Dua Tahun Lagi Sudah Bisa Naik Kereta Api Cepat dari Singapura ke China
Jika tak ada aral melintang, tahun 2021 nanti, sudah ada kereta api cepat dari Singapura menuju Kunming, Provinsi Yunan, China bagian selatan.
Sistem satu partai Laos, yakni Partai Revolusi Rakyat Laos, yang telah memerintah sejak 1975, membuat gagasan ini semakin mudah.
Pembangunan jalur kereta api ini juga membuka lebih dari 5000 lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat, belum lagi perkembangan ekonomi di sepanjang koridor kereta api ini, menurut Xinhua.
Membangun jalur kereta api ini memang tidak gampang. South China Morning Post mengatakan bahwa geografi yang sulit memaksa kontraktor membangun 170 jembatan dan 72 terowongan di pegunungan Laos.

Selain itu, sisa-sisa Perang Vietnam masih menyisakan ranjau-ranjau sehingga memaksa perusahaan konstruksi yang terlibat harus menunda proyek beberapa kali.
Proyek ini memang juga sedikit mengalami penolakan dari pemilik tanah, namun pemerintah Laos kemudian membuat undang-undang kompensasi dan akuisisi wajib terkait proyek infrastruktur.
Vientiane sempat menghadapi kesulitan untuk mendapatkan anggaran penunjang untuk proyek tersebut.
Pada bulan Maret 2018, Wakil Menteri Pekerjaan Umum dan Transportasi meminta persetujuan anggaran 510 miliar atau sekitar Rp 600 miliar untuk proyek tersebut.
Dalam jangka panjang, jalur Laos ini akan terhubung dengan kereta api kecepatan tinggi Nong Khai-Bangkok di Thailand, kemudian ke Malaysia.
Ambisi Jalur Sutera

Meskipun China menghindari istilah “proyek” atau “program”, namun BRI ini adalah misi masa depan yang akan membangun kembali mimpi sekian abad yang lalu tentang “Jalur Sutera” atau “Marshall Plan” pasca perang Dunia II,
BRI ini –jika selesai– akan menghubungkan 210 negara di Asia, Eropa dan Afrika lewat jalur darat dan laut.
Meskipuin BRI ini adalah ambisi besar Presiden China XI Jinping, namun sebagian besar negara yantg mendapat tawaran, terkesima dengan gagasan tersebut.
Lihat saja, saat Belt and Road Initiative Forum digelar pada Jumat dan Sabtu lalu yang dihadiri oleh 37 negara, sejumlah petinggi negara yang hadir, langsung menandatangani perjanjian yang besarnya mencapai 64 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 928 triliun di akhir pertemuan.
Bahkan, jika ditambah dengan perjanjian China dengan Malaysia dan Kamboja, nilainya di atas 1.000 triliun.
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad di awal pemerintahannya, Mei 2018 lalu, menghentikan sejumlah proyek strategis peninggalan PM Najib Razak.
Namun, dalam kunjungan kerjanya ke Beijing, kedua negara akhirnya sepakat untuk melanjutkan proyek ECRL senilai 44 miliar Ringgit atau sekitar Rp 151,8 triliun.