HUMAN INTEREST
KISAH Erdawati, Ungkap Pengalaman Hadapi Korban KDRT hingga Pelaku Pembunuhan
Erdawati seorang konselor di Kabupaten Kepulauan Anambas punya segudang cerita unik saat mendampingi setiap korban yang melibatkan anak dan perempuan.
ANAMBAS, TRIBUNBATAM.id - Menjadi satu - satunya konselor bimbingan perempuan dan anak di daerah perbatasan bukanlah suatu hal yang mudah.
Perlu pendekatan dan adaptasi kepada masyarakat yang mayoritas nya hidup di pulau terluar.
Berbeda dengan masyarakat di kota, beberapa hal yang biasa saja terjadi di kota besar bila disandingkan dengan masyarakat yang tinggal di pulau tentu akan dianggap tabu.
Banyak hal yang harus diperhatikan, mulai dari tutur kata, sikap, hingga lingkungan sekitar.
Erdawati salah seorang konselor di Kabupaten Kepulauan Anambas memiliki segudang cerita unik akan tugasnya mendampingi setiap korban yang melibatkan anak dan perempuan.
Kebanyakan kasus yang ia tangani tidak jauh dari kekerasan terhadap perempuan, pelecehan seksual, dan pencabulan terhadap anak di bawah umur.
Bukan lah hal yang mudah bagi Erdawati menjalankan tugasnya sehari-hari, berhadapan dengan masyarakat sudah jadi rutinitas Erdawati.
Baca juga: Jadwal VOC Batavia dari Anambas, Mulai 4 Oktober Ada 3 Trip Seminggu, Cek Syaratnya!
Baca juga: Warga di Anambas Desak Kades Temburun Mundur, Abdul Karim: Tak Perlu Khawatir
Bahkan tak jarang ia harus pulang pergi untuk menyelesaikan kasus yang berada di luar pulau dan harus ditempuh dengan kapal laut atau pompong.
"Pertama kendala kerjaan saya itu di transportasi dan cuaca, karena pulau kita di sini terpisah oleh lautan, ini menjadi salah satu penyebab aksi, eksekusi dan investigasi kita menangani satu perkara menjadi terhambat," ujar Erdawati, Konselor P2TP2A, Minggu (3/10/2021).
Erdawati pun sangat menyayangkan sekali, sekian lama bergelut di bidang penanganan anak dan perempuan ini, dirinya merasa prihatin terhadap kasus anak yang tidak pernah ada usainya.
Banyak dari masyarakat pelosok pulau yang tidak tahu adanya wadah pengaduan, lembaga penanganan perempuan dan anak ini.
"Kadang pekerjaan saya ini berlawanan dengan hati nurani, menjadi opini publik yang melebar dan cenderung negatif di mana pada saat kita menangani kasus yang mana harapan masyarakat atau keluarga korban agar pelaku ini cepat diproses secara hukum, akan tetapi dalam proses yang berjalan atas pertimbangan bersama antara kami dan kepolisian sampai pihak eksternal yang dilibatkan atas azas peradilan itu tadi maka pelaku tidak diproses dengan ketentuan yang disepakati," tutur Erda.
Bahkan di daerah perbatasan tempat ia bekerja, belum banyak psikolog atau konselor yang mau bertugas di Kepulauan Anambas.
Selain itu tentu Erdawati punya pengalaman unik yang membekas di ingatannya.
Semua itu baginya adalah pembelajaran yang berharga.
Erda mengungkap banyak kejadian lucu dan sedih saat melakukan konseling.
"Sewaktu saya mendampingi kasus KDRT, dilakukan mediasi di Polsek, pada saat saya meminta agar suaminya menafkahi istri dan anaknya, si pelaku mengatakan tidak ada uang, bahkan pelaku meminta saya agar membeli mobil tosanya supaya dia bisa memberi uang ke anak dan istri," ucap Erdawati sambil terkekeh.
Selain cerita unik dan lucu, Erdawati juga sempat mengalami hal yang menegangkan ketika mendampingi salah satu tersangka pembunuhan.
Tersangka ini sendiri adalah perempuan berusia 21 tahun yang membunuh suami sirinya.
"Saat itu penyidik menginterogasi pelaku selama 3 hari namun tidak ada hasil dan tidak ada titik terang, kemudian saya diminta untuk menginterogasi pelaku, kurang dalam 3 jam saya berhasil membuat tersangka mengakui perbuatannya dan menceritakan bagaimana ia membunuh sang suami," kata Erdawati.
Untuk daerah perbatasan apakah menjadi konselor itu ada tantangannya?
Tentu saja ada, yang pertama banyak masyarakat awam belum mengerti apa manfaat konseling.
Masih malu dan tabu untuk mengadukan hal-hal yang berkaitan dengan kekerasan seksual dikarenakan pelaku adalah orang terdekat.
Untuk mendatangi psikolog dan konselor masih dianggap hal yang memalukan dan membuka aib padahal kita memang kode etik.
"Tantangan lainnya kadang saya mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari klien, keluarga korban dan keluarga pelaku. Karena memang saya pun sadar saya tidak selalu dapat memuaskan hati mereka," jelasnya.
Kesulitan dalam mendampingi korban yang trauma, biasanya mereka sangat tertutup dan susah diajak komunikasi.
Pada anak umur di bawah 10 tahun kesulitannya pada saat dimintai keterangan.
Dikarenakan mereka masih terlalu kecil dan moodnya tentu gampang berubah.
Sebetulnya tidak ada yang sulit, ketika kita semangat, profesional dalam bekerja.
"Banyak hal yang saya dapati di sini. Kerja dalam bidang ini harus lebih banyak empati, harus kerja dari hati, ikhlas karena mau membantu. Saya yakin jam terbang kami menangani kasus nggak akan terkejar oleh siapapun, itu menjadi keyakinan saya," katanya. (TRIBUNBATAM.id/Rahma Tika)
Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/batam/foto/bank/originals/03102021konselor-p2tp2a-anambas-erdawati.jpg)