News Analysis
Dijuluki ‘Kota Denda Dunia' Satu Alasan Singapura Tinggi Infeksi Tapi Minim Kematian Akibat Corona
Para warga berstatus orang dalam pengawasan, bahkan seolah dipasangi ‘chip’ yang akan memantau gerakan mereka dalam radius 10 meter sekalipun.

Bahkan, seakan “mengejek” negara lain, awal April lalu, pasien yang meninggal berusia satu abad lebih, tepatnya 103 tahun.

Mengapa negara kota berpenduduk 5,8 juta jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk urutan keempat di dunia ini, ‘bisa mengatur’ angka kematian akibat COVID-19, laiknya anak tangga?
Professor Jeremy Lim, dari National University of Singapore’s Saw Swee Hock School of Public Health, menyebut tingginya kasus positof di Singapura, bukan ditularkan dari 2300-an warganya, melainkan ditularkan dari oleh pekerja asing, dari Asia Selatan.
Ada sekitar 323.000 pekerja migran yang tinggal di asrama khusus di Singapura.
Para pekerja ini dilibatkan resmi di proyek konstruksi, pemeliharaan taman, dan simbol kota, industri kecil dan manufaktur.
Pada tanggal 1 April, asrama ini hanya menyumbang 19 infeksi. Pada hari Minggu, 26 April, mereka menyumbang hampir 11.419 kasus.
Namun, pekan ini, Menteri Dalam Negeri Lawrence Wong, memprediksi dua pekan kedepan, akan menjadi masa paling kritis.
Dilansir SCMP, Jeremy menyebut, kunci pemerintah negaranya bisa menekan laju kematian, laiknya angka kematian reguler, karena sejak awal, otoritas setempat mengetatkan aturan lock down, atau di Singaoura diistilahkan dengan Circuit Break measure.

Kebijakan ‘memutus sekring’ virus ini dengan mudah dipatuhi warga, karena sistem data kependukan dan data jaminan kesehatan terus terpantau.
Jumlah pasien yang dirawat di ICU COVID-19 sempat naik jadi 32 orang pada 10 April 2020, namun turun menjadi 22 dalam sepekan.
Disamping itu, otoritas kesehatan dan polisi sipil, begitu ketat memberlakukan “contact-tracing,’ pagi warga yang pernah kontak dengan pasien posotif.
Pemantauan hari demi hari ini, dimonitor dengan CCTV.
Para warga berstatus orang dalam pengawasan, bahkan seolah dipasangi ‘chip’ yang akan memantau gerakan mereka dalam radius 10 meter sekalipun. Dan semuanya terekam.
Kebijakan karantina dan travel restrictions, membuat ketakutan akan datangnya gelombang kedua virus, yang kambuh dari pasien yang setelah sembuh, juga teratasi.
Disisi lain, kebijakan yang tak kalah ketatnya adalah pemerintah memperbanyak swabbing test (uji air lendir) dan rapid test dengan pengambuilan sampel darah.
Dengan tradisi penegakan hukum, membuat warga Singapura juga takut keluar rumah, tanpa masker, atau hanya sekadar hang out.