Kembali Memanas, Anwar Ibrahim Tolak Mahathir Mohamad Sebagai Calon PM Pakatan Harapan

Polemik politik Malaysia, antara Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim tuai sorotan. Anwar Ibrahim menolak pengajuan Mahathir sebagai calon PM Malaysia.

AFP/MOHD RASFAN
Mahathir Mohamad (kanan) bersama tokoh politik Anwar Ibrahim (tengah) dan Menteri Dalam Negeri Muhyiddin Yassin pada 1 Juni 2018. Anwar Ibrahim menolak Mahathir sebagai calon PM Pakatan Harapan. 

TRIBUNBATAM.id, KUALA LUMPUR - Polemik politik Malaysia, khususnya antara Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim kini menuai sorotan.

Dua politis senior Malaysia ini dikabarkan memasuki babak baru dalam pasang surut relasi keduanya.

Anwar Ibrahim menolak jika Mahathir Mohamad diajukan sebagai calon Perdana Menteri Malaysia.

Partai Keadilan Rakyat (PKR) pimpinan Anwar melalui rapat darurat, Jumat siang (19/6/2020) menolak secara resmi pengajuan Mahathir sebagai calon PM koalisi oposisi Pakatan Harapan (PH).

PKR bersikukuh sosok Anwar sebagai calon yang tepat untuk memimpin Malaysia jika Pakatan berhasil menggulingkan pemerintahan Perikatan Nasional (PN) Perdana Menteri Muhyiddin Yassin.

“Partai telah memutuskan untuk tidak mendukung nominasi Tun Dr Mahathir sebagai PM namun tetap terbuka untuk menggelar diskusi demi menyelamatkan Malaysia dan memulihkan kembali mandat rakyat.” bunyi pernyataan PKR dikutip Malay Mail.

 

Miliki Efek Samping dan Komplikasi, Malaysia Sebut Dexamethasone Jangan Disalahgunakan

Deadlock Mahathir dan Anwar

Keputusan PKR adalah pukulan telak bagi Pakatan untuk merebut kembali Putrajaya setelah kehilangan kekuasaan pada 1 Maret lalu.

Tanpa PKR, jalan Pakatan mencapai mayoritas 112 kursi untuk membentuk pemerintahan baru semakin terjal.

Saat ini koalisi Pakatan Harapan yang terdiri dari PKR, Partai Aksi Demokrat (DAP), dan Partai Amanah memiliki 91 kursi.

Mahathir dan empat parlementarian lain yang dipecat oleh partai Bersatu memilih berkaukus dengan Pakatan.

Pakatan juga mendapat dukungan dari partai regional Warisan yang berkuasa di negara bagian Sabah dan dua partai kecil lainnya yaitu Partai Sarawak Bersatu (PSB) dan UPKO.

Total dukungan jika dikalkulasi adalah 108 kursi dari 222 kursi Dewan Rakyat.

Kemelut politik di Pakatan tidak terlepas dari deadlock atau kebuntuan calon PM antara Mahathir dan Anwar.

Mahathir mendapat dukungan semua komponen partai kecuali PKR kembali ke tampuk kekuasaan untuk ketiga kalinya.

Politisi kawakan berusia 94 tahun itu sepakat akan mengangkat Anwar sebagai Deputi Perdana Menteri dan menandatangani perjanjian hitam putih menyerahkan kekuasaan kepada Anwar setelah 6 bulan menjabat.

Dr M, panggilan akrabnya, menilai dia masih memiliki tugas yang tidak terselesaikan setelah lengser dan bertekad akan membersihkan kembali Malaysia dari ketidakbecusan Muhyiddin.

Namun proposal ini ditanggapi dingin Anwar dan PKR yang menyalahkan pengunduran diri mendadak Mahathir sebagai biang kerok kolapsnya koalisi Pakatan Harapan yang berkuasa selama 22 bulan sejak kemenangan mengejutkan pada pemilu Mei 2018.

PKR juga masih berang dengan Mahathir yang tidak menepati janjinya untuk menyerahkan kekuasaan kepada Anwar setelah 2 tahun menjabat.

Sejauh ini diyakini Mahathir memiliki peluang yang lebih besar dibandingkan Anwar untuk melobi anggota parlemen PN untuk berpindah ke PH, khususnya dari blok Gabungan Partai Sarawak di Malaysia Timur yang mengontrol 18 kursi krusial.

Perpecahan di kubu oposisi tentunya adalah kabar baik bagi Muhyiddin yang masih sibuk menkonsolidasikan kursi PM setelah menjabat hampir 4 bulan.

Muhyiddin hanya mengontrol mayoritas tipis 2 kursi dengan dukungan 114 kursi. Pemerintahannya juga akan menghadapi mosi tidak percaya yang diajukan Mahathir ketika parlemen kembali bersidang bulan depan.

Perdana Menteri berusia 73 tahun itu diberitakan sedang mempertimbangkan menggelar pemilu dini dalam waktu dekat untuk mengakhiri ketidakstabilan politik di mana anggota parlemen berpotensi terus mengganti afiliasi dan dukungan politik mereka.

Bela China Soal Covid-19, Mantan PM Malaysia Mahathir Mohamad Sebut Trump Sebagai 'Bencana'

Selama wabah virus Corona atau Covid-19, ketegangan antara Amerika Serikat dengan China terus memanas.

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad juga angkat bicara terkait hal ini.

Ia bahkan menyebut Presiden Amerika Serikat yakni Donald Trump sebagai "bencana" apabila terpilih lagi pada November nanti.

Saat diwawancarai South China Morning Post (SCMP) di program This Week in Asia, Mahathir juga menolak klaim pemerintahan Trump yang menuding China harus bertanggung jawab atas pandemi virus Corona.

Lebih lanjut, Mahathir yang dikenal anti-Barat mengatakan, "keributan" Presiden AS memperburuk ketegangan antara kedua negara adidaya tersebut.

"Saya tidak pernah mengira dia akan menang, tapi dia akhirnya menang," kata Mahathir dalam wawancara yang dilakukan melalui video call Zoom.

"(Sekarang) orang-orang mengatakan ada banyak orang yang akan mendukungnya. Itu akan menjadi bencana," ujar Mahathir dikutip dari SCMP Sabtu (13/6/2020).

Sebagai perbandingan, Mahathir mengatakan mantan Wakil Presiden AS Joe Biden yang merupakan calon presiden dari Partai Demokrat, adalah sosok yang lebih "masuk akal".

Menurut politisi berjuluk Dr M itu, Biden telah bereaksi dengan baik, menunjukkan empati terhadap kerusuhan terkait rasialisme di AS belakangan ini.

"Saya tidak tahu apakah dia (Trump) akan terpilih lagi, tapi saya berharap Biden akan berbeda dari dia," kata Mahathir.

Ia menambahkan, dirinya telah berkata ke beberapa orang Amerika bahwa ia memihak Biden walau tidak punya hak untuk memilih.

Mahathir juga mengakui negaranya mengalami gejolak politik besar, tetapi dia tetap tidak habis pikir dengan yang terjadi di Gedung Putih.

"Anda tahu, dia (Trump) memecat semua pegawai yang bukan untuknya. Kedengarannya seperti negara Dunia Ketiga."

"Di Malaysia, kita mungkin melakukan itu - kalau kita tidak menyukai pegawai, kita memecatnya. Tapi ini Amerika: sangat, sangat liberal dan toleran akan hal-hal seperti itu."

Mahathir lalu berkata, dia juga mengikuti perkembangan demonstrasi besar-besaran di AS akibat kematian George Floyd.

Dia mengaku terkejut dengan rencana Trump menerjunkan pasukan militer untuk mengatasi demonstran.

"Maksud saya, dia mengancam memakai tentara melawan orang-orang yang berunjuk rasa. Ini belum pernah terjadi," ucap Mahathir.

Kasus yang menimpa Martin Gugino juga tak luput dari perhatian Mahathir. Pria 75 tahun itu terluka parah akibat ulah polisi selama demonstrasi di Buffalo. Gugino diduga penyabot yang terkait dengan Antifa.

"Bagaimana Anda bisa mengatakan itu? Anda harus memiliki bukti yang jelas."

Trump dan pejabat-pejabat tinggi di pemerintahannya, seperti Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, juga menuduh Beijing tidak transparan atas peringatan dini wabah virus Corona.

Robert O'Brien penasihat keamanan nasional Trump, pada Mei menyamakan dugaan China yang tidak terbuka tentang virus Corona seperti upaya Uni Soviet menutup-nutupi kehancuran pembangkit listrik tenaga nuklir di Chernobyl pada 1986.

Namun Mahathir membela China, meski ia setuju "jika melihat ke belakang" seharusnya pemerintah "Negeri Tirai Bambu" bisa menangani situasi lebih baik.

"Jika ini terjadi di Malaysia, dan kami menemukan seseorang menderita penyakit aneh, kami tidak pergi ke kota dan berkata 'Oh ada penyakit aneh di sini!'."

"Orang-orang China dalam ancaman, Mereka harus mencari tahu dulu, dan ketika mereka sedang menyelidikinya, mereka tidak sadar bahwa itu akan mengakibatkan pandemi."

Mahathir lalu memuji respons Malaysia terhadap pandemi Covid-19, mengapresiasi keberhasilan rekan-rekannya di pemerintahan yang sukses membuat warga "taat hukum" sejak lockdown parsial dimulai 18 Maret sampai pekan lalu.

Lockdown parsial Malaysia sedang dilonggarkan bertahap, dan dijadwalkan akan dicabut sepenuhnya pada akhir Agustus.

Lebih dari 8.400 orang telah terinfeksi virus Corona di "Negeri Jiran", dengan 85 persen pasien dipulangkan dan korban meninggal mencapai 120 orang.

Menurut Mahathir, rendahnya jumlah kasus Covid-19 di Malaysia dibandingkan AS dan negara-negara Eropa lainnya, karena kedisiplinan para rakyatnya.

Dia memperkirakan aturan-aturan ketat yang dijalankan di Malaysia, tidak akan bisa diterapkan di "Negeri Paman Sam".

"Ini tidak mungkin dilakukan di Amerika. Di Amerika ini tentang kebebasan. 'Anda tidak bisa menyuruhku tidak keluar rumah. Itu adalah kebebasanku'."

"Seperti yang Anda lihat sekarang, negara-negara miskin tampak mulai terbebas dari virus Corona - negara-negara kaya yang menderita."

"Seperti Malaysia yang miskin, tetapi kami memiliki beberapa fasilitas dan orang-orang yang sangat taat hukum."

Ketika ditanya tentang efek jangka panjang pandemi, Mahathir menekankan istilah globalisasi.

"Ketika mereka memperkenalkan globalisasi, dunia tanpa batas, mereka hanya memikirkan bagaimana dapat menjual barang ke seluruh dunia."

"Tetapi sekarang mereka telah sadar bahwa dunia sebenarnya adalah satu. Dari segi penyakit, sebenarnya hanya satu lokasi."

"Anda tidak dapat menghindar dan berkata 'Omong-omong, Amerika punya parit yang sangat dalam di Timur dan Samudra Pasifik di Barat'."

"Sekarang suka atau tidak, tidak mungkin mengisolasi dirimu sendiri, Anda adalah bagian dari satu desa."

"Gagasan tentang global village seharusnya tidak dalam hal ekonomi saja, tetapi juga dalam hal kebutuhan untuk menjaga kesehatan seluruh dunia."

(*)

Industri di Malaysia dan Singapura Tutup, Perusahaan di Batam Buka Lowongan Kerja

Ingat Sunda Empire? Dua Anak Pendirinya Kini Ditahan Malaysia, Foto di Paspor Bikin Bingung Imigrasi

88 Meninggal, Demam Berdarah di Malaysia Tembus 50.511 Kasus di Tengah Wabah Covid-19

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Anwar Ibrahim Tolak Mahathir sebagai Calon PM Pakatan Harapan".

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved