MAY DAY 1 MEI - Miliki Kisah Panjang, Ternyata Begini Sejarah Hari Buruh Internasional (May Day)

Sebenarnya bagaimana sih asal usul tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional atau yang lebih dikenal sebagai May Day? Simak di sini.

tidak ada
hari buruh 2019 

Karena itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat ditiadakan.

Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja.

Presiden Soeharto menunjuk Awaloedin Djamin menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama era Orde Baru.

Ia dipilih karena latar belakangnya sebagai perwira polisi.

Menurut Soeharto, Awaloedin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi jabatan itu karena dinilai mampu menghadapi kaum buruh.

"Bulan Mei 1966, Awaludin mengusahakan agar 1 Mei 1966 tidak dirayakan lagi karena dianggap berkonotasi kiri. Namun usaha itu belum berhasil karena serikat buruh masih kuat. Baru sejak 1 Mei 1967, peringatan Hari Buruh dihapus," ucap Asvi Warman Adam, dalam kolom Opini Kompas, 8 Oktober 2003.

"Indonesia pernah memiliki serikat buruh yang berorientasi kelas, khususnya pada era Demokrasi Terpimpin melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika Orde Baru berkuasa, serikat buruh berorientasi kelas ini dibasmi secara brutal, yang melahirkan trauma sejarah panjang hingga sekarang," kata Surya Tjandra, dikutip dari kolom opini Kompas, 1 Mei 2012.

Karena serikat buruh saat itu masih kuat maka peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 1966 masih diadakan oleh Awaloedin setelah mendengar pertimbangan Soeharto.

“Kalau tidak ada peringatan, pasti terjadi geger yang enggak perlu. Saya putuskan, harus diperingati. Maka tanggal 1 Mei 1966, pemerintah Orde Baru ikut melakukan upacara tersebut. Tahun berikutnya langsung saya hapuskan. Kita cari Hari Buruh Nasional saja, tak perlu yang internasional, nanti malah harus nyanyi lagu Internasionale segala,” ucap Menteri Tenaga Kerja pertama rezim Soeharto, Komisaris Besar Polisi Awaloedin Djamin, seperti dilansir Kompas, 7 Mei 2006.

Peringatan diadakan cukup meriah dengan diisi acara pawai kendaraan melewati istana.

Seusai peringatan 1 Mei itu, Awaloedin melemparkan gagasan bahwa tanggal itu tidak cocok untuk peringatan buruh nasional.

Selain itu, peringatan May Day selama ini telah dimanfaatkan oleh SOBSI/PKI.

"Sementara itu, secara diam-diam saya mempersiapkan ketentuan pemerintah untuk mencabut tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh," demikian pengakuan Awaloedin Djamin yang kemudian juga pernah menjadi Kepala Polri itu, seperti dikutip dari tulisan Asvi Warman Adam dalam Kompas (Kolom Opini) 'Hari Buruh Seyogianya Libur Nasional', 1 Mei 2004.

Perkembangannya kemudian, serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis.

Hal itu dimulai dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

"Penataan hari buruh nasional kemudian dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja pada era Soeharto sebagai peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FSBI) pada tahun 1973," Kompas, 20 Februari 1986.

FSBI adalah wadah bersatunya organisasi-organisasi buruh di seluruh Indonesia yang sebelumnya terpencar-pencar dalam berbagai organisasi.

FSBI pada masa Orde Baru sangat dekat dengan pemerintah, bahkan terkesan sebagai birokrat, sehingga nasib buruh pun masih tidak banyak berubah.

Bahkan, banyak pula dari kalangan buruh yang tidak tahu keberadaan organisasi ini.

Selain itu, FSBI juga belum sepenuhnya independen karena masih didanai pemerintah.

Pada 1986, muncul ide untuk menarik iuran sendiri dari para anggotanya.

Selama masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya pemogokan kerja, meski tak ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini.

Pada masa itu pula, tuntutan buruh akan upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai digaungkan.

Komisi Upah yang saat itu dibentuk unutuk mengakomodasi kepentingan buruh juga mulai bersuara adanya proses penetapan upah yang tidak adil bagi buruh.

Teten Masduki yang ketika itu menjadi juru bicara di Komisi Upah mengungkapkan bahwa buruh di Indonesia tak pernah diikut sertakan dalam menentukan upah yang seharusnya mereka terima.

Badan pengupahan yang ada, tidak pernah memihak pada kepentingan buruh karena serikat buruh resmi yang diakui pemerintah lemah dan dilemahkan.

"Pemerintah selama ini cenderung memperlakukan buruh sebagai bahan bakar untuk memacu industrialisasi dan mendorong ekspor, hingga untuk hal-hal yang menyentuh kebijakan mereka tak pernah diajak bicara," Teten dalam Kompas, 13 Januari 1996.

Aksi unjuk rasa ribuan buruh dan mahasiswa kembali dilakukan pada 1 Mei 2000.

Ketika itu, para buruh menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan Hari Buruh dan hari libur nasional.

Unjuk rasa yang disertai dengan mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah di Indonesia itu membuat gerah para pengusaha.

Pasalnya, aksi mogok berlangsung hingga satu minggu.

PT Sony Indonesia mengancam akan hengkang ke Malaysia apabila para pekerjanya tidak kembali bekerja.

Kemudian ancaman ini membuat khawatir pemerintah, karena jika PT Sony Indonesia saja berani hengkang maka perusahaan elektonik lainnya diprediksi akan mengambil langkah serupa.

Di sisi lain, buruh bersikeras meminta kepada pemerintah agar menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional.

Sejumlah pegawai terancam diputus kontrak oleh perusahaan lantaran ikut dalam aksi ini.

"Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea mengatakan, 1 Mei tak akan dijadikan hari libur nasional. Pasalnya, Pemerintah telah menetapkan 15 hari libur nasional, sehingga terlalu berlebihan jika hari itu dijadikan hari libur," dikutip dari Kompas, 24 April 2002.

Tidak ada perkembangan apapun soal tuntutan buruh agar 1 Mei dijadikan hari buruh dan hari libur nasional selama masa pemerintahan Gus Dur atau pun Megawati.

Memasuki masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), belum tampak tanda-tanda dikabulkannya tuntutan para buruh.

Namun, pada masa ini tuntutan yang dilancarkan tidak lagi soal libur nasional, tetapi juga soal revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial yang kemudian membuahkan BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenegakerjaan.

Akhirnya pada tahun 2013 SBY resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan bahwa 1 Mei sebagai hari libur nasional bersamaan dengan perayaan Hari Buruh yang diperingati seluruh penduduk dunia.

"Hari ini, saya tetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional dan dituangkan dalam Peraturan Presiden," kicau Presiden melalui akun Twitter resminya, @SBYudhoyono, Senin (29 Juli 2013) malam.

Rencana ini sebelumnya pernah disampaikan SBY ketika menerima pimpinan konfederasi dan serikat pekerja di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/4/2013).

Presiden saat itu didampingi Wakil Presiden Boediono dan para menteri.

Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyambut baik hal ini.

Menurutnya, ini adalah kado dari Presiden untuk semua buruh di Indonesia.

Secara terpisah, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan penetapan 1 Mei sebagai hari libur nasional merupakan kejutan dari Presiden untuk semua buruh. (kompas.com/fachri fachrudin)

 

*Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Sejarah Hari Buruh Internasional May Day 1 Mei, Bermula Dari Tuntutan Aturan 8 Jam Kerja Sehari

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved