RUU Ekstradisi Hong Kong Kandas, Pria Ini Bebas Meski Diburu karena Bunuh Pacar Hamil di Taiwan

Seorang pria WN Hong Kong yang didakwa membunuh pacarnya yang sedang hamil di Taiwan akan dibebaskan dari penjara Hong Kong Oktober nanti.

South China Morning Post
Chan Tong-kai, WN Hong Kong, tersangka pembunuhan pacarnya yang sedang hamil di Taiwan, diselamatkan oleh batalnya RUU ekstradisi yang ditolak oleh demonstran selama 17 pekan terakhir. Chan tidak bisa diekstradisi karena tidak ada perjanjian ekstradisi antara Hong Kong dengan negara itu. 

TRIBUNBATAM.ID, HONG KONG - Rancangan Undang Undang (RUU) ekstradisi yang dibatalkan karena gelombang demo yang berlangsung hingga 17 minggu kini terbukti berpihak pada seorang tersangka pembunuhan.

Seorang pria WN Hong Kong yang didakwa membunuh pacarnya yang sedang hamil di Taiwan akan dibebaskan dari penjara Hong Kong pada 23 Oktober 2019 nanti.

Meskipun kasusnya berat, ia tidak bisa diekstradisi ke Taiwan karena antara Hong Kong dan Taiwan tidak ada perjanjian ekstradisi, demikian dilansir TribunBatam.id dari South China Morning Post, Senin (30/9/2019).

Pria bernama Chan Tong-kai ini sebelumnya didakwa kasus pencucian uang di Hong Kong dan akan bebas pada 23 Oktober nanti.

KPK Perpanjang Masa Penahanan Kock Meng, Pengusaha Penyuap Gubernur Kepri Nurdin Basirun

Politisi Partai Gerindra Minta Jokowi Mundur Sebagai Presiden: Saya Ingatkan Pemerintah Joko Widodo

Agnez Mo dan Rezky Aditya Bahas Pernikahan, Citra Kirana Beri Kepastian Hubungan Lewat Ini

Di Taiwan, Chan Tong-kai sudah masuk daftar buron terkait kematian pacarnya yang hamil, tetapi tidak dapat dipindahkan ke pulau yang memiliki pemerintahan sendiri itu.

Kekasihnya, Poon Hiu-wing, meninggal saat berlibur di Taiwan bersama Chan dan diduga menjadi korban pembunuhan.

Demo Hong Kong yang dipicu oleh penolakan RUU ekstradisi
Demo Hong Kong yang dipicu oleh penolakan RUU ekstradisi (South China Morning Post)

Hal inilah yang mendorong Ketua Eksekutif Carrie Lam Cheng Yuet-ngor untuk mendorong RUU ekstradisi, yang akan memungkinkan Hong Kong untuk mengirim buron ke yurisdiksi yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi.

Anggota parlemen Ann Chiang La wan, dari Aliansi Demokratik untuk Kemajuan Hong Kong sempat mengunjungi Chan di penjara pada bulan Juli lalu dan mencoba membujuknya untuk menyerahkan diri kepada otoritas Taiwan.

Mata Kanan Wartawan Indonesia, Veby Mega Indah Terkena Tembakan saat Liput Demo Hong Kong

Hong Kong Terus Membara, Kampanyekan Gerakan Anti-China dan Dapat Dukungan Global

Chiang mengatakan kepada SCMP bahwa setelah kunjungan itu ia tidak ada kontak lagi dengan Chan.

“Aku bilang aku ingin mengunjunginya lagi setelah pertemuan terakhir kali. Tetapi kami akhirnya tidak memiliki kontak lebih lanjut,” katanya, "Tapi saya tahu seorang pastor telah bekerja [dalam kasus ini]."

Para demonstran Hong Kong menginjak-injak bendera China dalam aksi demo, Minggu (22/9/2019).
Para demonstran Hong Kong menginjak-injak bendera China dalam aksi demo, Minggu (22/9/2019). (South China Morning Post)

Ann Chiang tyidak tahu sikap Chan saat ini, apakah akan menyerahkan diri ke Taiwan atau tetap berada di Hong Kong.

Namun yang jelas, setelah masa tahanannya habis, ia bisa menghirup udara bebas di negaranya sendiri.

Anggota dewan eksekutif Ronny Tong Ka-wah mengatakan tidak ada cara lain untuk melanjutkan kasus ini.

“Sebagai penduduk tetap, Chan menikmati kebebasan di Hong Kong sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Tidak ada cara untuk membatasi kebebasannya setelah ia dibebaskan,” kata Tong.

"Bagi saya hal ini sebenarnya tidak bisa diterima, tetapi masyarakat telah mencapai titik yang tidak bisa kembali."

Seperti diketahui, pemerintah eksekutif Hong Kong diperangi oleh demonstran selama 17 pekan ketika mengajukan RUU ekstradisi ke parlemen.

Dalam RUU itu, seorang pelaku kriminal dapat diekstradisi ke negara lain, termasuk yang tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, termasuk China daratan.

RUU ini ditolak karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia karena para tersangka tidak ada jaminan para tersangka mendapat keadilan oleh negara lain.

Pendemo menuduh China berada di balik RUU itu karena banyak pelaku kriminal yang melarikan diri ke Hong Kong.

Bahkan aksi demo yang berlangsung keras selama hampir empat bulan itu berlum juga berhenti hingga saat ini dan isunya kemudian bergeser menjadi gerakan anti-China.

Anggota parlemen dari partai oposisi mencoba mengajukan jalan tengah dengan menyusun RUU Yuridiksi Pidana.

Andrew Wan Siu-kin, dari Partai Demokratik dalam amandemen RUU Yurisdiksi Pidana tersebut mengajukan pemberian kekuasaan ekstrateritorial pengadilan lokal atas kejahatan luar biasa, seperti pembunuhan dan genosida.

Setelah Departemen Kehakiman menyetujui rancangan undang-undang tersebut sesuai dengan persyaratan hukum, Wan menulis surat kepada Kepala DPR Andrew Leung Kwan-yuen.

Namun Leung pada bulan Agustus lalu meminta Andrew mengikuti prosedur standar untuk mengajukan amandemen, yakni dimulai dari panel.

“Itu menunjukkan kamp pro-kemapanan dan pemerintah sangat munafik. Waktunya pasti tidak cukup jika hal itu dimulai dari panel. Mereka mencekik kesempatan terakhir untuk membuat keadilan dengan prosedur," kecam Andrew 

Sekretaris Kehakiman Teresa Cheng Yeuk-wah telah menolak proposal untuk memberdayakan pengadilan lokal sejak Mei.

Dia mengatakan, tindakan itu akan mengubah tradisi bahwa pengadilan setempat hanya menangani kejahatan yang dilakukan di Hong Kong.

Legislator Partai Buruh Fernando Cheung Chiu-hung sempat mengusulkan Hong Kong mentransfer tersangka kriminal ke Taiwan, tetapi tidak ke daratan China atau Makau.

Beberapa jam setelah usulannya memicu perdebatan sengit dari kalangan pengunjuk rasa, Fernando akhirnya menarik kembali usulan tersebut, Juli lalu.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved