Pengacara Sudah Sewa Dua Bus, Tapi Ustadz Abu Bakar Baasyir Batal Bebas. Kok Jadi Begini?
Kami ceritakan semuanya ke Ustadz Abu apa yang terjadi di luar. Ustadz bicara ke kami, 'Kok jadi begini? Kemarin sepertinya sudah tidak apa-apa'
TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Nada Ustadz Abu Bakar Baasyir terkesan kecewa setelah mendengar kabar batal bebas dari tim pengacaranya, Selasa (22/1/2019).
Ustadz Abu Bakar Baasyir merupakan terpidana kasus terorisme pun mempertanyakan nasibnya di Lapas Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Selasa (22/1).
Hal itu karena sebelumnya ia mendengar bakal meninggalkan Lapas Gunung Sindur tanpa menandatangani surat apapun, termasuk pembebasan bersyarat.
Curahan hati Baasyir itu disampaikan Ketua Tim Pengacara Muslim (TPM), Guntur Fattahilah, saat dihubungi seusai membesuk Ustadz Abu Bakar Baasyir di Lapas Gunung Sindur, Selasa (22/1).
"Tadi, kami ceritakan semuanya ke Ustadz Abu apa yang terjadi di luar. Nah, di situ Ustadz bicara ke kami, 'Kok jadi begini? Kemarin sepertinya sudah tidak ada apa-apa?' Lalu, kami jelaskan juga informasi yang kami dapat sebelum berangkat tadi," kata Guntur menirukan pernyataan Ustadz Abu Bakar Baasyir.
Sebagai pengacara, Guntur juga mempertanyakan perubahan sikap Presiden Joko Widodo.
Sebab, sebelumnya Jokowi selaku presiden telah melontarkan pernyataan ke publik perihal restu untuk pembebasan Ustadz Abu Bakar Baaasyir.
Guntur meminta kepada Presiden Jokowi untuk konsisten mengambil kebijakan kepala negara untuk membebaskan Baasyir, sebagaimana telah dijanjikan melalui Yusril Ihza Mahendra.
"Kalau seperti ini, jadinya kami kuasa hukum jadi ikut mempertanyakan sikap Jokowi. Kemarin, sempat sepakat untuk pembebasan, kenapa tahu-tahu sekarang berubah?" ucapnya.
• BREAKING NEWS: Abu Bakar Baasyir Batal Dibebaskan, Pemerintah Ungkapkan Alasan
• Komentar Mahfud MD soal Pembebasan Abu Bakar Baasyir dan Sikap Australia Mencak-mencak
• Abu Bakar Baasyir Batal Bebas? Ini Penjelasan Pemerintah. Wiranto: Presiden Tak Boleh Grasa-grusu
Meski begitu, tim pengacara masih optimis jika pemerintah akan segera membebaskan Baasyir mengingat saat ini hal itu masih dalam pengkajian.
Sewa bus
Guntur mengungkapkan, pihaknya telah menyewa dua bus untuk pemulangan mantan pimpinan Majelis Mujahidin Indonesia itu dari Lapas Gunung Sindur ke rumah keluarga di Pondok Pesantren Ngruki Sukoharjo, Jawa Tengah.
"Sejauh ini masih dalam rencana. Kami sudah sewa bus untuk pemulangan. Kami masih optimis Ustadz Abu bisa keluar," jelasnya.
Sementara itu, putra Abu Bakar Ba'asyir, Abdul Rochim Ba'asyir enggan menemui dan menjawab pertanyaan dari wartawan seusai dia menemui ayahynya di Lapas Gunung Sindur.
Padahal, Rochim masih bersedia memberikan keterangan kepada wartawan saat kedatangan ke lapas tersebut pada pagi harinya.
"Ya doakan saja mudah-mudahan semuanya lancar," ujarnya.
Tak Penuhi Syarat
Sebelumnya, pemerintah mengumumkan bahwa Abu Bakar Ba'asyir batal dibebaskan oleh pemerintah.
Batalnya pembebasan Abu Bakar Ba'asyir diungkapkan oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko, Selasa (22/1/2019) malam.
Moeldoko mengatakan, Abu Bakar Ba'asyir tidak dapat memenuhi syarat formil sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan lebih lanjut didetailkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan Cuti Bersyarat.
"Iya (tidak dibebaskan). Karena persyaratan itu tidak boleh dinegosiasikan. Harus dilaksanakan," ujar Moeldoko saat dijumpai di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (22/1/2019) seperti dilansir TribunBatam.id dari Kompas.com.
Syarat formil bagi narapidana perkara terorisme, yakni, Pertama, bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Kedua, telah menjalani paling sedikit dua per tiga masa pidana, dengan ketentuan dua per tiga masa pidana tersebut paling sedikit 9 bulan.
Ketiga, telah menjalani asimilasi paling sedikit setengah dari sisa masa pidana yang wajib dijalani.
Terakhir, menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan pemohon dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar kesetiaan pada NKRI secara tertulis.
Moeldoko melanjutkan, Presiden Joko Widodo sebenarnya menyambut baik permohonan Ba'asyir bebas.
Sebab, kondisi kesehatan Ba'asyir yang kini sudah berusia 81 tahun terus menurun sehingga membutuhkan perawatan yang khusus.
"Dari sisi kemanusiaan, Presiden sangat memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Namun ya Presiden juga memperhatikan prinsip-prinsip bernegara yang tidak dapat dikurangi dan tidak dapat dinegosiasikan," ujar Moeldoko.
Meski demikian, Moeldoko memastikan bahwa akses Ba'asyir terhadap fasilitas kesehatan tidak akan berubah.
"Akses Ba'asyir ke fasilitas kesehatan enggak berubah. Itu standard. Bahkan akan kita lebihkan ya apabila membutuhkan. Itu untuk urusan kesehatan, kemanusiaan, enggak bisa dikurangi," ujar Moeldoko.
Memunculkan polemik
Rencana pembebasan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Baasyir menjadi polemik yang mendapat banyak tanggapan dari sejumlah pihak.
Presiden Joko Widodo sebut pembebasan Abu Bakar Baasyir adalah pembebasan bersyarat.
"Kita juga punya mekanisme hukum. Ada sistem hukum yang harus kita lalui, ini namanya pembebasan bersyarat, bukannya bebas murni.
"Syaratnya harus dipenuhi," ujar Presiden di Pelataran Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Syarat yang diberikan kepada Abu Bakar Baasyir adalah setia pada NKRI dan Pancasila.
Apabila Abu Bakar Baasyir tidak mau memenuhi syarat tersebut, tentu saja ia tidak akan dibebaskan.
"Kalau enggak (dipenuhi), kan enggak mungkin juga saya nabrak (hukum). Contoh, (syarat) soal setia pada NKRI, pada Pancasila, itu basic sekali, sangat prinsip sekali," tutur Jokowi.
Baasyir sendiri tidak bersedia menandatangani sejumlah dokumen pembebasan bersyarat yang diberikan untuknya.
Atas tindakan itu, pihak kuasa hukum Baasyir, Muhammad Mahendratta memberi klarifikasi.
"Mengenai ustadz tidak mau menandatangani kesetiaan terhadap Pancasila, itu perlu saya jelaskan, yang ustaz tidak mau tanda tangan itu satu ikatan dokumen macam-macam," ujarnya di Kantor Law Office of Mahendratta, Jakarta Selatan Senin (21/1/2019) dari sumber yang sama.
Mahendratta menjelaskan satu dia antara dokumen tersebut adalah janji untuk tidak melakukan kembali tindak pidana yang pernah dilakukan.
Tindak pidana yang dimaksudkan adalah secara sah dan meyakinkan menggerakkan orang lain dalam penggunaan dana untuk melakukan tindak pidana terorisme.
Atas tindak pidana itulah Baasyir divonis 15 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sejak 2011.
Tak Mau Akui Pancasila
Mahendratta mnegatakan Baasyir tidak merasa melakukan tindakan itu, sehingga ia tidak mau menandatangani perjanjian tersebut.
Bersedia menandatangani perjanjian tersebut berarti Baasyir mengakui bahwa ia melakukan tindak pidana yang membuatnya dihukum itu.
Mengenai ketidaksediaan Baasyir menandatangani perjanjian itu, sejumlah pihak memberikan tanggapannya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan hal itu dapat membuat pemerintah mendapat kesulitan.
Menurutnya, itu merupakan syarat umum yang harus dipenuhi narapidana jika dibebaskan secara bersyarat atau diberikan grasi.
"Kalau tidak memenuhi aspek-aspek hukum tentu yang minimal itu agak sulit juga, nanti kemudian hari orang gugat," kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Ia mengatakan, pemerintah memang berencana membebaskan Baasyir dengan alasan kemanusiaan.
Hanya, rencana tersebut juga harus didukung dengan terpenuhinya persyaratan umum seperti setia pada Pancasila.
Karena itu, Kalla mengatakan saat ini pemerintah tengah mengkaji aspek hukum hingga persyaratannya.
Ia menambahkan, pemerintah tidak mungkin mengeluarkan aturan khusus untuk satu orang.
Maka dari itu, Baasyir harus memenuhi persyaratan dari pembebasan bersyarat.
"Tentu tidak mungkin satu orang kemudian dibikinkan peraturan untuk satu orang, tidak bisa lah. Harus bersifat umum peraturan itu," lanjut Kalla.
Menteri pertahanan Ryamizard Ryacudu menegaskan Baasyir harus mengakui Pancasila jika ingin dibebaskan.
"Iya dong (harus mengakui Pancasila). Kalau tidak numpang saja. Kalau lama bisa diusir," ujarnya, mengutip Antara via Kompas.com, Selasa (22/1/2019).
Ryamizard berharap Baasyir bisa menerima Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Menurut Ryamizard, tidak mungkin seorang warga negara Indonesia (WNI) seperti Ba'asyir bisa hidup di negara ini jika tidak mengakui Pancasila.
"Kalau tidak akui Pancasila, namanya numpang. Kalau numpang itu sebentar saja. Jangan lama-lama. Rugi negara kalau terlalu lama," tuturnya.
Pertimbangan mengenai syarat pembebasan Baasyir tentang kesetiaan kepada Pancasila ini pertama kali diminculkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.
"Presiden tidak grusa-grusu, serta-merta, tapi perlu mempertimbangkan aspek lainnya. Karena itu, Presiden memerintahkan pejabat terkait melakukan kajian mendalam dan komprehensif merespons permintaan itu," tuturnya.
