Perjuangan Jihyun Park Lari dari Korut, Masuk China dari Perdagangan Orang hingga Menetap di Inggris

Jihyun Park, bersama putranya pada 2005 silam selamat dalam pelarian mereka dari Korut ke China di mana dia dijual melalui sistem perdagangan orang

Facebook Jihyun Park via The Sun Online
Jihyun Park. Eks pelarian dari Korea Utara yang berjuang di China hingga menjadi aktivis di Kota Manchester, Inggris. 

Editor: Azmi S

TRIBUNBATAM.id, LONDON - Tak banyak eks warga Korea Utara (Korut) yang benar-benar berani buka suara tentang rezim negara komunis itu.

Korut selama ini memang dikenal dunia sebagai negara yang tertutup.

Desas-desus "kekejaman" rezim negara itu pun banyak diulas sejumlah pihak meski belum teruji kebenarannya.

Tutup Perbatasan Dengan China Untuk Antisipasi Pandemi Corona, Warga Korut Terancam Kelaparan

Janji Korut, Akan Buat Korsel Mederita, Korsel Langsung Berikan Respon Resmi

Kisah eks warga Korut bernama Jihyun Park, adalah salah satunya.

Ia menceritakan perjuangannya di negara ini hingga lari ke negara lain bersama putranya.

Bersama putranya pada 2005 silam ia selamat dalam pelarian mereka dari Korut ke China.

Di mana dia dijual melalui sistem perdagangan manusia.

Dari China, Park berusaha pergi ke Mongolia dengan memanjat pagar perbatasan bersama putranya yang masih berusia 6 tahun.

Dia berusaha agar tidak ditangkap polisi.

Jika sampai ditangkap dia akan dideportasi ke Korut dan sekali lagi dikurung di kamp kerja paksa DPRK Korut.

Kepada The Sun, Jihyun Park menceritakan pengalaman pahit hidupnya.

"Kim Jong Un adalah seorang pembunuh dan dia telah membunuh banyak orang," ujar Jihyun Park.

"Dia sedang membunuh 25 juta orang di Korea Utara, kita harus ingat itu."

Corona Bikin Dunia Ketar-ketir Korut Baru Umumkan Kasus Pertama, Langsung Nyatakan Keadaan Darurat

Pejabat Korsel Yakin Kim Jong Un Masih Sehat, Tepis Spekulasi Kondisi Pemimpin Korut

Teka-teki Keberadaan Kim Jong Un, Pembelot Korut: Yang Tahu Kondisinya Hanya Istri dan Adik

Sebelum melarikan diri, Park menyaksikan ribuan orang kelaparan termasuk anggota keluarganya sendiri selama kelaparan hebat sekitar tahun 1990-an.

Park dibesarkan di Kota Chongjin, bagian Utara Provinsi Hamgyung, Korut.

Di sana dia bekerja sebagai guru sekolah.

Karena ibunya seorang pebisnis dan ayahnya seorang anggota dari Partai Buruh Korut, dia hidup dalam perekonomian yang relatif stabil sebelum kelaparan dimulai.

Di dalam rumahnya terdapat foto sosok pendiri negara itu, Kim Il Sung, sebagaimana dimiliki oleh kebanyakan orang.

"Sampai tahun 1990, saya tidak mengerti makna dari kelaparan," ungkap Park kepada The Sun.

Namun setelah tahun 1990 bisnis ibunya hancur dan keluarganya mengalami keterpurukan ekonomi.

Karena Uni Soviet hancur pada 1991, Korut berhenti menerima bantuan dari negara besar itu.

Kurangnya dukungan membuat negara itu lemah dalam perekonomian dan mengalami periode kelaparan akibat kekurangan bahan pangan.

Drakor Bikin Pemimpin Korut Kim Jong Un Murka, Tangkap dan Cukur Rambut Belasan Pria dan Wanita

Tingkatkan Pertahanan Diri Melawan Korut, Korsel Luncurkan Satelit Militer Pertama

Trump Mengaku Tahu Kondisi Kim Jong Un, Kabar Terbaru Pemimpin Korut Itu Segera Terkuak

Menurut Park, dia melihat banyak mayat berjatuhan di jalan.

"Tidak ada makanan.

Pada 1996, paman saya meninggal karena kelaparan di hadapan kami.

Ketika dia meninggal, dia tidak tampak seperti manusia.

Tubuhnya tinggal tulang.

Di jalanan semua orang muram," ujar wanita ini.

Saat itu ayahnya mulai sakit-sakitan.

Di pagi hari, Park akan meninggalkan semangkuk nasi untuk sang ayah dan pergi bekerja.

Namun ketika kembali ayahnya tidak memakan nasi itu.

Ayahnya tidak memakannya karena tidak ingin anaknya kelaparan.

Lambat laun kondisi ayah Park semakin parah dan tidak bisa berkomunikasi melalui verbal.

Dia hanya bisa berkomunikasi melalui tulisan dengan gerakan lemah.

Korea Utara Bangun Peternakan Ayam, Kim Jong Un Berharap Bisa Cegah Kelaparan Rakyatnya

Ancaman Kelaparan! Penduduk Miskin Indonesia Tambah Menjadi 26,42 Juta Orang

Selain kelaparan hebat, adik laki-laki Park juga terlibat masalah serius selama bekerja dengan militer Korut, sehingga aparat mengincarnya.

"Harapan terakhir ayah saya adalah menyelamatkan adik laki-laki saya," ujar Park.

"Suatu hari dia terbangun dan memberi isyarat kepada saya agar saya pergi.

Itulah alasan mengapa saya melarikan diri dari Korea Utara," ujarnya.

Seperginya Jihyun Park, sang ayah yang sekarat pun meninggal dunia karena kelaparan.

Kebanyakan warga Korut yang membelot melintasi perbatasan ke China sebelum melakukan perjalanan ke negara ketiga, biasanya negara-negara Asia Tenggara, tempat di mana mereka bisa mengajukan permohonan suaka.

Pelarian itu sangat berbahaya, bahkan bagi mereka yang berhasil meloloskan diri.

Mereka dianggap imigran ilegal dan bisa dideportasi kapan saja jika tertangkap di China.

Mereka yang dideportasi ke Korut biasanya akan menghadapi hukuman brutal di pusat-pusat penahanan, termasuk kerja paksa, kamp re-edukasi dan penyiksaan.

Pada Februari 1998, Park dan adik laki-lakinya berhasil lolos melewati sungai beku dan pegunungan ke China dengan bantuan seorang pria yang menjanjikan kehidupan lebih baik di negara baru.

Namun, ketika sampai di tempat tujuan, Park menyadari kalau dirinya ditipu.

Dia menjadi korban perdagangan manusia.

"Saya dijual dan dipisahkan dari adik saya," ujar Park.

"Dia dikirim kembali ke Korea Utara.

Sampai saat ini saya tidak tahu apakah dia hidup atau mati."

Di China, Park ditahan oleh orang yang menipunya sampai menemukan pembeli yang tepat.

"Saya dijual ke seorang pria China seharga 5.000 yuan," ujar Park.

Orang yang menipunya mengancam dengan kekerasan apabila dia tidak menurut dan bahkan akan mendeportasinya jika Park tidak melakukan perintah.

Park bahkan punya anak dari hasil hubungannya dengan pria penipu itu, dan dia dipaksa bekerja selama 5 tahun dalam ketakutan.

Hingga tiba suatu malam pada 2004, Otoritas China datang ke rumahnya dan menangkap Park.

Dia pun dideportasi ke Korut.

Lebih parahnya, dia dipisahkan dari anak laki-lakinya yang masih berusia 5 tahun.

"Anak saya adalah keluarga terakhir yang saya miliki.

Saya sangat takut tidak bisa kembali.

Saya katakan pada anak saya, 'tunggu Mama, Nak.'

Karena polisi tidak memberi saya dan anak saya kesempatan terakhir untuk saling bicara," ujarnya.

Kembali ke Korut untuk Kerja Paksa

Sekembalinya ke tanah airnya, Jihyun Park dimasukkan ke pusat penahanan dan kamp kerja paksa negara itu.

Puluhan tahanan dijejalkan ke sel lembab tanpa listrik atau toilet (hanya ada sebuah ember untuk buang hajat).

"Bau di sana mengerikan.

Di pagi hari area ember itu menjijikkan karena tidak ada cahaya," kenangnya.

Kondisi mengerikan itu ditambah dengan para tahanan yang diserang kutu, para wanita yang tidak boleh memakai pembalut dan sebagai gantinya menggunakan robekan kain yang tak boleh dicuci.

Tempat Park berada adalah kamp kerja paksa Chongjin, tidak jauh dari tempat asalnya.

Di sana, dia mulai bekerja sejak pukul 4.30 pagi dan terus berlangsung sampai larut malam dan diwajibkan menyanyikan lagu-lagu patriotik serta melafalkan prinsip-prinsip partai buruh negara itu.

"Mereka memperlakukan kami seperti binatang.

Kami tidak dianggap manusia.

Kami bekerja menggunakan tangan dan kaki kami tidak memakai alas.

Mereka dipaksa bekerja di sisi gunung untuk membuat lahan perkebunan dan persawahan dengan tangan-tangan mereka, tanpa alat apa pun.

Para wanita dipaksa menarik berton-ton hasil ladang dan di bulan-bulan musim panas, para tahanan akan memakan kentang mentah yang mereka temukan dalam keadaan kotor untuk membuat diri mereka tetap hidup.

Kami benar-benar merasa seperti mau mati, karena saat itu hidup kami sangat keras," ujar Park.

Dia mengatakan kalau para tahanan sangat lapar karena makanan yang disediakan tidak layak. Mereka juga kekurangan air mau pun obat-obatan.

"Yang saya pikirkan adalah putra saya. Saya bukan orang yang relijius tapi saya berdoa setiap hari.

Kepada Buddha, kepada Tuhan, kepada Bunda Maria, tolong selamatkan putra saya.

Suatu hari saya berharap bisa berkumpul kembali dengannya. Saya hanya memikirkan itu, itulah yang membuat saya bertahan di kamp kerja paksa."

Suatu pagi, Jihyun Park terbangun dengan rasa sakit hebat di kakinya.

Dia meminta tolong kepada penjaga untuk menolongnya. Namun, bukannya ditolong, Park malah dipukuli habis-habisan karena dianggap telah berdusta.

Pada hari berikutnya, kaki Park bengkak dan bernanah. Dia akhirnya dibawa untuk diperiksa.

"Mereka akhirnya membebaskan saya karena mereka pikir saya tak akan selamat," ujar Park.

"Infeksinya sangat buruk."

Dia dibebaskan ke kehidupan normal Korut dengan kondisi seperti itu, tanpa uang, tidak ada rumah yang dituju dan kondisi kesehatan yang sangat mengerikan.

Ke China demi Anak

Keinginan Park bersatu dengan putranya sangat kuat.

Jihyun Park sekali lagi memutuskan untuk menyelinap dan melarikan diri ke China.

Kali ini dia tahu dia akan diperdagangkan di negara tujuannya namun dia tetap memilih pergi.

"Saya menerima, saya tidak punya pilihan karena saya tidak punya uang, dan kesehatan saya sangat buruk," kata Jihyun.

Menurut Park, orang yang menjadi perantaranya ke China iba melihat kondisinya dan membantu dia bertemu dengan anaknya di negeri "Panda" itu.

Melalui orang yang menjadi perantaranya, Park berhasil bertemu dengan putranya yang selama ini diberitahu bahwa ibunya telah meninggalkannya.

"Nak, ini ibu," ujar Park kepada putranya melalui telepon yang hanya menjawab, "Ibu?"

Lalu, dia dan putranya sama-sama menangis.

Singkat kata, setelah berhasil bersatu kembali dengan putranya, mereka tahu bahwa mereka tidak bisa tinggal di China.

"Tapi, jika saya dikirim kembali ke Korut untuk kedua kalinya, saya tahu saya tidak akan bisa bertahan hidup."

Berhasil Melarikan Diri

Jihyun Park dan putranya memutuskan untuk bergabung dengan Partai Sembilan para pembelot Korea Utara yang berusaha menyeberang ke Mongolia dari China.

Mereka harus memanjat 3 pagar untuk melintasi perbatasan, semuanya tanpa terdeteksi otoritas China yang terus menerus berpatroli di perbatasan.

Di bawah naungan kegelapan malam, semua kelompok berhasil melewati pagar kecuali Jihyun Park dan putranya.

Kim Jong Un Eksekusi Mati Mantan Pacar Pakai Senapan Mesin, Hukuman Skandal Asusila di Korut

Intip Sumber Keuangan Kim Jong Un, Ditemukan 200 Rekening Bank Dunia yang Dikelola Korut

"Anak saya takut.

Kami duduk, kami tidak bisa berjalan.

Saya hanya memegang tangan anak saya dan saya melihat lampu mobil.

Saya pikir itu adalah mobil polisi China. Saya benar-benar takut."

Lebih buruk lagi, dia melihat seorang pria berlari ke arah mereka.

Saat itu, Park yakin dirinya akan kembali ditangkap.

Namun, keajaiban terjadi. Pria itu meraih tangan Jihyun, menggendong putranya dan membantu mereka melintasi perbatasan dengan memotong pagar kawat.

Pria itu rupanya salah seorang pembelot lain yang menyaksikan kesulitan Jihyun Park dan anaknya dan memutuskan untuk membantu mereka.

Setelah sukses melarikan diri, Jihyun Park, putranya dan pria yang menolongnya membangun hidup bersama di Mongolia.

"Dia pria yang sangat baik, saya jatuh cinta dengannya," ujar Park.

"Itu pertama kalinya saya jatuh cinta."

Setelah bertahun-tahun hidup di Mongolia dan China, mereka tiba di Inggris pada 2008.

Di Inggris, Jihyun Park dan suaminya serta 3 anaknya hidup bahagia di Kota Manchester.

Park bekerja sebagai aktivis HAM dan bekerja bersama Connect, sebuah organisasi yang mendukung pengungsi Korut untuk tinggal di Inggris.

(*)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kabur dari Korut, Pembelot Ini Susah Payah Sampai Inggris, Ini Kisah Perjuangannya

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved