Kontroversi Sate Jamu Kuliner Ekstrem di Solo, di Tengah Larangan Gubernur Ganjar Pranowo

Kota Solo, Jawa Tengah, ternyata terdapat kuliner ekstrem yakni olahan daging anjing. Masyarakat sekitar menyebutnya dengan sate jamu

(TribunJabar/Mega Kurnia)
Menu olahan daging guguk di salah satu warung makan di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Rabu (11/12/2019). (TribunJabar/Mega Kurnia) 

Ijey mengaku, anjing itu dipasok dari luar Solo

"Kebanyaknnya dari Jabar Mas, kaya Garut, Tasikmalaya sampai Majalengka. Kami pesan mereka kirim ke sini ‎rata-rata tiga hari sekali. Sekali kirim 20-an lah," jelasnya.

Harganya dibanderol dari Rp 400 ribu sampai Rp 600 ribu, tergantung beratnya.

"Setelah anjingnya kami terima, kami potong sendiri," ucapnya. 

Ijey memastikan anjing yang diolah ini higienis dan terbebas dari penyakit. Ijey mengaku anjing tersebut rutin dicek kesehatannya selama satu bula sekali. Termasuk pengambilan sampel darah.

‎Hanya saja, di tempat itu, tidak terlihat dipasang sertifikat higienis. 

Koordinator Dog Meat Free Indonesia (DMFI) Surakarta, Mustika Chandra menyangsikan klaim pedagang bahwa guguk itu telah divaksinasi, karena vaksinasi membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mekanisme vaksinasi juga harus melibatkan instansi terkait.

"Kalaupun sudah divaksinasi, minimal harus dikarantina hingga dua minggu. Sedangkan selama ini langsung mereka sebarkan," ujar Mustika.

Hasil investigasi DMFI per April 2019, warung guguk di wilayah Solo Raya sekitar 200 warung. Meliputi Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, dan Surakarta.

Bahan baku kebanyakan didatangkan dari wilayah Tasikmalaya, Garut, Wonogiri, Surakarta, dan sebagian dari Jawa Timur.

Pasokan dari luar Solo, didatangkan tiga kali dalam seminggu. Satu truk memuat sekitar 100 ekor. Pengepul yang menerima di wilayah Sragen. Tiap ekor dihargai Rp 27 ribu hingga 40 ribu per kilo, sedangkan tiap ekornya berbobot 7-8 kilo.

"Dari area lokal hanya lima atau sepuluh ekor saja sekali pengiriman, karena di Solo sendiri sudah habis dijadikan sate," kata Mustika.

Ia membeberkan, proses pengiriman hingga sampai ke tangan pedagang juga tidak memperhatikan hak-hak hewan. DMFI menyaksikan sendiri semua proses itu melalui investigasi yang mereka lakukan.

Mustika menyebut, di wilayah Solo Raya, baru Karanganyar saja yang sudah menerbitkan peraturan daerah tentang larangan untuk mengonsumsi daging guguk.

Sedangkan, wilayah lain seperti Surakarta dan Sukoharjo sama sekali belum memiliki regulasi serupa.

Padahal, regulasi ini sangat penting. Terutama untuk memutus mata rantai utamanya.

"Dengan regulasi saja masih ada yang mengonsumsi. Apalagi, kalau belum dibikin perdanya. Kita juga butuh terus mengedukasi masyarakat," katanya.(*

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved