ADVERTORIAL
Strategi Pembelajaran Inovatif Era Merdeka Belajar dan New Normal Berbasis Digital
Pemerintah terus memberikan solusi yang terbaik dalam hal ini, karena bagaimanapun dampak wabah covid-19 sungguh luar biasa di semua sektor.
Strategi Pembelajaran Inovatif Era Merdeka Belajar dan New Normal Berbasis Digital
Oleh: Dr. Sarmini, S.Pd.,MM.Pd
TRIBUNBATAM.id, BATAM - Masa pendemi Covid-19 belum selesai. Dari grafik yang terus meningkat, membuat sektor pendidikan tetap pada pembelajaran jalur Daring atau Online hingga waktu kapan belum pasti.
Dengan demikian maka selaras dengan himbauan Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim, yang masih mewacanakan bahwa pembelajaran dalam jaringan diperkirakan hingga bulan Desember 2020.
Kecuali untuk daerah yang masuk zona hijau virus Corona, otomatis akan menerapkan New Normal dengan pembelajaran tatap muka dengan menerapkan protokol yang ketat.
Pemerintah terus memberikan solusi yang terbaik dalam hal ini, karena bagaimanapun dampak wabah covid-19 sungguh luar biasa di semua sektor, khususnya di bidang pendidikan.
Seperti yang sedang diprogramkan dalam Konsep Merdeka Belajar ini.
Terdapat empat program yang menjadi penekanannya, yaituUjian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi.
Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dirasa kurang sejalan dengan UU Sisdiknas, karena pada UU Sisidiknas memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk menentukan kelulusan.
Sehingga Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) dikembalikan pada esensi semula yaitu Asesmen akhir jenjang yang dilakukan oleh guru disekolah masing-masing.
Kelulusan siswa pada akhir jenjang memang merupakan wewenang sekolah yang didasarkan pada penilaian oleh guru. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas dan juga prinsip pendidikan bahwa yang paling memahami siswa adalah guru.
Nah tahun 2020, ini adalah pelaksanaan terakhir UASBN, sebagai gantinya adalah Asesmen yang diselenggarakan oleh sekolah tersebut, dan penilaiannya pun juga lebih komprehensif, yaitu tidak hanya berdasarkan tes tertulis, tetapi dapat ujian lisan dan atau penilaian lainnya seperti portopolio dan penugasan.
Sedangkan untuk Konsep Merdeka Belajar yang kedua yaituUjianNasional (UN) tahun 2020 juga merupakan pelaksanaan terakhir kalinya, dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimal dan Survei Karakter, (Literasi, Numerasi dan karakter).
Ujian Nasional sering dipandang sebagai beban siswa, guru dan orang tua karena materi yang cukup berat dan dipandang hanya merupakan keberhasilan individu saja, bukan merupakan keberhasilan sistem pendidikan di sekolah yang bersangkutan.
Oleh karena itu maka Ujian Nasional diganti dengan Asesmen yang dilakukan di tengah proses pembelajaran (kelas 4, 8 dan 11) sehingga ketika ada kekurangan atau kelemahan dalam sistem pembelajaran dapat mendorong guru dan sekolah diperbaiki sebelum akhir belajar siswa/kelulusan siswa.
Untuk program yang ketiga yaitu penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang selama ini dinilai terlalu banyak yaitu sekitar 20 lembar setiap mata pelajaran, dan di dalam Merdeka belajar ini, RPP menjadi lebih sederhana karena hanya memuat tujuan pembelajaran, kegiatan dan Asesmen, dan untuk pelaksanaannya diserahkan kepada guru secara efektif dan efisien.
• Bupati Kutai Timur Ditangkap KPK, Sang Istri yang Ketua DPRD Juga Diciduk, Begini Fakta-faktanya
• Pije Datangi Rumah Via Vallen dalam Kondisi Mabuk Sebelum Bakar Mobil, Sempat Maki-maki Polisi
Sehingga guru lebih dapat fokus untuk perbaikan mutu pembelajaran.
Yang keempat adalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi. Dalam hal ini kementrian memberikan arahan kebijakan untuk jalur Zonasi minimal 50%, untuk jalur afirmasi minimal 15%, untuk jalur perpindahan 5%, dan untuk jalur prestasi 0-30%.
Tetapi untuk penerapannya mungkin tidak setiap daerah antara satu dengan yang lain berbeda, maka daerah diberi kewenangan sesuai situasi dan kondisi daerah tersebut.
Tanpa mengabaikan aturan dari pusat tentunya. Kembali lagi pada persoalan pembelajaran Daring (dalam jaringan), beberapa waktu lalu 4 Menteri kita, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebuadayaan, Menteri Kesehatan dan Menteri Agama, mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tentang Pedoman Pembelajaran di TA 2020-2021, yang salah satu isinya menetapkan adalah untuk daerah yang berada di zona kuning, orange, dan merah dilarang melakukan pembelajaran tatap muka, pada satuan pendidikan.
Satuan pendidikan pada zona-zona tersebut tetap melanjutkan proses Belajar Dari Rumah (BDR) yang berdasarkan data sebesar 94%. Sedangkan sisanya sebesar 6% yakni para murid yang saat ini berada pada zona hijau.
Nah, murid yang berada pada daerah zona hijau ini, diijinkan untuk menyelenggarakan proses belajar tatap muka namun dengan protokol kesehatan yang ketat. Hal tersebut harus ditetapkan dengan keputusan dari GugusTugas Covid-19 pada daerah tersebut.
Pembelajaran Daring atau dalam jaringan, atau berbasis internet kita sering menyebutnya dengan berbasis digital, memang menjadi solusi terbaik saat ini. Dalam hal ini pandemi covid-19 mengajarkan kita untuk lebih produktif walau kita banyak mengerjakan segalanya dari rumah.
Siswa kita juga belajar dari rumah sehingga antara guru dan siswa bertemu dalam pembelajaran yang difasilitasi oleh aplikasi pembelajaran.
Untuk pemilihan aplikasi pembelajaran banyak sekali dan dapat dipilih sesuai kebutuhan dan jenjang pendidikan yang sesuai.
Semua aplikasi bagus, tergantung pemakainya. Aplikasi pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk dipilih, di antaranya adalah: Google Classroom, Zoom Meeting, Whatsapp Group, Teams, Quizizz, Skype, Google Form, Ruang Belajar, Ruang Guru, Quipper, Zenius dan masih banyak lagi lainnya. Kehadiran Platform belajar Daring yang semakin mudah ditemukan tentu saja membantu siswa tetap aman belajar di rumah, tanpa dibatasi tempat dan waktu.
Kondisi seperti ini memaksa kita terus memperbaiki sistem pembelajaran berbasis digital. Karena entah sampai kapan pandemi ini akan berakhir sehingga kita dapat tatap muka dengan peserta didik kita.
Belum lagi kendala di lapangan yang kita rasakan terkait pembelajaran berbasis digital ini, baik dari sisi guru, siswa ataupun orang tua siswa. Masing-masing harus membiasakan dengan pembelajaran digital ini.
Dalam webinar tanggal 1 Juli 2020, yang dilaksanakan oleh EDC (Education Development Center) dari Kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dengan pembicara Prof. Dr. Nunuk Suryani, M.Pd, pembicara kedua yaitu Dr. Mardiyana, M.Si, dan Dr. Sarmini, S.Pd.,MM.Pd (penulis sendiri), saya memberikan beberapa rangkuman dalam kendala di lapangan terkait penerapan pembelajaran berbasis digital yang di temui di lapangan, di antaranya sebagai berikut:
1. Kesenjangan teknologi antara sekolah di Hinterland dan Mainland (daerah pinggiran dan perkotaan).
2. Keterbatasan kompetensi guru dalam aplikasi pembelajaran.
3. Keterbatasan dana dalam prioritas kebutuhan, dan kuota bukan yang utama.
4. Kesenjangan pendidikan orang tua dan anak.
5. Kesibukan orang tua menjadi kendala dalam pendampingan anak.
6. Menjaga Mood anak belajar di rumah agar dapat mengikuti pembelajaran Online.
Dan masih banyak lagi tentunya, terkait inovasi Pembelajaran Berbasis Digital di Era New Normal, dari hasil survey yang penulis lakukan terhadap guru-guru mulai dari jenjang TK hingga SMA, guru Paud: 19,5%, guru Sekolah Dasar: 48,3 % , guru Sekolah Menengah Pertama: 18,4%, guru Sekolah Menengah Atas: 12,6 % dosen Perguruan Tinggi: 2,2%.
Dan inilah hasil survey sebesar 86,2% setuju pembelajaran Berbasis Digital sebesar 8% sesuai situasi kondisi, sedangkan sebesar 5,8% menginginkan bertemu fisik dengan siswa.
Persentase Guru pemakai aplikasi dalam Pembelajaran hampir keseluruhan guru memakai aplikasi pembelajaran Online, yaitu sebesar 98,9% sedangkan 1,1% sesuai kebutuhan.
Sedangkan dari Responden wali murid terkait penggunaan aplikasi pembelajaran berbasis digital yaitu wali murid PAUD 1,5%, wali murid SD 12,1%, wali murid SMP 66,7%, walimurid SMA 19,7%.
Hasil dari survey yang penulis lakukan adalah setuju pembelajaran Online 90,9%, kurang setuju pembelajaran Online 7,6%, tidak setuju pembelajaran Online 1,5%. Aplikasi yang dipilih wali murid: Zoom Meeting 24,2%,
Google Classroom 63,6%, WA Group 10,6%, lainnya 1,6%.
Jadi, apakah aplikasi pembelajaran yang terbaik? Semua aplikasi baik. Jadi aplikasi yang terbaik adalah yang dikuasai guru dan sesuai untuk anak didik.
Setelah penulis Rangkum pemilihan aplikasi pembelajaran Online (berbasis Digital) ada beberapa alasan guru memilih aplikasi yang digunakan dalam pembelajarannya, di antaranya:
1. Efektif dan efisien
2. Lebih mudah dipahami
3. Menarik
4. Lebih mudah mencapai target / tujuan pembelajaran
5. Dapat bertatap muka lewat aplikasi pilihannya
6. Pilihan aplikasi setelah berkoordinasi dengan orang tua
7. Secara persentase rata-rata aplikasi tersebut dipakai orang tua siswa
8. Memiliki konten yang lengkap
9. Dan lainnya
Demikian paparan penulis semoga bermanfaat untuk kita semua, dan terakhir penulis mengajak mari berdoa, wabah covid-19 segera usai karena kita rindu siswa-siswi kita, begitupun mereka.(adv)
* Penulis merupakan Direktur Sekolah Islam Nabilah Batam. Penulis merupakan Dosen Universitas Batam dan Dosen Universitas Ibnu Sina.