Diragukan Bambang Widjojanto di Sidang MK, Prof Eddy Diakui Mahfud MD, Pernah Bersidang Kopi Sianida

Ahli dari Tim Kuasa Hukum 01, Eddy OS Hiariej ternyata pernah bersidang untuk kasus Kopi Sianida yang menjerat Jessica Kumala Wongso.

@KompasTV
Prof Eddy OS Hiariej saat jadi saksi ahli disidang MK 

Ahli dari Tim Kuasa Hukum 01, Eddy OS Hiariej ternyata pernah bersidang untuk kasus Kopi Sianida yang menjerat Jessica Kumala Wongso.

TRIBUNBATAM.id - Sosok Edward Omar Syarief Hiariej atau kerap disapa Eddy OS Hiariej menjadi pembicaraan setelah menjadi ahli pada sidang sengketa Pilpres 2019, Jumat (21/6/2019).

 Eddy OS Hiariej dihadirkan oleh ahli dari kubu 01 Kuasa Hukum Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin.

Ia banyak mengundang kontroversi dari kubu pemohon 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Namun, siapa sangka pengalaman Eddy bersidang sebagai ahli bukan kali pertama.

Sebelumnya, Eddy pernah bersidang untuk kasus panjang dari Jessica Kumala Wongso.

 

Kasus tersebut jadi pembicaraan karena tak kunjung selesai walau telah disidangkan selama 2 tahun lamanya.

Dilansir oleh Kompas.com, di tahun 2016, Eddy yang merupakan pakar hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) ini dihadirkan oleh jaksa penuntut umum sebagai ahli hukum pidana.

Kala itu, Eddy mengatakan pernyataan kontroversial soal kasus kopi sianida Jessica tersebut.

Seperti diketahui, Jessica merupakan terpidana kasus kematian Wayan Mirna Salihin.

Mirna meninggal beberapa saat setelah minum es kopi yang dibelikan Mirna di sebuah kafe di Jakarta Pusat pada awal tahun 2016.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Jessica terbukti membunuh Mirna dengan memasukan racun sianida ke dalam es kopi.

Dalam persidangan, Eddy mengatakan soal pasal 304 KUHP tentang pembunuhan berencana yang tak memerlukan motif.

"Pasal 340 itu sama sekali tidak membutuhkan motif. Kata-kata berencana dalam konteks teori namanya dolus premeditatus," ujar Eddy, 2016 silam.

Pernyataannya tersebut didukung dengan tiga hal.

Yakni soal pelaku memutuskan kehendak dalam keadan tenang, yang kedua ada tenggang waktu yang cukup antara memutuskan kehendak dengan melaksanakan perbuatan.

Serta ketiga yakni pelaksanaan dalam keadaa tenang.

"Dolus premeditatus membutuhkan pemikiran yang matang. Tetapi, saya tegaskan itu tidak menghendaki motif," kata Eddy.

Oleh karenanya, dalam perkara yang menggunakan pasal 340, Edward menyebut tidak perlu mencari motif dilakukannya perbuatan pidana.

"Motif itu diletakkan jauh di luar rumusan delik. Jangan capek-capek cari motif karena pasal 340 tidak membutuhkan motif," tambahnya.

Ahli dari pihak terkait Prof Edward Omar Syarief Hiariej dan Dr Heru Widodo saat memberikan keterangan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin. Tribunnews/Jeprima
Ahli dari pihak terkait Prof Edward Omar Syarief Hiariej dan Dr Heru Widodo saat memberikan keterangan dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan saksi dan ahli dari pihak terkait yakni paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Maruf Amin. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Dua tahun berselang dengan segala pemohonan yang diajukan oleh Jessica, ia diputuskan dihukum 20 tahun penjara.

Sementara itu, Eddy dalam kesaksiannya di sengketa hasil pilpres pun banyak membuat tim kuasa hukum 02 bergejolak.

Ketua Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Bambang Widjojanto bahkan mempertanyakan kredibilitas Eddy.

Diberitakan TribunWow.com, hal tersebut tampak dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (21/6/2019).

Awalnya, Bambang menyinggung momen saat tim hukum Jokowi-Ma'ruf mempertanyakan kredibilitas saksi ahli dari 02 dalam sidang sengketa yang saat itu memberikan kesaksian pada Kamis (20/6/2019) dini hari.

Saksi tersebut merupakan ahli dalam bidang IT, Jaswar Koto.

"Ahli kami kemarin ditanya dan agak 'setengah ditelanjangi' oleh kolega kami dari pihak terkait, 'apakah Anda pantas jadi ahli?'," ujar Bambang.

Bambang yang tak terima menegaskan bahwa ahli yang diajukan timnya itu sudah memiliki banyak tulisan baik dalam buku maupun jurnal.

"Ahli kami itu punya 22 buku yang dihasilkan, ratusan jurnal yang dikemukakan dan dia ahli untuk finger print dan iris. Dipertanyakan keahliannya," kata Bambang.

Karenanya perlakuan yang didapatkan saksinya itu, ia lantas mempertanyakan hal yang sama pada saksi Jokowi-Ma'ruf.

"Sekarang saya ingin tanya, saya kagum pada sobat ahli. Tapi pertanyaannya sekarang saya balik, Anda sudah tulis berapa buku yang berkaitan dengan pemilu, yang berkaitan dengan TSM (kecurangan terstruktur, sistematis dan masif)?" tanya Bambang.

Bambang meminta agar saksi Eddy mampu membuktikan bahwa dirinya benar seorang ahli.

Bambang bahkan meminta agar Eddy menunjukkan buku dan jurnal yang pernah ditulis Eddy sebagai bukti.

"Tunjukkan pada kami bahwa Anda benar-benar ahli. Bukan ahli pembuktian, tetapi khusus pembuktian dalam kaitannya dengan pemilu," tegas dia.

"Berikan kepada kami buku-buku itu, mungkin kami bisa belajar. Berikan kepada kami jurnal-jurnal internasional yang Anda pernah tulis," sambung dia.

Bambang memaparkan, jika seandainya Eddy bisa menunjukkannya, Bambang akan mengakui bahwa Eddy memang layak menjadi seorang ahli.

"Kalau itu sudah dilakukan maka kami akan menakar anda ahli yang top. Jangan sampai ahlinya di A ngomongnya B, tapi tetap ngomong ahli," ujar Bambang.

"Jadi, berikan kami jurnal-jurnal internasional, sudah berapa banyak, yang khusus mendiskusikan masalah ini dan berapa buku yang anda punya sehingga pantas disebut sebagai ahli," tegasnya.

Sementara itu, selama Bambang menyampaikan pemaparannya itu, tampak Eddy diam mendengarkan sambil bertopang dagu menggunakan tangan kanannya.

Dipuji Mahfud MD

Saksi Ahli TKN,prof Eddy Hiariej mengatakan bahwa dirinya mendapat telepon dari Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD.

Dalam kesempatan itu Prof Eddy memaparkan berbagai hal termasuk soal pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Penjelasan pelanggaran TSM tersebut menanggapi dalil dari tim hukum Prabowo-Sandiaga.

Momen Prof Eddy  menceritakan dirinya sempat ngobrol dengan Mahfud MD pun terlihat di persidangan.

"Saya kira perlu saya ceritakan di dalam Mahkamah Konstitusi yang mulia ini, tadi malam ketika mantan ketua MK prof Mahfud mendengar saya akan sebagai ahli, beliau menelepon," ujar Prof Eddy.

Prof Eddy mengaku mendapat pertanyaan dari Mahfud MD terkait apa yang akan disampaikan.

 "Beliau nanya, 'apa yang akan mas terangkan'?" ucapnya.

Prof Eddy lantas mengatakan jika dirinya akan menjelaskan soal pelanggaran TSM.

"Saya bilang saya soal TSM," katanya.

Mahfud MD lantas mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan kapastitasnya.

"Oh cocok (kata Mahfud MD), 'karena ketika saya sebagai ketua MK mengambil beberapa putusan dalam pildaka soal TSM saya mengadopsi dalam hukum pidana," jelasnya.

Eddy OS Hiariej pun menyimpulkan jika kemampuannya dibidang ini diakui Mahfud MD.

"Berarti dalam pengertian beliau menganggap saya punya kapasitas untuk menjawab itu," jelasnya.

"Itu mengapa sehingga dalam pendapat hukum tadi saya merujuk pada berbagai putusan," tambahnya.

Terkait dalil tim hukum Prabowo-Sandiaga selaku pihak pemohon perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden-Wakil Presiden soal pelanggaran TSM, Eddy OS Hiariej menyebut harus ada hubungan kasualitas antara pelanggaran TSM tersebut dan dampaknya.

"Konsekuensi lebih lanjut hubungan kausalitas itu harus dibuktikan," kata Eddy O. S Hiariej, saat membacakan pendapat hukum di ruang sidang lantai 2 gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (21/6/2019) seperti dilansir dari Tribunnews.com.

Merujuk pada Fundamentum Petendi atau dasar gugatan atau dasar tuntutan, kuasa hukum pemohon menunjukkan beberapa peristiwa, kemudian megeneralisir bahwa kecurangan terjadi secara TSM.

Padahal, kata dia, untuk mengetahui apakah berbagai pelanggaran tersebut, kalau memang dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan, mempunyai hubungan kausalitas dengan hasil Pilpres harus menggunakan teori individualisir.

Dia menjelaskan, teori ini melihat sebab in concreto atau post factum. Teori individualisir harus dipergunakan, sebab pelanggaran yang terstruktur dan sistematis harus menimbulkan dampak yang masif, bukan untuk sebagian tetapi sangat luas.

"Dalam fundamentum petendi, hal ini sama sekali tidak dijelaskan oleh kuasa hukum pemohon. Belum lagi dasar teoritik dalam hubungan kausalitas, apakah hendak menggunakan teori Birkmayer, teori Binding ataukan teori Kholer," kata dia.

Namun, kata dia, kuasa hukum pemohon sama sekali tidak menyinggung hubungan kausalitas antara terstruktur, sistematis yang berdampak masif dan hubungannya dengan selisih penghitungan suara.

Selain itu, untuk membuktikan adanya TSM, harus dibuktikan dua hal, yaitu adanya meeting of mine diantara para pelaku pelanggaran sebagai syarat subjektif dan adanya kerjasama yang nyata untuk mewujudkan meeting of mine diantara para pelaku pelanggaran sebagai syarat objektif secara kolektif atau bersama-sama.

"Hal ini sama sekali tidak terlihat dalam Fundamentum Petendi," kata dia.

Adapun, perihal “sistematis” pelanggaran yang dilakukan mensyaratkan pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun bahkan sangat rapi.

Dalam konteks teori, hal ini dikenal dengan dolus premeditatus yang mensyaratkan beberapa hal dan tentunya harus dibuktikan.

Dia menambahkan, apa substansi perencanaan, siapa yang melakukan perencanaan, kapan dan di mana ?

Dalam hubungan dengan “terstruktur” di atas, dolus premeditatus terkait substansi perencanaan, siapa yang melakukan, kapan dan di mana harus menunjukan secara pasti untuk terjadi meeting of mine dan kerjasama yang nyata untuk menunjukan adanya meeting of mine tersebut.

"Berbagai dalil yang diutarakan dalam Fundamentum Petendi hanya dihubung-hubungkan antara satu dengan yang lain atas dasar vermoedens atau persangkaan-persangkaan. Sayangnya vermoedens bukanlah alat bukti dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi," tambahnya.

Artikel ini telah tayang di Tribunjateng.com dengan judul Kredibilitas Prof Eddy Diragukan Bambang Widjojanto, Mahfud MD Justru Akui Kehebatannya

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved