HUMAN INTEREST

Kisah Nurhayati Bertahan Hidup Seorang Diri di Batam, Tanpa Suami, Anak dan Keluarga

Di usianya yang menginjak 50 tahun, Nurhayati harus banting tulang demi bertahan hidup di Batam. Ia tinggal seorang diri semenjak suaminya meninggal

Penulis: ronnye lodo laleng | Editor: Dewi Haryati
tribunbatam.id/Ronnye Lodo Laleng
Kisah Nurhayati bertahan hidup seorang diri di Batam, tanpa suami, anak dan keluarga. Foto Nurhayati 

BATAM, TRIBUNBATAM.id - Inilah kisah Nurhayati, perantau di Batam asal Pacitan, Jawa Timur.

Di usianya yang menginjak 50 tahun, ia harus banting tulang demi bertahan hidup di Batam.

Nurhayati terpaksa turun ke pasar dengan berjualan koran.

Itu ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Bukan apa-apa, wanita kelahiran 30 Juni 1971 ini memang tak punya sanak saudara di Batam.

Baca juga: KISAH Perantau di Batam, Sebatang Kara Ditinggal Anak Istri Hingga Tidur di Masjid

Baca juga: Kisah Fatmah, Habiskan Masa Tua dengan Bekerja di Kebun Miliknya: Anak sudah Sering Larang

Ia kini tinggal seorang diri di sebuah indekos di daerah Botania 1 Batam Center.

Setiap harinya, Nurhayati berjalan kaki untuk menjual koran di tempat keramaian.

Untungnya, jarak tempat tinggal Nurhayati dengan tempatnya biasa berjualan masih bisa ditempuh berjalan kaki.

"Saya setiap hari harus berjuang sendiri untuk mendapatkan uang. Tiap hari saya jualan koran di Pasar MB2 dan pasar Botania 1 ini," ujar Nurhayati saat ditemui TribunBatam.id di Pasar Botania 1, Sabtu (23/1/2021) siang.

Ia mulai keluar dari indekos sekira pukul 06.00 WIB dan pulang ke kos sekira pukul 19.00 WIB setiap harinya.

Dari jualan koran itu, penghasilannya pas-pasan. Hanya berkisar Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu per hari.

Uang itulah yang dihemat-hematkannya untuk membayar uang indekos dan untuk makan. Seringnya tak cukup.

Pasalnya, untuk membayar uang indekos per bulan saja ia butuh uang Rp 500 ribu.

Terkadang Nurhayati menunggak bayar indekos karena tak punya uang untuk membayar.

"Untung saja ibu kos masih memberikan toleransi. Kalau tidak, saya sudah diusir dari kos," katanya.

Sedangkan untuk makan, terkadang ada orang yang berbaik hati kepadanya memberi uang lebih saat membeli koran.

"Kadang pas beli koran ada yang kasih lebih, tapi tidak tiap hari," ujar Nurhayati.

Beberapa orang pasar di tempatnya biasa berjualan, juga suka memberinya makan.

Tak hanya di Batam, Nurhayati mengaku, ia juga sudah tak memiliki saudara lagi di kampung halamannya di Pacitan.

"Ayah saya sudah meninggal sejak saya masih dalam kandungan ibu. Selang dua bulan, ibu saya juga ikut meninggal setelah melahirkan saya," kata Nurhayati dengan mata berkaca-kaca.

Semasa kecil hingga dewasa, ia diasuh tetangganya yang kini sudah meninggal dunia.

Sebenarnya Nurhayati pernah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki.

Namun anaknya itu sudah meninggal dunia akibat penyakit yang dideritanya.

Sedangkan suaminya, meninggal dunia sekitar 2 tahun lalu.

Jadilah ia hidup seorang diri saat ini di Batam.

Nurhayati merantau ke Batam sejak 1998 lalu.

Sebelum jualan koran di pasar, Nurhayati sempat bekerja di warung makan di Batam.

Namun karena usianya sudah tua, ia memilih menjadi penjual koran sejak 2012 lalu.

Kini, Nurhayati bingung harus kepada siapa ia mengadu.

Ia hanya berharap bisa tetap sehat dan terus berjualan koran demi bertahan hidup di Batam.

(TRIBUNBATAM.id/Ronnye Lodo Laleng)

Baca juga berita Tribun Batam lainnya di Google
Sumber: Tribun Batam
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved