Sniper Joanna Palani, Dewi Kematian ISIS di Suriah. Pulang ke Denmark Dipenjara dan Dicap Teroris

Saya telah menyerahkan hidup saya dan kebebasan saya untuk menghentikan ISIS maju, sehingga semua orang di Eropa bisa aman. Itu adalah pilihan saya.

Instagram @Joanna Palani
Joanna Palani, sniper dewi kematian ISIS yang kini menjadi orang buangan di Denmark 

Peluru yang kemungkinan besar dilepaskan seorang penembak jitu ISIS itu nyaris mengenai kepala sniper perempuan tersebut.

Meski kepalanya hampir pecah, perempuan itu tak sedikit pun terlihat takut.

Dia malah tertawa sambil menjulurkan lidahnya.

Saat dia menunduk, ia terlihat masih tertawa-tawa dengan rekan lainnya.

Rekaman video itu diunggah ke dunia maya oleh seorang jurnalis Kurdi yang meliput bersama pasukan YPJ.

"Para perempuan Kurdi tak mengenal rasa takut," ujar Hemze Hamza, sang jurnalis, lewat akun Twitter-nya, seperti dilansir Mirror.

"Manusia pada umumnya akan sangat ketakutan karena kematian begitu dekat dengan mereka, tetapi dia hanya tertawa," tambah Hemze.

YPJ adalah pasukan perempuan suku Kurdi yang merupakan bagian dari Unit Pelindung Rakyat (YPG).

Bernasib Tragis di Denmark

Kini, setelah ISIS takluk dan Joanna Palani kembali ke Denmark, apakah ia bergabung dengan militer atau tetap menjadi mahasiswi yang cantik?

Setelah ditangkap oleh intelijen Denmark di Suriah, ternyata gadis cantik ini masuk penjara karena tuduhan ujaran kebencian terhadap ISIS.

Ia juga dicekal, tidak boleh berpergian karena alasan terorisme. Ia juga kehilangan rumahnya dan keluarganya, meskipun alasannya bertempur untuk menyelamatkan Eropa dari ancaman ISIS.

Apalagi, Joanna memang bandel. Saat mendapat hukuman larangan ke luar Eropa, September 2015, ia malah kembali lagi ke Suriah pada musim panas 2016.

Dus, militer Denmark kemudian memburunya hingga ke Suriah.

Apalagi, foto-foto, video dan kisah heroiknya terus bermunculan di berbagai medias sehingga Denmark perlu "melindungi" nyawa warga negaranya yang terancam.

"Saya menyesal telah melanggar larangan perjalanan, tetapi saya merasa tidak punya pilihan. Saya tidak berharap kehilangan hampir semuanya karena memperjuangkan keselamatan negara yang sama, yang sekarang mencoba untuk mengambil kebebasan saya," katanya.

"Saya tidak ingin ISIS mengancam negara-negara Eropa atau orang lain dengan cara yang sama yang mereka lakukan di Kurdistan dan Suriah."

Joanna dipenjara dua tahun karena melanggar larangan perjalanan dan bergabung dengan kelompok-kelompok yang berperang di Timur Tengah.

"Selama perang, aku mengenakan jilbab di atas kepalaku untuk menutupi rambut pirang. Di siang hari kami bertahan, pada malam hari berburu dan menembak."

Lalu, apa yang membuatnya kembali ke Suriah

"Saya sedang melatih para pejuang wanita. Mereka terluka dan mereka terbunuh. Para pejuang yang telah saya latih tahun sebelumnya, kini tak ada yang tahu nasibnya. Itulah yang membuat saya kembali," kata Joanna.

Denmark mendapat cibiran karena telah memenjarakan Joanna Palani karena di sisi lain, negara liberal itu memperlakukan para simpatisan ISIS yang kembali bisa mendapat rehabilitasi.

"Sayang sekali. Kami adalah negara pertama di dunia yang menghukum seseorang yang telah berperang di pihak yang sama dengan koalisi internasional. Sangat munafik menghukumnya," kata pengacaranya, Erbil Kaya.

"Pemerintah Denmark sedang mencoba untuk memberikan contoh tentang saya di pengadilan. Mereka mengatakan di depan umum bahwa saya sama dengan ISIS, tetapi mereka tahu saya bukan penjahat."

“Saya akan menerima 10 tahun penjara demi menyelamatkan orang, tetapi saya tidak akan menerima satu hari penjara karena dituduh membahayakan Denmark. Saya tidak mengerti mengapa mereka (militer Denmark) akan memandang saya sebagai ancaman ketika saya berjuang untuk Eropa dan untuk wanita di mana-mana. '

Sakitnya lagi, Joanna Palani kini hidup berembunyi di Kopenhagen karena di satu kelompok, ia dicap teroris, tetapi di kelompok lain, ia juga dilecehkan oleh para mualaf Denmark.

"Saya pernah diserang oleh empat pria Muslim di jalanan," katanya.

Kini, Joanna Palani, hidup seperti gelandangan, tanpa rumah.

Ia tidur di sofa milik teman, di toko-toko, mandi di rumah teman, dan kesehariannya bergantung pada belas kasihan.

“Saya tinggal di salah satu negara terbaik di dunia tetapi saya lapar dan kehilangan tempat tinggal dan kedinginan pada malam hari, meskipun saya bekerja penuh waktu. Saya tidak percaya siapa pun," keluhnya.

"Tapi semua sepadan dan saya tidak menyesalinya, karena itulah yang diinginkan seorang gadis kecil, kembali ke Kurdi."

Joanna Palani mengingat lagi ketika mendapat tawaran suaka dan pergi ke Denmark di saat berusia 3 tahun.

"Kami mendapat pesawat ke Denmark. Saya ingat duduk di sebelah jendela dan makan yoghurt. Tiba-tiba saya berada di atas kamp pengungsi di saat saya berada di pesawat menuju Eropa."

“Aku bersama ibu, ayah, dua kakak laki-laki, satu kakak perempuan dan satu adik perempuan. Saya ingat semua keluarga Kurdi lainnya. Salah satunya saya masih tahu."

“Saat meninggalkan kamp, kami naik bus dan aku ingat bibiku menangis karena mereka tidak bisa pergi."

"Aku ingat ayahku dalam pakaian panjang Kurdi dan ibuku dalam pakaian Islami. Saya ingat keluar dari pesawat dan memegang tangan kakak saya dan tanda besar, orang-orang PBB mengatakan 'Selamat datang'."

Meskipun tinggal di Eropa, keluarganya tetap mempertahankan tradisi Kurdi di rumah dan menjaga hubungan dekat dengan kerabat di Irak.

"Aku ingat tumbuh dengan satu kaki di Kurdistan dan satu kaki di Denmark," kenangnya.

“Saya tidak diizinkan melakukan hal-hal sebagai teman Denmark saya. Saya tidak diizinkan memiliki pacar, atau melakukan kontak dengan anak laki-laki. '

"Mereka selalu menyuruhku untuk berhenti bertingkah seperti anak laki-laki dan berperilaku seperti perempuan Muslim Kurdi tradisional."

Namun, di sisi lain, ia juga dididik sebagai bangsa Kurdi, perempuan harus mandiri dan keras seperti laki-laki.

Bahkan, Joanna yang mencintai alam bebas ketika masih anak-anak juga diajarkan kakeknya memegang senapan saat berusia sembilan tahun di Finlandia.

Letusan itulah yang terus menyuruhnya ke Kurdistan, menjadi bangsa pejuang, meskipun berakhir tragis.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved