Jadi Tersangka UU ITE dalam Rusuh Papua, Veronica Koman Angkat Bicara, Polisi Beri Warning
Veronica Koman menanggapi penetapan dirinya sebagai tersangka UU ITE oleh polisi yang dituding memicu kerusuhan di Papua
Veronica Koman menyebut dirinya telah menjadi korban kriminalisasi pihak kepolisian.
Veronica Koman mengaku selama ini memilih untuk tidak menanggapi yang dituduhkan oleh polisi lewat media massa.
Hal ini dia lakukan bukan berarti karena semua yang dituduhkan itu benar, tapi karena ia tidak ingin berpartisipasi dalam upaya pengalihan isu dari masalah pokok yang sebenarnya sedang terjadi di Papua.
"Kasus kriminalisasi terhadap saya hanyalah satu dari sekian banyak kasus kriminalisasi dan intimidasi besar-besaran yang sedang dialami orang Papua saat ini. Hal yang jauh dari hingar-bingar.
Aspirasi ratusan ribu orang Papua yang turun ke jalan dalam rentang waktu beberapa minggu ini seolah hendak dibuat menjadi angin lalu," kata Veronica Koman dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Sabtu (14/9/2019).
Menurut Veronica, pemerintah pusat beserta aparaturnya nampak tidak kompeten dalam menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua hingga harus mencari kambing hitam atas apa yang terjadi saat ini.
"Cara seperti ini sesungguhnya sedang memperdalam luka dan memperuncing konflik Papua," ujar Veronica Koman.
Veronica juga menolak segala upaya pembunuhan karakter yang sedang ditujukan kepada dirinya selaku pengacara resmi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).
"Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada," tuturnya.
REKENING
Veronica Koman juga menanggapi soal saldo di rekeningnya yang dianggap tak wajar oleh pihak kepolisian.
Menurut Veronica Koman, saldo rekening miliknya dalam batas nominal yang wajar sebagai pengacara yang juga kerap melakukan penelitian.
Veronica juga mengakui pernah menarik uang di Papua ketika dirinya berkunjung ke Papua, dengan nominal yang sewajarnya untuk biaya hidup sehari-hari.
Sementara terkait dirinya di Surabaya, ia mengakui hanya sekali seumur hidup.
Itupun hanya empat hari ketika pendampingan aksi 1 Desember 2018 bagi kliennya Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).