FEATURE
Bahagianya Warga Lingga Sambut Tradisi Tujuh Likur di Malam 27 Ramadan
Suasana desa di Lingga yang biasanya gelap, kini lebih terang dengan penerangan ribuan lampu cangkok dalam tradisi tujuh likur
Penulis: Febriyuanda | Editor: Dewi Haryati
Ada kebahagiaan yang terasa saat mendengar riuh itu, meski tidak melihatnya langsung.
Malam mereka yang panjang terus ditemani suasana semarak itu, ditambah suara lantunan tadarus Al-Qur'an yang terdengar dari toa Masjid.
Tradisi yang sudah diakui Kemendikbud menjadi menjadi Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada 2019 ini, bukan hanya sekedar bualan saja.
Namun kelestarian ini terus dimeriahkan seluruh wilayah Kabupaten Lingga, sehingga dikenal sampai ke generasi muda.
Salah satunya bagi Andira (25).
Pria yang telah merantau selama enam tahun di Ibu Kota Kepri ini, tidak melewatkan momen untuk pulang kampung, sebelum mendekati tradisi tujuh likur setiap tahunnya.
Dia sendiri tinggal di Kampung Budos, Desa Merawang.
Semangat pemuda di desanya tidak kalah jauh dengan pemuda desa yang lain, dalam menyemarakkan tradisi likuran ini.
"Karena pulang kampung di Lingga bukan hanya sekedar berkumpul bersama keluarga, tapi tradisi tujuh likur yang selalu dirindukan," kata Andi kepada TribunBatam.id, Kamis (28/4/2022).
Apalagi saat ini dia mengungkapkan, bahwa ada perlombaan bedil di tengah-tengah Ibu Kota Daik.
"Suara bedel buloh (meriam bambu-red) ini makin jadi penambah semangat saya pulkam Ramadan kali ini," ujarnya.
Tidak hanya di malam 27 Ramadan, namun dari malam 21 Ramadan masyarakat sudah memasang lampu cangkok.
Malam 21 Ramadan disebut satu likur hingga seterusnya ke malam tujuh likur.
Menurut Pemerhati Sejarah dan Budaya Lingga, Lazuardy tradisi ini masih lestari meskipun ada pergeseran seiring waktu disebabkan berbagai alasan.
Tetapi tidak menyurutkan minat masyarakat untuk mempertahankannya.