BATAM TERKINI

Berstatus FTZ Tapi Aturan Berbelit-belit, Ketua Apindo Batam : Kami Mau FTZ Sepenuhnya!

Status kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB) atau lebih FTZ di Batam banyak menuai keluhan dan dianggap berbelit-belit.

Penulis: Dewi Haryati |
TRIBUNBATAM.id/ALFANDI SIMAMORA
Ketua Apindo Batam, Rafki Rasyid 

TRIBUNBATAM.id, BATAM -  Saat ini, status kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBPB) atau lebih dikenal free trade zone (FTZ) di Batam banyak menuai keluhan.

Sebab, meski berstatus FTZ nyatanya masih ada beberapa aturan yang selama ini dinilai tak sinkron dengan regulasi FTZ.

Praktis hal ini menjadi keluhan bagi masyarakat, khususnya kalangan pelaku usaha di Batam.

Seperti yang disampaikan Pelaksana Tugas Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kota Batam, Rafki Rasyid.

Ia mengatakan, walaupun Batam statusnya FTZ, namun keistimewaan yang mestinya didapat itu, tidak sepenuhnya diberikan.

"Ada beberapa regulasi terutama dari pemerintah pusat yang masih dianggap mempersulit dunia usaha," kata Rafki kepada Tribun, Sabtu (16/2/2019).

Sebagai contoh, ia menyebut aturan soal Standar Nasional Indonesia (SNI).

FTZ Batam Disebut Aneh, Kepala BP Batam Tawarkan KEK ke Pengusaha: Kami Tak Paksa, Silahkan Pilih!

Batam Disebut Luar Negeri Karena FTZ, Pengusaha Gerah dan Ungkap Keanehan FTZ di Batam

Kepala BP Batam Ungkap Keanehan FTZ di Batam Versi Pengusaha, Mulai Izin Ekspor hingga Syarat SNI

FTZ Batam Segera Diubah Jadi Kawasan Ekonomi Khusus Sehingga Pasar Batam Bisa Dijual untuk Domestik

Menurut Rafki, seharusnya di Batam tidak diberlakukan aturan SNI. Karena merupakan wilayah khusus perdagangan bebas.

Belum lagi soal aturan keluar masuknya barang yang masih berbelit-belit. Kemudian masalah lahan, tingkat kompetensi tenaga kerja yang masih kurang.

Begitu juga dengan demonstrasi buruh yang terlalu intens, upah buruh yang sudah relatif mahal, bahkan lebih mahal daripada upah buruh di Malaysia dan masih terbatasnya insentif yang diberikan untuk industri manufaktur oleh pemerintah, turut menambah keluhan bagi pelaku pelaku usaha di Batam saat ini.

Ongkos Kontainer Termahal

"Salah satu yang santer kami suarakan sejak beberapa tahun ini adalah mahalnya ongkos kontainer dari pelabuhan Batam ke luar negeri. Jauh lebih mahal daripada pelabuhan lain di Indonesia," ujarnya.

Hal ini membuat daya saing produk yang dikirimkan dari Batam menjadi kurang kompetitif.

Saat kunjungan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla ke Batam, mereka sudah menyampaikan keluhan terkait mahalnya ongkos kontainer ini kepada JK.

"Bahkan Pak Wapres langsung meninjau ke pelabuhan Batuampar untuk mengecek kebenarannya. Pengelolaan pelabuhan Batu Ampar ini tidak efisien dan handling barang di sana membutuhkan waktu yang lebih lama, sehingga dikeluhkan oleh banyak pengusaha. Kita sudah suarakan hal ini setiap pimpinan BP Batam berganti. Tapi perbaikan tidak begitu signifikan dilakukan," kata Rafki.

Apa yang diinginkan pelaku usaha dari keberadaan FTZ di Batam?

"Kita mau Batam betul-betul diberlakukan FTZ sepenuhnya. Keluar masuk barang dibebaskan. Tidak ada aturan yang berbelit, bahkan sampai harus diurus ke Kementerian izinnya. Pelabuhan dijalankan dengan efisien dan dengan peralatan yang modern," ujarnya.

Di sisi lain, Rafki mengatakan, berbagai aturan yang ada di Batam saat ini, muncul akibat dulu sering dikeluhkan barang-barang dari Batam banyak yang masuk ke wilayah lain di Indonesia.

Terkait hal ini, tentunya dibutuhkan kesiapan dan kesigapan aparat terkait untuk mencegahnya.

"Bukan malah membuat aturan yang akhirnya memberatkan dunia usaha di Batam. Contohnya persyaratan yang tertuang dalam PMK 229/2017. Itu dianggap terlalu rumit bagi dunia usaha. Contohnya untuk mendapatkan Surat Keterangan Asal (SKA) dan Program IT Inventory yang diminta sebagai syarat dalam PMK itu, terlalu sulit untuk dipenuhi," kata Rafki.

Sementara itu, soal keluhan FTZ juga disampaikan Wakil Ketua Koordinator Himpunan Kawasan Industri (HKI) Kepri, Tjaw Hioeng.

Satu di antaranya soal, masih adanya aturan di Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang tidak mengecualikan KPBPB, baik di Batam, Bintan dan Karimun untuk barang-barang yang masuk dalam kategori pembatasan impor.

"Ini sebenarnya masalah yang dihadapi semua perusahan industri yang berbasis ekspor. Mereka butuh raw material yang tidak tersedia di Batam maupun Indonesia. Setelah dicek, HS code barang tersebut masuk dalam kategori pembatasan sesuai Permendag.

Karena di Permendag memerlukan persetujuan impor dan persetujuan ekspor untuk kategori barang-barang tertentu, sehingga harus diurus melalui inatrade," kata Ayung, sapaannya.

Hal lainnya, butuh LS yaitu laporan survei untuk barang-barang tersebut. Ayung mengatakan, LS ini menjadi suatu kewajiban dan harus disertakan di dalam Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

Padahal bahan baku tersebut untuk produksi, bukan untuk dipasarkan.

"Namanya FTZ yang harusnya di luar daerah pabean kan. Tapi ada aturan lain yang tidak sinkron dengan aturan FTZ," ujarnya. (wie)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved