MAY DAY 1 MEI - Miliki Kisah Panjang, Ternyata Begini Sejarah Hari Buruh Internasional (May Day)
Sebenarnya bagaimana sih asal usul tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional atau yang lebih dikenal sebagai May Day? Simak di sini.
TRIBUNBATAM.id - Hari ini, Rabu 1 Mei diperingati sebagai hari buruh internasional atau yang akrab disebut sebagai May Day.
Di Batam sendiri, disebut 5.000 buruh turun ke jalanan untuk melakukan aksi menyambut hari buruh tersebut.
Lantas, sebenarnya bagaimana sih asal usul tanggal 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional atau yang lebih dikenal sebagai May Day?
Penetapan ini sangat lekat dengan peristiwa yang terjadi di lapangan Haymarket, Chicago, Illinois, Amerika Serikat (AS) pada 4 Mei 1886.
Peristiwa Haymarket sangat berkaitan dengan aksi mogok kerja yang sudah berlangsung sejak April 1886.
Saat itu kemuakan kaum pekerja atas dominasi kelas borjuis telah mencapai puncaknya.
Hal tersebut memicu ratusan ribu orang dari kelas pekerja memilih bergabung dengan organisasi pekerja Knights of Labour' yang bercita-cita menghentikan dominasi kelas borjuis.
• Tanya Pekerjaan Fadel Islami, Feni Rose Kena Semprot Muzdalifah Dituding Menyudutkan
• 5 Artis Bollywood Ini Pamer Jari Bertinta Ungu Usai Pemilu India, Nomor 3 Kompakan Dengan Suami!
• Ditentukan Sesuai Zona, Ini Dia Daftar Tarif Baru Ojek Online Mulai Berlaku 1 Mei 2019
• Kecelakaan Maut Tanjakan Emen, Sebelum Terperosok Bus Sempat Oleng, Ini Nasib 30 Penumpang
• Komentar Sandiaga Uno Soal Pemindahan Ibukota ke Luar Jawa Oleh Jokowi: Harus Ada Referendum

Perjuangan kelas pekerja saat itu menemukan momentumnya di kota Chicago.
Chicago pada masa itu merupakan salah satu kota yang menjadi pusat pengorganisiran serikat-serikat pekerja di negara AS.
Gerakan serikat pekerja di Chicago sangat dipengaruhi ide-ide International Workingsmen Association.
Mereka juga telah melakukan berbagai propaganda tanpa henti sebelum bulan Mei tiba.
Masih di bulan April menjelang 1 Mei 1886, sekitar 50.000 pekerja sudah melakukan aksi mogok kerja dengan cara turun ke jalan.
Mereka mendesak pemerintah memberlakukan peraturan delapan jam kerja dalam sehari.
"Tahun 1830-an telah muncul tuntutan agar jam kerja dijadikan 10 jam. Tetapi, itu pun kemudian dianggap terlalu lama, dengan patokan sebaiknya kehidupan seorang individu dalam sehari terbagi menjadi delapan jam kerja, delapan jam rekreasi, dan delapan jam tidur atau istirahat," kata Asvi Warman Adam dalam Kompas (Kolom Opini) 'Hari Buruh Seyogianya Libur Nasional', 1 Mei 2004.
Pada hari-hari berikutnya, jumlah buruh yang ikut aksi mogok makin bertambah.
Para buruh saat itu membawa anak-anak serta istrinya untuk berdemonstrasi sambil meneriakkan tuntutan mereka.
Dampak dari aksi mogok kerja yang berlangsung secara masif ini melumpuhkan sektor industri di Chicago.
Bahkan, membuat panik kalangan borjuis.
Pada 1 Mei 1886, sekitar 350.000 buruh yang diorganisir oleh Federasi Buruh Amerika melakukan demonstrasi dan aksi mogok kerja di berbagai negara bagian AS.
Dua hari kemudian, atau 3 Mei 1886, pemerintah setempat kian khawatir karena aksi mogok terus berlanjut dan semakin membesar.
Mereka akhirnya mengutus sejumlah aparat polisi untuk meredam aksi demonstrasi yang berlangsung di pabrik McCormick.
Polisi yang diutus pemerintah saat itu menembaki demonstran secara membabi-buta.
Para buruh pun berhamburan untuk menyelamatkan diri.
Dalam kejadian ini empat orang dinyatakan tewas sementara yang mengalami luka-luka tak terhitung jumlahnya.
Kejadian itu menimbulkan amarah di kalangan buruh.
Sebagian dari mereka menganjurkan aksi balas dendam menggunakan senjata.
Di antaranya yang sepakat dengan aksi itu yakni kaum anarkis yang dipimpin Albert Parsons dan August Spies.
Keduanya merupakan anggota aktif organisasi Knights of Labour.
Mereka menyerukan kepada para buruh agar mempersenjatai diri dalam demonstrasi yang dilakukan pada hari berikutnya.
Keesokan hari, pada 4 Mei 1886, para buruh kembali menggelar aksi di bundaran lapangan Haymarket.
Kali ini skalanya sangat besar.
Demonstrasi yang berlangsung saat itu tidak hanya menuntut soal pemberlakuan delapan jam kerja tapi juga sebagai bentuk protes tindakan represif polisi terhadap buruh.
Demonstrasi berjalan damai pada awalnya.
Bahkan beberapa waktu berselang, sebagian demonstran memilih membubarkan diri karena cuaca buruk.
Kaum buruh yang tersisa dalam aksi itu hanya sekitar ratusan orang.
Tapi pada saat itu malah datang sekitar 180 polisi yang meminta demonstrasi segera dibubarkan.
Ketika orator terakhir hendak turun dari mimbar, tiba-tiba terjadi satu ledakan bom di barisan polisi.
Satu orang tewas pada kejadian itu, sementara 70 orang lainnya mengalami luka serius.
Pihak polisi merespons ledakan tersebut dengan menembaki kerumunan buruh yang masih berkumpul.
Akibatnya, delapan buruh tewas dan 200 orang buruh mengalami luka-luka.
"Peristiwa The Haymarket Martyr itu yang dikenang sampai sekarang setelah International Working Men's Association dalam sidangnya di Paris tahun 1889 menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh Sedunia," ucap Asvi Warman Adam, seperti dikutip dari Harian Kompas edisi 1 Mei 2004.
Di Indonesia, penetapan hari buruh yang jatuh pada 1 Mei juga memiliki kisah panjang.
Bahkan sempat mengalami perubahan beberapa kali.
Hal itu terkait kondisi politik yang berkembang di masa itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, May Day diidentikkan dengan ideologi komunisme yang saat itu sangat dilarang keberadaannya.
Karena itu, penetapan hari buruh internasional pada 1 Mei pada masa Orde Baru sempat ditiadakan.
Langkah awal pemerintahan Soeharto untuk menghilangkan perayaan May Day dilakukan dengan mengganti nama Kementerian Perburuhan pada Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja.
Presiden Soeharto menunjuk Awaloedin Djamin menjadi Menteri Tenaga Kerja pertama era Orde Baru.
Ia dipilih karena latar belakangnya sebagai perwira polisi.
Menurut Soeharto, Awaloedin merupakan sosok yang tepat untuk mengisi jabatan itu karena dinilai mampu menghadapi kaum buruh.
"Bulan Mei 1966, Awaludin mengusahakan agar 1 Mei 1966 tidak dirayakan lagi karena dianggap berkonotasi kiri. Namun usaha itu belum berhasil karena serikat buruh masih kuat. Baru sejak 1 Mei 1967, peringatan Hari Buruh dihapus," ucap Asvi Warman Adam, dalam kolom Opini Kompas, 8 Oktober 2003.
"Indonesia pernah memiliki serikat buruh yang berorientasi kelas, khususnya pada era Demokrasi Terpimpin melalui Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Ketika Orde Baru berkuasa, serikat buruh berorientasi kelas ini dibasmi secara brutal, yang melahirkan trauma sejarah panjang hingga sekarang," kata Surya Tjandra, dikutip dari kolom opini Kompas, 1 Mei 2012.
Karena serikat buruh saat itu masih kuat maka peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 1966 masih diadakan oleh Awaloedin setelah mendengar pertimbangan Soeharto.
“Kalau tidak ada peringatan, pasti terjadi geger yang enggak perlu. Saya putuskan, harus diperingati. Maka tanggal 1 Mei 1966, pemerintah Orde Baru ikut melakukan upacara tersebut. Tahun berikutnya langsung saya hapuskan. Kita cari Hari Buruh Nasional saja, tak perlu yang internasional, nanti malah harus nyanyi lagu Internasionale segala,” ucap Menteri Tenaga Kerja pertama rezim Soeharto, Komisaris Besar Polisi Awaloedin Djamin, seperti dilansir Kompas, 7 Mei 2006.
Peringatan diadakan cukup meriah dengan diisi acara pawai kendaraan melewati istana.
Seusai peringatan 1 Mei itu, Awaloedin melemparkan gagasan bahwa tanggal itu tidak cocok untuk peringatan buruh nasional.
Selain itu, peringatan May Day selama ini telah dimanfaatkan oleh SOBSI/PKI.
"Sementara itu, secara diam-diam saya mempersiapkan ketentuan pemerintah untuk mencabut tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh," demikian pengakuan Awaloedin Djamin yang kemudian juga pernah menjadi Kepala Polri itu, seperti dikutip dari tulisan Asvi Warman Adam dalam Kompas (Kolom Opini) 'Hari Buruh Seyogianya Libur Nasional', 1 Mei 2004.
Perkembangannya kemudian, serikat buruh digiring untuk berorientasi ekonomis.
Hal itu dimulai dengan penyatuan serikat buruh yang tersisa dari huru-hara 1965 ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang kemudian menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
"Penataan hari buruh nasional kemudian dilakukan oleh Menteri Tenaga Kerja pada era Soeharto sebagai peringatan empat tahun berdirinya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FSBI) pada tahun 1973," Kompas, 20 Februari 1986.
FSBI adalah wadah bersatunya organisasi-organisasi buruh di seluruh Indonesia yang sebelumnya terpencar-pencar dalam berbagai organisasi.
FSBI pada masa Orde Baru sangat dekat dengan pemerintah, bahkan terkesan sebagai birokrat, sehingga nasib buruh pun masih tidak banyak berubah.
Bahkan, banyak pula dari kalangan buruh yang tidak tahu keberadaan organisasi ini.
Selain itu, FSBI juga belum sepenuhnya independen karena masih didanai pemerintah.
Pada 1986, muncul ide untuk menarik iuran sendiri dari para anggotanya.
Selama masa pemerintahan Orde Baru, buruh masih melakukan upaya pemogokan kerja, meski tak ada aksi unjuk rasa besar yang berarti seperti saat ini.
Pada masa itu pula, tuntutan buruh akan upah layak, cuti haid, hingga upah lembur mulai digaungkan.
Komisi Upah yang saat itu dibentuk unutuk mengakomodasi kepentingan buruh juga mulai bersuara adanya proses penetapan upah yang tidak adil bagi buruh.
Teten Masduki yang ketika itu menjadi juru bicara di Komisi Upah mengungkapkan bahwa buruh di Indonesia tak pernah diikut sertakan dalam menentukan upah yang seharusnya mereka terima.
Badan pengupahan yang ada, tidak pernah memihak pada kepentingan buruh karena serikat buruh resmi yang diakui pemerintah lemah dan dilemahkan.
"Pemerintah selama ini cenderung memperlakukan buruh sebagai bahan bakar untuk memacu industrialisasi dan mendorong ekspor, hingga untuk hal-hal yang menyentuh kebijakan mereka tak pernah diajak bicara," Teten dalam Kompas, 13 Januari 1996.
Aksi unjuk rasa ribuan buruh dan mahasiswa kembali dilakukan pada 1 Mei 2000.
Ketika itu, para buruh menuntut agar 1 Mei kembali dijadikan Hari Buruh dan hari libur nasional.
Unjuk rasa yang disertai dengan mogok kerja besar-besaran di sejumlah wilayah di Indonesia itu membuat gerah para pengusaha.
Pasalnya, aksi mogok berlangsung hingga satu minggu.
PT Sony Indonesia mengancam akan hengkang ke Malaysia apabila para pekerjanya tidak kembali bekerja.
Kemudian ancaman ini membuat khawatir pemerintah, karena jika PT Sony Indonesia saja berani hengkang maka perusahaan elektonik lainnya diprediksi akan mengambil langkah serupa.
Di sisi lain, buruh bersikeras meminta kepada pemerintah agar menetapkan 1 Mei sebagai hari libur nasional.
Sejumlah pegawai terancam diputus kontrak oleh perusahaan lantaran ikut dalam aksi ini.
"Pada tahun 2002, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea mengatakan, 1 Mei tak akan dijadikan hari libur nasional. Pasalnya, Pemerintah telah menetapkan 15 hari libur nasional, sehingga terlalu berlebihan jika hari itu dijadikan hari libur," dikutip dari Kompas, 24 April 2002.
Tidak ada perkembangan apapun soal tuntutan buruh agar 1 Mei dijadikan hari buruh dan hari libur nasional selama masa pemerintahan Gus Dur atau pun Megawati.
Memasuki masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), belum tampak tanda-tanda dikabulkannya tuntutan para buruh.
Namun, pada masa ini tuntutan yang dilancarkan tidak lagi soal libur nasional, tetapi juga soal revisi UU Ketenagakerjaan hingga jaminan sosial yang kemudian membuahkan BPJS Kesehatan hingga BPJS Ketenegakerjaan.
Akhirnya pada tahun 2013 SBY resmi menandatangani Peraturan Presiden yang menetapkan bahwa 1 Mei sebagai hari libur nasional bersamaan dengan perayaan Hari Buruh yang diperingati seluruh penduduk dunia.
"Hari ini, saya tetapkan 1 Mei sebagai Hari Libur Nasional dan dituangkan dalam Peraturan Presiden," kicau Presiden melalui akun Twitter resminya, @SBYudhoyono, Senin (29 Juli 2013) malam.
Rencana ini sebelumnya pernah disampaikan SBY ketika menerima pimpinan konfederasi dan serikat pekerja di Istana Negara, Jakarta, Senin (29/4/2013).
Presiden saat itu didampingi Wakil Presiden Boediono dan para menteri.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyambut baik hal ini.
Menurutnya, ini adalah kado dari Presiden untuk semua buruh di Indonesia.
Secara terpisah, Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha mengatakan penetapan 1 Mei sebagai hari libur nasional merupakan kejutan dari Presiden untuk semua buruh. (kompas.com/fachri fachrudin)
*Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Sejarah Hari Buruh Internasional May Day 1 Mei, Bermula Dari Tuntutan Aturan 8 Jam Kerja Sehari