menurun dengan aspal mulus yang membelah bukit, melintas cepat seorang pria setengah baya mengemudi sepeda ontel berwarna hijau pudar.
Tubuhnya kecil, kulitnya sawo matang, wajahnya berkeriput dalam, dan kaki mengenakan sandal jepit usang. Hernowo (60), warga Dusun Anjir, Desa Hargorejo, Kokap, ini membiarkan roda sepedanya menggelinding begitu rupa mengikuti kontur menurun bukit. Ia hanya menjaga keseimbangan agar dua orang di belakangnya tidak oleng lantas terjatuh.
Baca: Jangan Sepelekan! Buat Penggila Kopi, Ingat Baik-baik: Ini 4 Waktu Larangan Ngopi!
Baca: Mulai Tahun Ini Pensiunan PNS Lebih Sejahtera. Dana Pensiun Dibayarkan Semua
Baca: Biasakan Wudhu Sebelum Tidur. Banyak Sekali Manfaat Tidak Terduga yang Bakal Diperoleh
Duduk paling belakang adalah Kamilah (61), wanita yang dinikahi 21 tahun lalu. Perempuan berkerudung ini duduk di boncengan sambil memanggul tas sekolah. Ia sesekali melambai-lambaikan tangan untuk memberi tanda pada para pengendara dan pengguna jalan lain ketika Hernowo hendak berbelok ke kanan atau ke kiri.
Hernowo mengendalikan kemudi sepeda, Kamilah dan Wahyu di belakang. Seperti inilah setiap hari Hernowo membawa Wahyu sekolah yang jauhnya belasan kilometer. Hernowo yang setengah tuli sejak lahir tidak menyerah menyekolahkan anaknya yang down syndrome. Di usia senja mereka, ia mengharapkan Wahyu bisa cepat mandiri.
Hernowo tidak hanya memboncengkan Kamilah. Seorang lagi, Wahyu Heri Setiyawan, seorang bocah berseragam batik putih merah dengan pandangan kosong dan mulutnya setengah terbuka. Bocah berumur 13 tahun itu duduk diapit keduanya. Hernowo, Kamilah, dan Wahyu sedang dalam perjalanan menuju ke Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri 1 di Kecamatan Panjatan.

Sepanjang jalan mereka lebih banyak diam. Kamilah dan Wahyu memercayakan perjalanan itu pada Hernowo yang bertubuh kecil. Termasuk memilih jalan, simpangan, bahkan rel kereta api mana yang mesti dilewati.
“Liwat teteg wetan. Sanes teteg kulon. Sing kulon rame. (Bahasa Jawa: lewat palang pintu kereta api sebelah timur, bukan barat. Sebelah barat ramai). Wetan boten (Timur tidak) menanjak. Kalau sepi bisa langsung, mboten nuntun (tidak dituntun),” kata Kamilah.
Mereka keluar pagi sekali pukul 06.30 WIB dari rumahnya di Dusun Anjir, bersepeda, dan seperti biasa, Wahyu mesti masuk kelas sebelum pukul 08.00 WIB. Ia akan bergabung dengan lima temannya di kelas 5C di SLB itu sampai lewat tengah hari.
Semua siswa di kelas ini adalah penderita down syndrome (DS) atau keterbelakangan mental.
Dari rumah di sebuah bukit di Kulon Progo, mengayuh sepeda hingga ke SLB dilakoni Hernowo dan Kamilah agar Wahyu bisa sekolah hari Senin-Jumat. SLB di Desa Gotakan, Panjatan, itu sebenarnya hanya 11-an kilometer dari Anjir.
Meski jarak tak jauh, Hernowo mengayuh sepeda hampir 60 menit dengan sepeda ontel.
Baca: Ehem! Laudya Cynthia Bella Keramas Tiap Sebelum Tidur, Mengejutkan Alasannya!