Tiap Hari Lansia Ini Genjot Sepeda Belasan Kilo demi Anaknya yang Down Sydrome. Bukti Cinta Orangtua

Hernowo yang setengah tuli sejak lahir tidak menyerah menyekolahkan anaknya yang down syndrome

Kompas.com/Dani J
Perjalanan Hernomo dan Kamilah mengantar anak ke sekolah luar biasa 

Semua dijalani di sebuah rumah berdinding anyaman bambu dan kayu. Lantainya masih tanah, dan kayu penyangga rumah masih baru. Tidak ada sofa empuk, tidak ada kipas angin dan televisi. Hanya ada penerangan, itupun minim. Semua barang di dalam rumah merupakan harta turunan dari kakek buyut Hernowo.

Ruang utama rumah jadi satu semuanya di ruang depan, baik untuk tamu hingga tidur. Halaman rumah mereka luas, bersih, bahkan tebing di kanan kirinya nyaris tanpa rumput dan lumut. Pohon-pohon pepaya tumbuh tinggi di depan rumah. Ini berkat Kamilah yang rajin bersih-bersih dan merawat halaman.

 
“Kalau bapak ini mencari rumput untuk kambing sampai jauh ke Glagah (10-an kilometer). Dia maunya nyari rumput tok,” katanya.

Rumah tinggal Hernowo berada di balik hutan mungil yang berasa mistis dan tanpa jalan masuk memadai ke dalamnya. Tempat tinggal mereka di antara tebing tempat banyak pohon bambu tumbuh di sekelilingnya. Yakni jati, nangka, dan akasia. 
Gemericik air sungai terdengar sampai rumah.

Bila berangkat sekolah, ketiganya harus melewati hutan mini ini. Jalan berbatu dan tanah gembur membuat mereka tidak mungkin menaiki sepeda di dalam hutan mini ini. Mereka menuntun sepeda hingga jalan raya paling atas.

Dari situ, mereka mulai menaiki sepeda dan melaju sampai ketemu jalan datar.

Tapi sesekali, ketika tanjakan, Hernowo dan Kamilah terpaksa mendorong sepeda.

Ketika jalan menurun landai ataupun datar, mereka menaikinya.

Baru tahu DS Wahyu lahir 8 tahun setelah pernikahan Hernowo dan Kamilah. Keduanya sudah berumur 40 tahun ketika itu. 
Mereka tak menyangka Wahyu tumbuh dengan keterbelakangan mental (down syndrome).

Anak semata wayang ini tumbuh dengan suka sekali berlari tanpa henti sepanjang hari, tidak bisa menerima perintah dan peringatan.

Ia sulit bicara. Hernowo dan Kamilah kerap menemukan Wahyu memiring kepala ke samping, tatapan mata selalu kosong ke atas, mimik mukanya datar, dan tak bisa menyampaikan keinginan lewat kata-kata. Mereka belum curiga apapun sampai waktunya sekolah TK.

“Bocah iki melet-melet mangan ilat (menjulur-julurkan lidah dan makan lidah),” kata Kamilah.

 
Semakin usia bertambah, Wahyu makin sulit dikontrol. Emosinya tidak terkendali. Perjalanan hidup Wahyu bikin berantakan. 
Semua barang sering dihambur begitu rupa. Kamilah jadi kerap tak sabar.

Memasuki usia 5 tahun, Hernowo dan Kamilah memasukkannya ke PAUD dengan harapan ada kemajuan bagi Wahyu.

“Baru tahu (DS) waktu dimasukkan ke TK. Bu (Guru) Sumiati bilang Wahyu harus masuk ke SLB ini,” kata Kamilah.

Halaman
1234
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved