RAMADHAN 2021
Warga Kampung Budus Lingga Meriahkan Tradisi Malam Tujuh Likur atau 27 Ramadhan
Salah satunya yakni tradisi malam tujuh likur. Tradisi malam tujur likur merupakan tradisi yang berlaku ketika memasuki 10 terakhir bulan Ramadhan.
"Semoga dengan ini kita menjadi contoh bagi adik-adik kita, agar tetap menjaga kelestarian malam Tujuh Liko ini," harapnya.
Sementara itu, Andira yang merupakan pemuda yang baru pulang dari Tanjungpinang mengatakan, bahwa suasana Tujuh Likur merupakan suasana yang paling ingin dilihat oleh anak rantauan Lingga di luar sana.
Salah satu alasannya pulang ke Kampung Budos, umumnya Lingga itu selain untuk merayakan lebaran, ia juga mengaku sangat menanti-nanti keindahan malam tujuh likur di kampungnya itu.
"Inilah yangg dinanti nanti anak perantau sewaktu pulang kampung, karena kemeriahan malam 7 liko ini, selain merayakan dengan adanya pintu gerbang dan seribu pelite pada malam 7 liko, juga dapat berkumpul sama sanak saudara," ucapnya.
Lazuardy selaku pemerhati sejarah Lingga mengatakan, bahwa tradisi malam tujuh likur ini sudah berkembang setelah era kemerdekaan.
Pria yang juga bekerja di Dinas Kebudayaan Kabupaten Lingga juga mengatakan, bahwa tradisi malam Tujuh Likur dan pintu gerbang sudah masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) di Lingga sejak 2019 lalu.
"Malam Tujuh Liko yang terdapat pada malam 27 Ramadhan ini selalu dikaitkan dengan malam Lailatul Qadar yang terdapat pada malam ganjil, yang dimana malam itu lebih baik dari seribu bulan. Makanya dari awal malam 21 Ramadhan masyarakat Lingga sudah memasangkan lampu penerangan," kata Lazuardy.
Lazuardy juga menyampaikan, bahwa peringatan malam tujuh likur ini juga mengingatkan, bahwa sebelumnya umat Islam berada pada zaman kegelapan atau malam kebodohan hingga sampai kepada zaman yang terang benderang yang penuh dengan kemajuan.
"Tujuh Likur ini juga yang dimulai pada tahun 80-an, mereka mempererat silaturahim, berkunjung, berbagi rezeki, hingga merayakan berbuka bersama," ucapnya.
Sejarawan Lingga ini juga mengungkapkan, bahwa sering berkembangnya zaman, tradisi Tujuh Likur sudah mengalami perubahan ke hal yang lebih canggih.
"Dulu pada masa 70-an, masyarakat Melayu Lingga khususnya memanfaatkan bahah-bahan bekas atau seadanya untuk membuat pintu gerbang. Namun sekarang, sudah ada pakai triplek, terpal, maupun lampu penerangan dari listrik yang biasanya hanya dibuat dengan lampu minyak tanah atau pelita," ungkapnya.
Lazuardy berharap, meski berjalannya waktu, namun tradisi kemeriahan malam Tujuh Likur ini harus tetap dijaga sampai kapanpun, khususnya di Kabupaten Lingga, Negeri Bunda Tanah Melayu.(TribunBatam.id/Febriyuanda)