Sejarah dan Asal Mula Ujian Nasional di Indonesia, Apa Tujuan, Manfaat dan Dampaknya?
Sejarah dan Asal Mula Ujian Nasional di Indonesia, Apa Tujuan, Manfaat dan Dampaknya?
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Menindaklanjuti UU No. 20 Tahun 2003 pasal 35 ayat 3, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
Dalam Pasal 73 ayat 1 PP tersebut, pemerintah mengamanatkan pembentukan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk mengembangkan, memantau, dan melaporkan pencapaian Standar Nasional Pendidikan secara nasional.
BSNP berkedudukan di ibukota negara dan bertanggung jawab kepada Menteri, dalam hal ini Menteri Pendidikan.
Namun BSNP bersifat mandiri dan profesional. Jumlah anggota BSNP antara 11-15 orang yang terdiri atas ahli-ahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum, dan manajemen pendidikan.
Selain itu juga dipilih orang yang memiliki wawasan, pengalaman dan komitmen untuk peningkatan mutu pendidikan.
Anggota BSNP diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dengan masa bakti 4 tahun.
Salah satu tugas dan wewenang BSNP adalah menyelenggarakan ujian nasional. Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan berkualitas, Ujian Nasional diperlukan sebagai sistem penilaian yang dapat dipercaya (credible), dapat diterima (acceptable), dan dapat dipertanggunggugatkan (accountable).
Bentuk Ujian Nasional Dikutip dari bsnp-indonesia.org, ada dua bentuk Ujian Nasional, yaitu:
1. Ujian Nasional Kertas dan Pensil (UNKP) Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK).
2. UNBK adalah ujian nasional dengan menggunakan komputer yang dilengkapi dengan perangkat lunak (software) yang khusus dikembangkan untuk Ujian Nasional untuk menampilkan soal dan proses menjawabnya dengan tingkat kesulitan yang sama dengan UN tertulis.
Apa dampak bila tidak ada ujian nasional?
Robert L. Ebel dalam Practical Problems in Educational Measurement (1980) menyebutkan beberapa konsekuensi yang muncul jika ujian negara tidak dilakukan, yaitu:
1. Dorongan dan penghargaan atas usaha seseorang untuk belajar akan menjadi lebih sulit.
2. Kesuksesan program pendidikan kurang dapat dinyatakan sebagai tujuan dan pencapaian kurang dapat dibuktikan.
3. Keputusan-keputusan penting terkait dengan masalah kurikulum dan metode tidak diambil berdasarkan bukti-bukti yang kuat melainkan lebih berdasarkan pada perkiraan dan cenderung plin-plan.
4. Kesempatan menempuh pendidikan tidak berdasarkan bakat dan prestasi namun lebih berdasarkan keturunan dan pengaruh yang dimiliki.
5. Hambatan kelas sosial kurang dapat ditembus.
(Tribunbatam.id/Kompas.com)