Di Balik Kisah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang Jarang Orang Tahu, sampai Soekarno Diminta Mengulang
Di Balik Kisah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang Jarang Orang Tahu, sampai Soekarno Diminta Mengulang
Di Balik Kisah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang Jarang Orang Tahu, sampai Soekarno Diminta Mengulang
TRIBUNBATAM.id - Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 selalu diperingati setia[ tahun.
Dilansir dari SOSOK.grid.id dalam artikel 'Proklamasi 17 Agustus 1945, Saat Para Pemuda Datang Telat dan Mendesak Soekarno untuk Mengulangi Upacara Kemerdekaan', salah satunya adalah momen ketika Soekarno diminta mengulangi upacara tersebut
Mengutip dari 'Asvi Warman Adam : Determinasi Soekarno Memilih Hari Proklamasi' yang diterbitkan oleh Majalah Intisari No.635 Agustus 2015, Soekarno diminta mengulanginya lantaran ada peserta upacara yang datang telat.
• Bung Karno Hukum Mati Sahabatnya Sendiri, Sosok Pentolan Pemberontak yang Bikin Soekarno Menangis
• Kaitkan Dengan Al Quran, Ini Alasan Soekarno Pilih 17 Agustus Untuk Proklamasikan Kemerdekaan RI

Saat itu Soekarno-Hatta baru saja tiba di Jakarta usai diamankan oleh para pemuda di Rengasdengklok.
Setelah tiba di Jakarta, Hatta meminta Soebardjo mengontak Hotel Des Indes untuk mengadakan rapat PPKI di sana.
Namun sayang jam sudah menunjukkan pukul 22.00 WIB dan hotel sudah tutup.
Soebardjo lantas menelpon Laksamana Maeda dan mengutarakan niatan meminjam rumahnya untuk mengadakan rapat persiapan kemerdekaan Indonesia.
• Soekarno Sakit Malaria saat Bacakan Teks Proklamasi, Tiang Bendera Terbuat dari Bambu

Maeda mengiyakan permintaan Soebardjo.
Maka Soekarno, Hatta, Soebardjo, Sukarni dan Sayuti Melik segera meluncur ke rumah Maeda yang kini beralamat di Jl.Imam Bonjol No.1 Jakarta.
Setibanya di rumah Maeda, mereka mendapati ada beberapa orang Jepang di sana.
Namun orang-orang Jepang itu tak mencampuri perumusan proklamasi.
Baik Soekarno, Hatta, Soebardjo, Sukarni dan Sayuti Melik merumuskan naskah proklamasi.
Kemudian mereka keluar ruangan dan menyampaikan kepada 50 pemuda yang hadir mengenai naskah proklamasi yang masih dalam bentuk tulisan tangan.
Namun para pemuda tak setuju semua anggota PPKI menandatangani naskah tersebut.
Hal ini lantaran PPKI dianggap sebagai bentukan Jepang.
Akhirnya Sukarni mengusulkan yang menandatangani naskah tersebut Soekarno-Hatta saja atas nama bangsa Indonesia.
Semua lantas setuju akan hal itu dan Sayuti Melik langsung mengetik naskah proklamasi.
Keesokannya tanggal 17 Agustus 1945 pukul 09.58 WIB diumumkanlah proklamasi kemerdekaan Indonesia di rumah Soekarno di jalan Pegangsaan Timur 56 disertai upacara bendera.
Pada siang hari saat itu juga ada sekelompok pemuda mendatangi rumah Soekarno.
Mereka mendesak Soekarno agar mengulangi upacara kemerdekaan karena para pemuda itu tidak sempat hadir alias telat tadi pagi.
Soekarno menolak permintaan mereka.
Soekarno kemudian tegas mengatakan proklamasi itu hanya sekali dan untuk selamanya bagi bangsa Indonesia.
Di balik Bendera Pusaka Merah Putih
Fakta lain yang jarang orang tahu adalah mengenai bendera pusaka merah putih yang digunakan saat itu
Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih adalah sebutan bagi bendera Indonesia yang pertama.
Bendera Pusaka dibuat oleh Ibu Fatmawati, istri presiden Soekarno.

Bendera Pusaka pertama kali dinaikkan pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Walaupun seharusnya Bendera Pusaka disimpan di Monas, Bendera Pusaka masih disimpan di Istana Negara.
Namun, tahukah Anda asal usul kain bendera itu sebenarnya?
Seorang pelaku sejarah, Brigjen TNI (Purn) Lukas Kustaryo menuturkan bagaimana lika-likunya saat ia berupaya mencari kain merah untuk bendera pusaka.
Ide ini pun muncul secara tiba-tiba.
Kala itu dari kancah romusha di Bayah, Banten Selatan, Shodanco Lukas diberi tugas secara inkognito membawa surat pribadi Tan Malaka untuk Bung Karno di Jakarta.
Sesampainya di Jl Pegangsaan Timur no. 56, Kustaryo melihat Ny Fatmawati menjahit bendera merah putih.
Saat itu bulan Agustus 1945, para tokoh pergerakan memang sudah terlihat sibuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Apalagi di kediaman Bung Karno terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya.
"Tapi saya lihat benderanya terlalu kecil, kira-kira hanya berukuran panjang setengah meter. Dalam hati saya berkata, kayaknya nggak pantas. Untuk proklamasi kok benderanya tak begitu bagus," begitu ujar Kustaryo seperti dilansir dari Majalah Intisari.
Karena tidak tega melihat bendera kecil itulah, atas inisiatif sendiri laskar Peta Pacitan ini berniat mencari kain yang lebih besar untuk bendera.
"Kalau tak salah Bu Fat sudah mempunyai kain seprai putih yang cukup panjang," tambahnya.

Tanpa tahu harus menuju ke mana untuk mencari kain merah, pemuda kelahiran Madiun, 20 Oktober 1920, ini lantas berjalan menyusuri rel KA dari Pegangsaan sampai Pasar Manggarai.
Di pinggir pasar ia melihat sebuah warung soto bertenda kain merah.
Nah, kebetulan pikirnya. "Saya tak lagi mikir jenis kainnya bermutu atau tidak. Meski saya lihat sudah tidak begitu bagus bahkan sudah robek, pokoknya kain tersebut masih bisa dipakai," kenangnya.
Maklum, di zaman Jepang mutu kain yang dikonsumsi rakyat amat jelek.
Terdorong rasa kebangsaan yang meluap-luap untuk segera mendapatkan kain bakal bendera itu, Kustaryo segera mendatangi si pemilik warung tenda.
Satu-satunya yang dipikirkan, bagaimana caranya mendapatkan barang tersebut.
"Saya beli kain ini dengan harga Rp 500,00, terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri.
Melihat uang segitu banyak, si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu tidak berlangsung lama."
Setelah itu buru-buru ia membawa kain merah tersebut ke rumah Ibu Fat. Begitu diserahkan, Kustaryo langsung pergi lagi.
Bahkan ketika bendera itu dikibarkan pada saat proklamasi, ia pun tidak tahu.
"Setelah itu saya lalu pergi dari Jakarta, kembali bergabung dengan rekan-rekan pejuang lain.
Maklum waktu itu tentara Jepang yang bersenjata masih banyak berkeliaran. Belum lagi pasukan Inggris," kenangnya.
Selang beberapa tahun kemudian, suatu hari Kustaryo ketemu Ibu Fat lagi di Yogyakarta.

Iseng-iseng ia bertanya apakah bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi tersebut, adalah bendera yang kain merahnya pemberian dia dulu.
"Bu Fat menjawab, benar! Kain merah yang saya jahit itulah pemberian Saudara.
Saudara memang sungguh berjasa. Terima kasih ... saya sampai lupa," begitu jawaban Ibu Fat seperti yang ditirukan Kustaryo.
Versi lain riwayat bendera pusaka ini, menurut Kustaryo memang belum pernah diketahui umum.
Apalagi beberapa saksi mata yang melihat Lukas memberikan kain tersebut kepada Ny Fatmawati, semuanya sudah tiada.
"Selain Bu Fat, yang sempat melihat adalah Bung Karno dan supir pribadi mereka. Kalau tidak salah namanya Pak Sarip." (Putra Dewangga Candra Seta)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul KISAH di Balik Proklamasi 17 Agustus 1945 yang Jarang Orang Tahu, sampai Soekarno Diminta Mengulang