Perempuan di Garis Depan Demo Hong Kong, Boneka Beruang, 'Pemburu' Gas Air Mata Hingga Pelecehan

Saya merasa sangat terkejut bagaimana gadis-gadis, termasuk saya, bereaksi dalam situasi ini. Saya pikir kita semua tegar

Reuters
Para wanita di garis depan demo Hong Kong, kadang terjebak dalam bentrokan keras dengan polisi 

Namun sejauh ini perusahaannya tidak mempermasalahkan.

“Tapi saya siap kehilangan pekerjaan demi gerakan ini. Saya masih muda dan saya dapat mencari pekerjaan lain. Kita perlu melindungi kebebasan Hong Kong."

Yan juga mengaku menjadi lebih berani saat gerakan itu berkembang.

“Kebanyakan wanita tidak sekuat pria. Saya melihat mereka lebih memainkan peran penting, seperti memindahkan material dan melindungi orang lain. Tetapi, kami selalu menjadi semakin solid dan saling melindungi dan menjaga”

Ia dan seorang teman wanita lainnya awalnya mencoba memadamkan tabung gas air mata untuk pertama kalinya.

Sejak itulah ia semakin yakin bahwa wanita sebenarnya bisa berbuat banyak.

Jika sebagian besar pendemo menghindar jika ada gas air mata ditempakkan polisi, Yan justru mengejarnya dan dengan sesegera mungkin memadamkannya.

“Memeadamkan tabung gas air mata itu adalah hal yang penting di garis depan, sebelum asapnya menyebar dan mengganggu puluhan orang.”

Cheung, seorang siswa berusia 17 tahun merasa bahwa aksi demo sama dengan dengan "medan perang" di mana setiap orang, pria atau wanita, memainkan peran yang sama dan memiliki musuh yang sama.

"Kami semakin yakin bahwa gerakan ini sangat penting untuk masa depan kami ... Ini adalah rumah kami."

Sensitifitas Tinggi

Para perempuan memang menjadi warna tersendiri setiap gerakan massa di manapun. Keberanian bahkan secara tidak langsung menjadi motivator utama bagi kaum pria untuk tidak takut.

Di Sudan, tahun ini, memimpin demo yang menggulingkan presiden lama Omar al-Bashir adalah wanita.

Bahkan di China, saat gerakan demo menuntut demokrasi di lapangan Tiananmen, Beijing, 4 Juni 1989 yang menimbulkan banyak korban jiwa, ada seorang wanita yang mendapat julukan Ibu Tiananmen.

Susanne Choi Yuk-ping, profesor sosiologi Universitas China, Hong Kong, mengatakan bahwa gerakan tanpa pemimpin ini membuat para wanita merasa dirinya bisa tampil lebih baik.

"Saya tidak terkejut bahwa dalam gerakan anti-ekstradisi ini kita telah melihat banyak wanita turun ke jalan, bergabung dengan demonstrasi dan bahkan di garis depan," kata Choi.

Wartawan mencoba menghalangi polisi yang hendak memukul demonstran wanita

Bahkan, sejumlah besar wanita memiliki andil dalam Gerakan Payung sejak 1997 lalu, saat penyerahan Hong Kong dari Inggris ke China.

“Saya pikir semua pengalaman ini tentu akan memberdayakan perempuan, dan membuat mereka merasa memiliki kepentingan untuk perubahan ini,” katanya.

Choi mencatat bahwa para wanita memiliki ikatan sosial yang lebih kuat sehingga beberapa kelompok wanita menjadi peran yang kuat dalam setiap aksi.

“Wanita memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap orang lain sehingga mereka bisa menjadi sangat kreatif dalam gerakan ini, menyediakan logistik, memotivasi bahkan mengorganisir berbagai petisi.dengan cara feminin yang mereka miliki,” katanya.

Hal lain yang membuat para wanita turun ke jalan adalah untuk melawan stereotype gender.

“Sebelumnya, perempuan Hong Kong sering diejek sebagai gong nui (atau 'gadis Kong) yang diidentikkkan materialistis,” katanya. "Tapi sejak bulan lalu, saya telah melihat perubahan persepsi tentang wanita Hong Kong."

Hanya saja, seperti dicatat profesor Universitas Hong Kong Petula Ho Sik-Ying, wanita lebih rentan daripada pria terhadap berbagai bentuk pelecehan.

“Perempuan akan selalu menjadi sasaran empuk,” kata pakar gender itu. "Anda harus bersiap dengan serangan itu. Tidak hanya secara fisik, tetapi juga postingan di media sosial, tentang penampilan fisik dan hal lainnya.”

Hal itu merujuk foto seorang demonstran perempuan yang diseret polisi dalam kondisi pakaiannya sobek sehingga ada bagian tubuhnya yang terbuka..

"Itu merupakan gerakan maskulin dan sangat patriarkis," katanya. "Kita semua menikmati aspek romantis dari gerakan ini, tetapi ada lebih banyak bahaya juga di baliknya,” katanya.

Tuduhan kekerasan seksual oleh polisi juga semakin kuat akhir-akhir ini meskipun belum ada bukti.

Seorang pengunjuk rasa wanita yang telah ditangkap di depan umum menuduh polisi melesehkannya.

Dia mengklaim dirinya disuruh melepas semua pakaiannya dan diperintahkan untuk berjongkok oleh seorang petugas wanita.

Seorang juru bicara polisi telah membantah tuduhan itu dan mengatakan bahwa mereka memiliki rekaman bagaimana mereka memperlakukan aktivis yang ditangkap.

Pada Rabu malam, ribuan orang berkumpul di Central untuk meminta jawaban dari polisi Hong Kong atas tuduhan tersebut.

Kerumunan emosional meneriakkan slogan-slogan seperti "Malu pada polisi Hong Kong" dan “Stop Pelecehan Terhadap Perempuan.”

Dewan Pengaduan Polisi Independen mengatakan bahwa pihaknya sedang melakukan penyelidikan terhadap tuduhan itu.

Sebuah survei yang diluncurkan pada 21 Agustus oleh Asosiasi Terkait Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan menyebutkan, 46 dari 221 responden wanita mengaku telah mengalami kekerasan seksual sejak gerakan dimulai.

Laporan-laporan ini termasuk disentuh di bagian tubuh yang sensitif, percobaan kekerasan seksual, dan dihina oleh penggunaan bahasa seksies.

Terlepas dari hal itu, para demonstran pria sangat mengagumi keberadaan wanita di garis depan.

"Mereka sangat efisien dan berani ... Beberapa bahkan berjalan di depan kami tanpa takut... Mereka juga menjadi pengingat saat kami bergerak terlalu berlebihan. Saya menghormatinya," kata seorang demonstran bernama Chan.

Demonstran pria lain mengatakan bahwa beberapa wanita kadang tampil menghadapi polisi sendirian, meminta mereka untuk tidak brutal.

“Harus diakui, polisi memang hati-hati menghadapi para wanita jika suasana memanas. Padahal, risiko mereka akan menjadi korban sangat tinggi,” katanya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved