ANAMBAS TERKINI

VIDEO Melihat dari Dekat Sektor Pertanian di Pulau Terdepan, Abah Bawa Bibit Padi Sendiri ke Anambas

"Urus kebun orang di Mampok itu lebih kurang empat tahunan. Kalau lahan di sini (bukit padi) belum ada dua tahunan," ujar pria berumur 67 tahun ini,

TRIBUNBATAM.id, ANAMBAS - Hamparan sawah terlihat sejauh mata memandang. Persis di tepi jalan yang sudah beraspal, terdapat warung nan sederhana ‎berbahan dasar kayu sambil terdengar khas musik dari Jawa Barat.

Belum selesai mengagumi kebesaran-Nya, muncul pria dengan rambut yang sudah memutih, namun masih tampak bugar dari belakang pondok kayu itu.

Orang sekitar memanggilnya Abah. Rupanya, ia yang menggarap lahan ini sehingga dapat ditumbuhi Padi.

Yang cukup menarik, hamparan sawah ini ‎bukan berada di tanah Jawa, maupun daerah penghasil padi yang kadung dikenal di Indonesia.

Lokasinya berada di Desa Bukit Padi, Kecamatan Jemaja Timur Kabupaten Kepulauan Anambas.

Wakapolres Anambas Dorong Peran Pemuda Minimalisir Pungli, Berikan Informasi Kegiatan Pencegahan

VIDEO. Pelajar SD di Letung Jemaja Anambas Dilatih Simulasi Tanggap Bencana, Diajarkan Pasang Tenda

Pelajar SD di Letung Jemaja Anambas Dilatih Simulasi Tanggap Bencana, Diajarkan Pasang Tenda

Warga Keluhkan Paket Data Tidak Bisa Digunakan, Jaringan Telekomunikasi di Anambas Belum Merata

Mungkin tidak banyak yang tahu kalau di Pulau Jemaja menyimpan potensi pertanian dan perkebunan meski geografis Anambas bersinggungan dengan laut.

Pria asal Sukabumi, Jawa Barat ini sudah enam tahun berada di Jemaja. Sebelum menggarap sawah ini, sebelumnya ia bersama istrinya mengurus kebun warga yang ada di Desa Mampok Kecamatan Jemaja.

"Urus kebun orang di Mampok itu lebih kurang empat tahunan. Kalau lahan di sini (bukit padi) belum ada dua tahunan," ujar pria berumur 67 tahun ini, Kamis (7/3/2019).

Hamparan sawah yang tinggal menunggu panen ini pun, diakuinya tak semudah membalikkan telapak tangan.

Ia membawa sendiri bibit padi dari kampungnya sebanyak 6 kilogram yang kemudian ia kembangkan. Lahan yang ia kerjakan ini pun, bukan miliknya.

Ia memiliki lahan kecil persis di belakang sawah yang ia kerjakan. Di situ juga terdapat pondok sederhana tempat mereka tinggal.

Tanaman padi yang ia tanam pun, diakuinya tidak menggunakan pestisida alias organik. Ia hanya menggunakan kompos dari sisa-sisa sampah yang kemudian dijadikan pupuk sebagai vitamin bagi tanamannya itu.

Abah pun punya alasan lain, ketika disinggung mengapa ia harus membawa sendiri bibit padi dari kampung halamannya itu.

"Pernah ada dibagikan bantuan bibit, tapi berasnya gak laku. Gak mau ditanam lagi Pak. Selain itu, pernah juga dapat bibit cabai satu kampet, dengan pupuk 12 kilogram," sahut Titin, istri Abah.

Meski membawa bibit padi tersebut secara mandiri dari kampung halaman, namun hal ini tidak membuat pasangan suami istri ini menjadi perhitungan. Ia tidak segan membagikan bibit padi bagi masyarakat yang mau.

Ia mencontohkan seperti warga Desa Ulu Maras Kecamatan Jemaja Timur yang pernah meminta bibit padi miliknya.

Identitas Mayat yang Ditemukan Tewas di Ruko Lotus Garden Batam, Sejak Kemarin Tak Keluar Kamar

Persebaya vs Persib Sore Ini Kick Off Jam 15.30 WIB, Fandi Eko Ingin Cetak Gol Lagi ke Gawang Persib

Gegara Film Dokumenter, Radio-radio di Kanada dan Selandia Baru Cekal Lagu-lagu Michael Jackson

Wanita Ini Siramkan Minyak dan Bakar Pria yang Menyerang dan Memperkosa Dirinya

Soal pemasaran pun, Abah dan Titin tak perlu repot-repot. Selain dijual kepada penampung, ada juga orang Tarempa yang membeli beras dari hasil panennya.

‎"Yang beli ada, malah tidak cukup-cukup. Ada juga orang Tarempa datang, seperti yang pegawai-pegawai itu. Kalau padi kering harganya Rp 5 ribu per kilogram," bebernya.

Soal uluran bantuan, baik Abah maupun Titin tidak mau berharap banyak. Beberapa kali ia pernah didata, termasuk mengambil gambar lahan yang mereka kerjakan. Namun sayang, bantuan yang diharapkan tak kunjung datang.

Ia menceritakan, bahwa pernah sampai disuruh membuat rekening ke bank sebagai salahs atu syarat untuk memperoleh bantuan, namun bantuan yang diharapkan tak jua datang.

"Ya gak apa-apa, biarin aja. Mungkin belum rezeki. Padahal pernah dari desa disuruh buat rekening. Sudah di foto-foto dan tandatangan. Gak tahu juga mau dikasih apa," ungkapnya.

Meski terlihat bagus serta sedap dipandang mata, namun Abah mengakui padi yang ia tanam belum mencapai hasil yang maksimal. Salah satu kendala yang cukup berpengaruh terhadap kualitas padi, yakni ketersediaan air.

‎Untuk mendapatkan air, ia dan istri harus memutar otak. Salah satunya dengan menggali bagian tanah yang berkontur gambut untuk menyalurkan air yang kemudian dibagi-bagi.

Hal ini terbilang ironis, karena tidak jauh dari lahan yang Abah garap, terdapat pintu air yang pembangunannya ‎terbilang baru, namun sayang hanya terdapat tanah di dalamnya dan kering akan air.

Beruntung, hujan mengguyur Jemaja Timur pada dini hari sehingga petani seperti Abah dan Titin tidak perlu bersuah payah menyalurkan air untuk menyiram tanaman padi mereka.

"‎Ini belum maksimal. Secara presentase, mungkin baru 75 sampai 80 persen. Serba salah juga. Air sedikit berpengaruh ke kualitas padi. Sekali banyak air, hujan lebat. Malah muncul bencana seperti longsor yang terjadi kemarin itu. Rumah di belakang itu banjir sampai dada Abah. Kayak di laut jadinya. Ayam yang Abah pelihara ada mungkin 70 ekor, habis. Waktu itu sawah belum digarap karena memang belum mau menanam. Sampai Pak Gubernur dan Pak Bupati lihat," kenangnya.(tyn)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved