15 TAHUN TSUNAMI ACEH

Kisah Tsunami Aceh 2004 - Tragedi Minggu Kelabu Manusia Tak Berdaya Diguncang Gempa Digulung Tsunami

Ada banyak cerita hadir saat tsunami melanda, kisah sedih, kisah perjuangan warga yang selamat saat diterjang tsunami

Editor: Mairi Nandarson
Kompas
Tsunami Aceh, Desember 2004 

Apa lagi yang masih terlelap pada pagi Minggu itu.

Hanya sedikit dari mereka yang beruntung dan bisa selamat, itu pun penuh dengan keajaiban-keajaiban dan di luar logika manusia.

Mereka yang luput dari maut bermigrasi mencari dan menempati tempat-tempat yang diperkirakan aman dari jangkauan gelombang.

Dengan suara gemuruh, bagaikan seekor naga raksasa lapar, gelombang itu melumat dan merobohkan bangunan pepohonan, rumah-rumah penduduk, lalu menyeretnya ke darat sejauh 7 km, kemudian menarik ke laut dengan kekuatan dan kecepatan yang sama hingga 7 kali.

Dalam waktu 7 menit, tidak kurang tiga ratusan ribu orang yang mendiami daerah pantai Banda Aceh, Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Pidie, dan Aceh Utara, terapung menjadi mayat.

Sungguh di luar dugaan bahwa gelombang itu muncul dan menghantam daratan Aceh, walaupun mereka pernah mendengar dan meyakini adanya "ie beuna" saat dunia kiamat.

Maka ketika air itu mendarat, mereka berpikir dunia sudah kiamat. Karena itu tidak sedikit orang yang pasrah dengan hanya berucap kalimat Lailahaillallah dan Allahuakbar.

Masyarakat internasional pun terkesima karena istilah tsunami yang mereka pelajari dari berbagai literatur tidak sedahsyat yang terjadi di Aceh.

Para ahli mendeskripsikan tsunami sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut.

Gangguan impulsif ini bisa disebabkan oleh gempa tektonik, erupsi vulkanik atau land-slide (longsoran).

Kata ‘tsunami' sendiri diadopsi dari bahasa Jepang, sebuah negara yang kerap dilanda gelombang ini. Kata tsu' bermakna pelabuhan dan 'nami adalah gelombang.

Istilah tsunami belum dikenal oleh masyarakat Aceh, tetapi gejala yang sama pernah dikenal oleh masyarakat kepulauan Simeulu (Samudra Hindia) dengan istilah seumong.

Masyarakat Simeulu mewarisi tradisi nenek moyang mereka, lari ke tempat yang lebih tinggi tatkala gempa menggoyang bumi, walaupun gelombang tak kunjung menghantam
pemukiman yang mereka diami.

Semoga pada peringatan 14 tahun bencana tsunami Aceh semua kita dapat mengambil pelajaran, agar selalu waspada dan siaga pada bencana.

Hal yang lebih penting adalah senantiasa mendekatkan diri kepada Allah swt. Karena dunia ini sudah tua, bencana pun bisa saja terjadi kapan dan dimana pun kita berada. Wallahu A'lam Bishawab.(*)

(Tulisan ini dikutip dari buku "Tsunami dan Kisah Mereka", diterbitkan Badan Arsip Provinsi Aceh tahun 2005)
Artikel ini telah tayang di serambinews.com dengan judul Tragedi Minggu Kelabu; Manusia tak Berdaya, Mayat-mayat Bergelimpangan, Semuanya Pasrah
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved