Artidjo Alkostar Meninggal
Kejujuran Artidjo Alkostar Ingatkan ke Jenderal Hoegeng dan Ir Sutami Menteri Termiskin di Indonesia
Artidjo Alkostar dikenal sebagai sosok sederhana. Mengingatkan kepada sosok Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso dan Ir Sutami menteri termiskin
Hoegeng tak punya rekening tabungan dengan saldo berlimpah seperti para perwira Polri saat ini yang disebut memiliki rekening "gendut". Setelah pensiun, Hoegeng beralih profesi menjadi pelukis.
Untuk menghidupi keluarganya, Hoegeng menjual lukisannya. Selama aktif di kepolisian, Hoegeng anti menerima pemberian orang.
Ia juga mengembalikan seluruh barang yang digunakan saat menjabat Kapolri. Kisah ini tertuang dalam buku "Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan" yang ditulis wartawan Kompas, Suhartono.
Hoegeng pensiun dini pada usianya yang belum 50 tahun. Padahal, dia dikenal pekerja keras dan bekerja dengan kejujuran. "Beliau pensiun usia 49 tahun, ketika sedang energiknya," kenang Didit.
Sebelum itu, Presiden Soeharto mengusulkan Hoegeng menjadi Duta Besar Swedia, dan sempat ditawari menjadi Dubes di Kerajaan Belgia. Namun, Hoegeng menolak karena memilih tetap mengabdi pada Tanah Air.
Saat itu Presiden Soeharto dinilai ingin "membuang" Hoegeng ke luar Indonesia. Hoegeng akhirnya diberhentikan sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto pada 2 Oktober 1971. Padahal, saat itu usia Hoegeng masih 49 tahun.
Pengganti Hoegeng ialah Jenderal Polisi Moh Hasan. Usia Hasan saat itu justru lebih tua dari Hoegeng, yaitu sekitar 53 tahun. Hoegeng kemudian meninggal dunia pada 2004 karena menderita stroke. Sang istri, Meriana Roeslani, lalu menerima 50 persen uang pensiunan Hoegeng.
Hoegeng memang tak memiliki tanah dan rumah yang tersebar di sejumlah daerah.
Ia juga tak memiliki mobil-mobil mewah yang berjajar di garasi rumahnya. Namun, Hoegeng memiliki "harta" yang tak dimiliki semua polisi, yaitu kejujuran.
Kiprah Menteri Termiskin di Indonesia

Ir Sutami, merupakan seorang menteri di era kepempinan Soekarno dan Soeharto yang kehidupannya jauh dari kata mewah
Bahkan, Sutami bisa disebut sebagai menteri termiskin di jajaran kabinet Presiden Soekarno hingga Presiden Soeharto
Dilansir dari Intisari dalam artikel 'Ir Sutami, Menteri Termiskin Indonesia dengan Karya Fenomenal, Hidup Sederhana hingga Atap Bocor dan Takut ke Rumah Sakit', meski telah 14 tahun menjadi menteri, kehidupan Ir Sutami cukup miris
Kondisi miris Sutami semakin terlihat setelah ia tak lagi menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum
Hal ini lantaran saat ia sakit, untuk berobat pun dia mengalami kesulitan biaya.
Kondisi rumah Sutami saat itu cukup sederhana dan memprihatinkan.
Saking sederhananya, atap rumah Sutami banyak yang bocor.
Hal ini berdasarkan keterangan Staf Ahli Menteri PU, Hendropranoto Suselo dalam Edisi Khusus 20 tahun Majalah Prisma yang diterbitkan LP3ES tahun 1991 di Jakarta.
Ketika itu, Sutami masih menjabat sebagai Menteri PU dan Tenaga Listrik.
Saat Lebaran, rumah Sutami di ramai dikunjungi tamu.
Tapi tamu yang datang malah terkaget-kaget. Mereka melihat ke atap dan banyak bekas bocor pada langit-langit rumah.
Rupanya sudah lama rumah Sutami bocor. Padahal Sutami sudah enam kali menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum.
Di bawah pengawasannya, proyek raksasa seperti Gedung DPR, Jembatan Semanggi, dan Waduk Jatiluhur, dibangun.
Sutami pula yang memimpin proyek pembangunan Bandara Ngurah Rai.
Menteri ini sama sekali tidak pernah bermewah-mewahan.
Bahkan rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat dibeli dengan cara menyicil. Baru saat akan pensiun, rumah itu lunas.
Sutami tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan.
Saat lengser tahun 1978, dia mengembalikan semua fasilitas negara. Kemudian seorang pengusaha berniat memberinya mobil.
Pengusaha itu tahu mobil dinas Sutami ikut dikembalikan. Tapi dengan halus Sutami menolak. Dia hanya minta diberi sedikit diskon saja dari pengusaha itu.
Sutami tidak pernah tergoda untuk korupsi. Penampilan dan tindakannya tetap bersahaja.
Suatu ketika PLN pernah mencabut listrik di rumah pribadinya di Solo.
Menteri Sutami ternyata pernah kekurangan uang hingga telat bayar listrik.
Yang menyedihkan, Sutami sempat takut dirawat di rumah sakit. Ternyata dia tidak punya uang untuk bayar rumah sakit.
Baru setelah pemerintah turun tangan, Sutami mau juga diopname. Presiden Soeharto kerap menjenguk Sutami saat sakit.
Soeharto pula yang meminta Sutami mau berobat ke luar negeri.
Sutami menginggal dunia 13 November 1980 pada umur 52 tahun. Dia menderita sakit lever.
Tanggal 16 Desember 1981, Presiden Soeharto meresmikan Bendungan Karangkates, Sumberpucung, Kabupaten Malang.
Soeharto membacakan pidato penghormatannya untuk Sutami. Dia pun memberi nama Bendungan Karangkates sebagai nama Bendungan Sutami.
Hasil Kerja Sutami
Menteri yang lahir 19 Oktober 1928 ini adalah menteri termuda yang dipercaya Presiden Soekarno saat berusia 36 tahun.
Tepatnya pada tahun 1964, Sutami bergabung pada Kabinet Dwikora I sebagai Menteri Negara diperbantukan pada Menteri Koordinator Pekerjaan Umum dan Tenaga untuk urusan penilaian konstruksi.
Ketika kekuasaaan Soekarno beralih ke Soeharto tahun 1966, Sutami tetap dipercaya menjadi menteri Pekerjaan Umum hingga tahun 1978.
Sutami adalah Menteri Pekerjaan Umum terlama di era Soeharto dengan masa jabatan selama 12 tahun dan dua tahun di era Soekarno.
Di tangan Ir Sutami, terbangun jembatan Semanggi Jakarta yang hingga kini menjadi salah satu ikon Ibukota.
Penerapan teknologi prestressed concrete saat itu memang sempat menuai pendapat pro dan kontra, serta diskursus di tataran akademik.
Pasalnya, kekuatan dan keandalan struktur jembatan tersebut dipertanyakan.
Keraguan pun terjawab. Saat Presiden Soekarno meresmikan jembatan itu pada tahun 1962.
Ketika itu Sutami sebagai penanggungjawab pembangunan Jembatan Semanggi melakukan aksi ‘heroik’.
Dengan mengendarai sebuah jeep, Sutami menuju ke tengah bentang untuk membuktikan struktur jembatan itu kuat.
Soekarno pun sangat puas dan bangga dengan kehebatan Sutami muda ketika itu.
Karya monumental Sutami tak hanya Jembatan Semanggi.
Kubah Gedung MPR/DPR berwarna hijau seperti kura-kura juga menjadi bukti kehebatan Sutami.
Kompleks MPR/DPR itu merupakan hasil rancangan arsitek lulusan Berlin, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan salah satu stafnya, Ir Nurpontjo.
Kompleks itu dibangun untuk menggelar Conference of the New Emerging Force (Conefo), dan bangunannya harus bisa menandingi gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Konferensi itu guna menggalang kekuatan di kalangan negara-negara baru untuk membentuk tatanan dunia baru.
Pemancangan tiang pertama pembangunan kompleks Conefo itu dilakukan pada 19 April 1965.
Padahal konferensi internasional sudah harus digelar setahun kemudian.
Sebagai pelaksana lapangan, Sutami menyanggupi pembangunan kompleks itu dalam tempo setahun.
Atap gedung ini mirip dengan prinsip struktur sayap.
Semula atap akan berbentuk kubah murni. Tapi Sutami selaku ahli struktur bangunan mengingatkan hal itu akan memunculkan masalah serius.
Sebab, hal ini menyangkut pemerataan penyaluran beban gaya vertikal ke tiang-tiang penopang kubah.
Sutami kemudian membuat sketsa dan perhitungan teknisnya.
Dia menjamin kubah semacam itu bisa dikerjakan. Sebab, desain tersebut tak berbeda dengan prinsip struktur kantilever pada pesawat tebang.
Keberhasilan Sutami sebagai pelaksana proyek dan juga turut andil dalam merealisasi atap berbentuk kubah mengundang pujian dari dosennya semasa di ITB, Ir Roosseno.
Ahli beton itu mengakui gedung Conefo sebagai karya besar Sutami.
Ir Sutami juga menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan Jembatan Ampera di Sungai Musi, yang kini menjadi kebanggan masyarakat Sumatera Selatan.
Ketika Proyek Listrik Tenaga Air di Maninjau, Sumatra Barat, yang diperkirakan tak akan bisa dibuat akhirnya berhasil,dilakukan berkat tangan dingin Ir Sutami.
Sutami juga ikut andil lahirnya Fakultas Teknik Universitas Indonesia, serta munculnya dan beroperasinya jalan tol yang sekarang dikenal sebagai tol Jagorawi.
Sutami juga sukses membangun Waduk Jatiluhur dan memimpin proyek pembangunan Bandara Ngurah Rai Bali yang megah hingga kini.(tribunbatam)