MENGUAK Tragedi 27 Juli dan Misteri Diamnya Megawati Soekarno Putri, Tak Bersuara

Peristiwa yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) ini adalah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia

(KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)
Megawati Soekarnoputri tahun 1998 

TRIBUNBATAM.id - SABTU 27 Juli 1996, Jakarta begitu mencekam.

Dilansir dari Kompas.com, kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) diambil alih paksa lewat pertumpahan darah.

Peristiwa yang dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) ini adalah salah satu peristiwa terkelam dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Menyisakan misteri sekaligus membentuk Megawati Soekarnoputri yang kita kenal sekarang.

Sebelum sampai ke kerusuhan, hampir satu dekade lamanya PDI mengalami konflik internal.

Bergabungnya Megawati ke PDI pada 1987 meresahkan banyak pihak, terutama pemerintah Orde Baru.

Teriakkan Bebaskan Hongkong, 1,000 Demonstran Penuhi Bandara Internasional

Ajarkan Cara Rapikan Manajemen, KONI Batam Gelar Diklat Organisasi Keolahragaan

Acara Pernikahan Berlangsung Mewah, Mahar Tania Nadira Ternyata Cuman Segini

Tepergok Congkel Jok Motor, Pelaku Kabur Tapi Jatuh dan Tinggal Motornya di SP Plaza Batam

 

Kala itu, keluarga Soekarno menjadi korban ambisi Soeharto. Upaya de-Soekarnoisasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno, terutama dalam politik.

Hanya ada tiga pilihan partai saat itu. Partai Golkar yang menjadi alat Orde Baru melanggengkan kuasa, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan PDI.

Sejak pemilu 1977, PDI selalu memperoleh nomor buncit dengan perolehan suara tak lebih dari 10 persen. Upaya mendongkrak suara dilakukan dengan mendekati Mega. Kendati keluarga Soekarno sepakat tak ikut politik praktis, pada 1987 Mega akhirnya luluh bergabung ke PDI.

Ketua Umum PDI saat itu, Soerjadi, berhasil menjadikan Megawati dan adiknya Guruh Soekarnoputra sebagai vote getter bagi mereka yang merindukan sosok Soekarno. Mega menjadi anggota DPR dan karier politiknya di PDI melejit.

MENGUNGKAP Kisah Sangkuriang & Dayang Sumbi Dibalik Gunung Tangkuban Perahu yang Erupsi Jumat Sore

Ulang Tahun ke-23, Miracle Me-launching “The Science of Facial Architecture”

 

Melejitnya suara PDI pada pemilu 1987 dan 1992 mengkhawatirkan penguasa Orde Baru. Begitu pula Soerjadi yang ketokohannya tersaingi Megawati waktu itu.

Meski dijegal, Megawati akhirnya berhasil menjabat Ketua Umum PDI berdasarkan hasil Kongres PDI di Surabaya pada 1993. Dengan dukungan mayoritas kader PDI, ia merebut pucuk kepemimpinan dari Soerjadi.

Pascaterpilih sebagai ketua umum, Megawati berkeliling Indonesia untuk konsolidasi dan menemui rakyat. Ketidaksukaan pemerintah Orde Baru akan popularitas Megawati justru membuat Megawati makin dicintai. Ia adalah simbol perlawanan terhadap tekanan Orde Baru. Namanya bahkan sempat diusulkan sebagai calon presiden.

Pemerintah Orde Baru yang mengendus ancaman ini segera merancang skenario untuk menggembosi kekuatan Megawati. Pada 1996, Kongres PDI digelar di Medan. Soerjadi digunakan pemerintah untuk mendongkel Megawati.

Soerjadi mengklaim kemenangan. Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed, dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung hadir memberi restu. 

Massa PDI pendukung Megawati juga membalas dengan benda seadanya yang terdapat di sekitar halaman kantor. Massa PDI pendukung Megawati akhirnya berlindung di dalam gedung sebelum kemudian diduduki massa PDI pendukung Soerjadi.

Sekitar dua jam kemudian, aparat keamanan mengambil alih dan menguasai kantor DPP PDI. Gedung itu dinyatakan sebagai area tertutup. Ruas Jalan Diponegoro tidak dapat dilewati.

Pers asing dan nasional tak diperkenankan mendekat. Pagi itu, puluhan pendukung Mega sudah babak belur terluka akibat saling lempar batu. Sebagian mereka diamankan.

Memasuki siang hari, pukul 11.00, massa memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya. Jumlahnya menjadi ribuan. Tak cuma pendukung Mega, sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, dekat Stasiun Cikini.

Mimbar bebas ini kemudian beralih ke Jalan Diponegoro. Aksi mimbar bebas ini kemudian dengan cepat berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dan aparat keamanan.

Bentrokan terbuka antara massa dan aparat semakin meningkat sehingga aparat terpaksa menambah kekuatan. Setelah itu massa terdesak mundur ke arah RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dan Jalan Salemba. Massa kemudian membakar tiga bus kota, termasuk satu bus tingkat. Massa juga membakar beberapa gedung di Jalan Salemba.

Lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lain dikerahkan dari Jalan Diponegoro menuju Jalan Salemba. Kerusuhan baru dapat diredam pada malam hari.

Pasca-kejadian itu, informasi tentang jumlah korban tewas dan luka simpang siur. Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso menyebut "hanya" dua orang yang tewas dan 26 luka-luka. Ini pun disebut bukan dari kubu Mega, melainkan dari kubu Soerjadi yang mengalami serangan jantung. Satu lagi adalah satpam yang loncat dari lantai tujuh karena gedungnya hendak dibakar massa.

Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang kala itu dipimpin Bambang Widjojanto menyatakan 47 orang dirawat di RSCM, 10 orang dirawat di RS Cikini, dan 1 orang di RS Fatmawati. Minggu tanggal 28 Juli 1996 sekitar pukul 09.00, tiga mobil jenazah keluar dari RS Cikini dengan pengawalan tentara.

Kamar mayat RS Cikini dijaga ketat oleh tentara yang melarang siapa pun mendekat.

Di hari yang sama, sejumlah wartawan yang sempat masuk ke kamar mayat RSCM menjumpai puluhan mayat yang penuh luka penganiayaan. Sementara Komnas HAM menyimpulkan 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan akibat peristiwa itu. Penyelidikan digelar dengan kewenangan terbatas Komnas HAM, tetapi tak pernah ada tindak lanjut.

Pihak ABRI saat itu menuding kerusuhan dimotori kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai Rakyat Demokratik (PRD) turut dituding jadi dalang kerusuhan. Aktivis PRD Budiman Sudjatmiko yang kini jadi anggota DPR dari PDI-P dijebloskan ke penjara dengan hukuman 13 tahun penjara.


MISTERI DIAMNYA MEGA

Pasca-insiden itu, Mega menyerukan pendukungnya untuk tenang sembari menunggu hasil gugatannya terhadap pemerintah dan Soerjadi di pengadilan. Mega akhirnya kalah dalam gugatan itu.

Kekalahan Mega justru menguatkan posisinya dalam kontestasi politik. PDI Perjuangan yang dibentuknya menang pemilu dan ia menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Di era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka.

Saat itu, tekanan publik terutama dari keluarga korban sangat kuat. Ini ditambah sikap politik baru polisi terhadap militer pasca-pemisahan TNI-Polri. Penyelidikan Peristiwa 27 Juli yang mengarah ke sejumlah petinggi militer secara tak langsung akan memperlancar proses pemisahan.

Gus Dur memperhatikan betul penyelesaian 27 Juli. Begitu pula isyarat kuat dari Megawati kala itu. Namun, penyelidikan tidak berjalan lancar. Para penyidik diteror untuk tidak melanjutkan. Teror diduga datang dari Angkatan Darat.

Masalah teknis pembuktian yang rumit membuat penyelidikan 27 Juli 1996 sangat lambat. Soerjadi dan sejumlah orang lainnya sempat dijadikan tersangka dan ditahan, tetapi kasusnya menggantung tak kunjung dilempar ke kejaksaan.

Pun setelah menjadi presiden pada 2001, Megawati tetap diam. Disinyalir ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Mega menyangkut insiden 27 Juli 1996.

Menurut Peter Kasenda (Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat, 2018) Megawati dihadapkan pada kebutuhan untuk memelihara demokrasi dan stabilitas pemerintahan yang sedang dibangunnya.

Dukungan PDI-P di DPR tidak mayoritas dan kekuasaannya belum sepenuhnya terkonsolidasi. Megawati membutuhkan dukungan dari militer. Di sisi lain, ia dituntut korban dan keluarga korban peristiwa Kudatuli untuk mengusut peristiwa yang terjadi.

Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi pengacara korban beberapa kali menanyakan komitmen Megawati dalam mengungkap kasus 27 Juli 2996. Dalam pertemuan dengan TPDI, Megawati menyadari dirinya mempunyai tanggung jawab moral terhadap korban.

Namun, ia masih membutuhkan waktu untuk mengetahui tingkat resistensi militer. Ia juga mengatakan kepada TPDI bahwa penyelesaian Kudatuli tidak perlu melibatkan semua tentara. Cukup satu orang yang diadili, yakni Pangab Jenderal (Purn) Feisal Tanjung.

Namun, pihak TNI keberatan atas permintaan Mega. Pasalnya jika Feisal yang diminta pertanggungjawaban, itu sama saja dengan menggugat kebijakan TNI secara kesluruhan.

Resistensi ini akhirnya membuat Mega diam dan memilih "menjaga" hubungan baik dengan militer. Sutiyoso, Pangdam Jaya kala itu yang sempat jadi tersangka, belakangan malah moncer kariernya sebagai Gubernur DKI dua periode.

Pengadilan Koneksitas yang digelar di era Mega hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI.

Ia dihukum dua bulan sepuluh hari. Sementara dua perwira militer yang disidang, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas.

Pun hingga kini, saat Megawati berhasil menjadi ketua umum parpol terlama dalam sejarah dan mencetak Jokowi menjadi presiden dua kali, ia tetap membisu soal peristiwa 27 Juli. Dalang peristiwa itu tak terungkap dan belum diadili hingga kini. (****)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kasus 27 Juli, Kenapa Megawati Memilih Diam, Tak Bersuara..."

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved