HUMAN INTEREST
Kisah Perantau di Batam 'Babak Belur' Lawan Pandemi, Usaha Tutup Hingga Kerja Serabutan
Berikut ini potret kehidupan Perantau di Batam. Masihkah Batam Magnet Bagi Perantau ?
BATAM, TRIBUNBATAM.id - Manisnya merantau ke Batam setidaknya pernah dialami Refriyanto.
Pria 32 tahun asal Tanah Minang, Sumatra Barat ini terbilang sukses dengan warung nasi Padang yang ia rintis sejak 2012.
Dari usahanya itu, ia tak hanya mendulang untung.
Jefri biasa ia disapa, bisa membantu keluarganya. Bahkan membantu pesta pernikahan adiknya.
Memasak memang merupakan salah satu hobi pria yang merantau ke Batam sejak 2006 ini.
Cerita orang di kampung halamannya kalau Kota Batam merupakan kota primadona bagi para perantau sempat diamininya.
Hal ini pula yang mendorongnya untuk merantau ke Batam.

Bermodal ijazah SMA, Jefri muda memberanikan diri melamar pekerjaan di salah satu perusahaan galangan kapal.
Usianya baru 18 tahun ketika tiba di Kota Batam.
Ia pun diterima sebagai operator serta bertugas untuk mengecat kapal.
“Saat itu, saat galangan kapal lagi naik. Saya dapat gaji Rp 1,1 juta per bulan. Sudah lebih dari cukup kalau untuk di tahun itu,” kenangnya lagi.
Setelah hampir enam bulan bekerja, Jefri mulai mencari peruntungan baru. Dia mulai belajar untuk berjualan.
Wajar saja, Jefri berkeyakinan, orang Minang harus pandai berdagang.
Jadilah ia membuka kedai nasi Padang hingga terbilang sukses.
Cobaan mulai datang saat pandemi Covid-19 datang ke Kota Batam.
Baca juga: CERITA Agung Perantau di Batam, Tak Malu Jadi Juru Parkir Demi Cita-Cita Kuliah
Baca juga: KISAH Perantau di Batam, Sebatang Kara Ditinggal Anak Istri Hingga Tidur di Masjid

Usahanya dibuat kacau. Sejak September 2020, ia terpaksa menutup usahanya.
Kedai tempatnya berjualan ditarik oleh tuannya.
Sebagai orang yang hanya menumpang, Jefri harus berlapang dada dikarenakan tak mampu lagi membayar uang kontrak kedai.
“Bagaimana, dulu tak terpikir untuk membeli ruko. Karena kami sibuk untuk berjualan dan melayani pelanggan kami saja,” ujarnya dengan raut wajah yang mendadak berubah.
Dia seolah tak ingin mengenang pahitnya kenyataan saat itu.
Walau menyesal, dia tak ingin terlalu lama larut dalam kesedihan. Baginya, hidup masih panjang.
Misteri hidup dari Tuhan Yang Maha Kuasa pun tak dapat ditebak.
“Sekarang kerja serabutan saja. Bantu keluarga berjualan, pernah jadi kurir dan fotografer lepas.

Kalau tak seperti itu, tak makan,” ucapnya sembari melempar senyum.
Dia berharap, pandemi Covid-19 ini segera berlalu agar roda ekonomi masyarakat kembali pulih.
Sebab, dia merasakan betul dampak dari pandemi Covid-19 ini.
“Jatuh bangun selama pandemi ini memang suatu pelajaran. Bagaimana kita harus mampu bertarung dalam kondisi apapun,” kata dia.
Untuk para Perantau di Batam yang senasib dengannya, Jefri berdoa agar kesulitan ini cepat berlalu.
Agar Kota Batam kembali ‘ramah’ bagi para perantau dan warga tempatan.

“Semoga lapangan pekerjaan kembali banyak dibuka. Pelatihan kerja terhadap masyarakat ikut dibuka juga.
Modal usaha untuk mendukung sektor usaha kelas menengah diperlukan.
Hanya bisa berharap pada pemerintah sebagai pembuat kuasa,” sebutnya.
Masihkah Batam Magnet Bagi Perantau ?
Kisah Lain Perantau di Batam
Apa yang dialami Refriyanto tak jauh berbeda dengan apa yang dialami Marlius.
Pria 35 tahun ini setidaknya menjadi gambaran potret Perantau di Batam.
Usahanya melamar kerja kemana-mana sejak tiba di Kota Batam tahun 2015 tak kunjung membuahkan hasil.
Berharap merubah nasib, Marlius nekat merantau ke Batam dan tiba di Pelabuhan Domestik Sekupang.
Lebih dari satu tahun ia kesana kemari mencari kerja di Kota Batam yang berjuluk kota industri ini.
Hingga tawaran untuk bekerja sebagai buruh bangunan di Masjid At-Taubah di Kecamatan Batuaji pun ia ambil.

Marlius sama sekali tidak tahu, jika bekerja merenovasi tempat ibadah itu merubah nasibnya.
Setidaknya ia bisa hidup dengan tenang dan damai.
"Lebih dari satu tahun saya mencari kerja di kawasan Industri yang ada di Kota Batam, tapi tidak kunjung dapat.
Sampai datang tawaran dari kawan untuk kerja merenovasi masjid.
Termasuk beberapa ruang kelas yang ada di kawasan masjid. Kalau tak salah, itu tahun 2016," kenangnya.
Selama proses renovasi itu, ia tinggal di masjid.
Ini terpaksa dilakukannya karena ia tak memiliki tempat tinggal di Kota Batam.
Pikirnya, ia sekaligus menjaga barang material agar tak teerjadi hal-hal yang diinginkan.
Hampir satu tahun merenovasi masjid dan ruang kelas, Marlius pun mendapat tawaran dari pengurus masjid.
Selan diperbolehkan tinggal di sana, ia juga diberi amanag untuk menjaga lingkungan sekolah.
Tawaran ini tak disia-siakan begitu saja oleh Marlius.
"Saya ditawarkan gaji Rp 1 juta sebulan. Saya pikir hal itu sangat bagus, kebetulan saya juga tidak memiliki tempat tinggal dan tidak memiliki pekerjaan," katanya.
Tak terasa, sudah hampir empat tahun ia tinggal di kawasan Masjid At-Taubah di Kecamatan Batuaji itu.
Ia tak perlu takut untuk berteduh dari panas dan hujan.

Selain diberi tempat tinggal, ia juga mendapat makan dari pengurus masjid yang berbaik hati kepadanya.
Meski penghasilan perbulan tak seberapa, ia mengaku sangat bahagia.
Apalagi dengan kondisi batinnya kini.
"Saya sangat senang. Saya juga sangat bahagia karena bekerja di lokasi mesjid ini.
Salat saja juga tidak tinggal, jadi rasanya sangat damai," ucapnya.(TribunBatam.id/Ichwan Nur Fadillah/Ian Sitanggang)
Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google