HUMAN INTEREST

KISAH Iyan, Buruh Pemecah Batu di Anambas, Terbelit Hutang hingga Ditipu Teman Sendiri

Iyan terpaksa meninggalkan kampung halaman di Cianjur dan merantau ke Anambas setelah terbelit hutang hingga memaksanya menjadi pemecah batu.

Penulis: Novenri Halomoan Simanjuntak |
TRIBUNBATAM.id/NOVEN SIMANJUTAK
Iyan saat memecahkan batu di Jalan Pasir Peti, Desa Pesisir Timur, Kabupaten Kepulauan Anambas, Rabu (13/7/2022). 

ANAMBAS, TRIBUNBATAM.id - Iyan, seorang pria berusia 56 tahun rela meninggalkan keluarganya di kampung halaman dan pergi merantau ke Anambas demi mendapatkan rupiah demi rupiah untuk kebutuhan keluarganya.

Mengadu nasib ke kampung orang dengan tekad memenuhi kebutuhan hidup bukanlah hal mudah. 

Iyan, mengadu nasib menjadi pemecah batu di daerah terdepan Indonesia, Kabupaten Kepulauan Anambas tahun 2019 silam.

Selama 3 tahun sudah Iyan melakoni pekerjaannya menjadi pemecah batu di pinggir jalan Pasir Peti, Desa Pesisir Timur, Kabupaten Kepulauan Anambas.

Siang itu, Iyan terlihat tak mengenakan baju.

Tubuhnya yang kurus berkulit hitam legam sudah bermandikan butiran keringat yang mengucur deras. 

Tak ada keraguan saat kedua tangannya menggenggam erat palu berbobot 6 kilo itu, seraya mengayunkan dan  menghantamkannya tepat di pecahan batu besar yang ada di hadapannya.

Baca juga: KRONOLOGI Keluarga Warga Binaan Sakit saat Besuk Suaminya Versi Kalapas Batam

Nafasnya yang semula teratur mulai terengah-engah, gerakannya juga perlahan mulai melambat.

Per sekian menit saja Iyan sudah terlihat menghentikan ayunan palunya. 

Namun di saat-saat seperti itu, Iyan justru tak berhenti beraktivitas.

Malahan masih saja ia mengamati kobaran api kecil yang menyala sejak tadi, bila-bila mati untuk membakar batu besar yang ada di sebelahnya.

Bila telah muncul retakan dari batu besar itu, ia pun dengan sigap mengambil perlengkapan pahat dan linggis untuk membuka pecahannya.

Memang tak mudah pekerjaan yang ditekuninya, sebelum menetapkan pilihan menjadi pemecah batu, Iyan sempat bekerja sebagai petani kebun di kampung halamannya, Cianjur, Jawa Barat.

Nasib malang menimpanya, kala itu hasil kebun yang dikelolanya gagal panen, hingga menyisakan hutang pupuk senilai jutaan rupiah yang tak mampu dibayarkannya.

Melihat kondisinya semakin sulit, Iyan pun akhirnya diajak oleh temannya bertolak ke Anambas untuk mencoba peruntungan baru menjadi pemecah batu.

Jelas saja, dengan waktu sebulan ia telah berhasil melunasi hutang pupuknya di kampung.

Namun nahas, seiring waktu, lagi-lagi Iyan kemalangan.

Upah yang ia terima sebagai buruh pemecah batu tak sesuai dari perhitungan awal diberikan oleh temannya sendiri. 

"Saya tahu juga lah hitungannya, seharusnya saat itu saya terima Rp 5,5 juta. Tapi malah diberi Rp 4 juta. Jadi dari pada ribut dengan teman, saya nggak mau lah, lebih baik keluar dan cari kerjaan serabutan lain. Alhamdulillah dapat kerjaan di Batu Tambun, Palmatak, Subi hingga panjat cengkeh di Air Nangak," ucapnya, Rabu (13/4/2022).

Tak sampai di situ, keberuntungan mulai berpihak.

Berkat ajakan dari seorang toke pengepul batu di Anambas, Ia kembali melakoni pekerjaannya menjadi pemecah batu hingga sekarang.

Diungkapkannya, dari satu kubik batu yang dikumpulkannya ia diberi upah sebesar Rp 150 ribu, dengan begitu ia pun kerja ekstra mengumpulkan hingga 3 kubik dalam sehari jika cuaca cerah.

"Kalau cuaca hujan, gak dapat kerja paling istirahat di pondok aja. Dan kalau badan capek paling-paling hanya dapat satu kubik. Gak mampu juga, maklum badan udah gak muda," jelasnya Iyan dengan gelak tawa.

Iyan menjelaskan, teknik pecah batu yang dilakukannya dengan cara dibakar oleh api hingga berjam-jam.

Teknik tradisional itu menurutnya lebih efektif mengurangi beban kerjanya. 

"Tidak ada trik khusus, kalau batunya mudah pecah paling hanya sejam. Tapi kalau agak keras butuh waktu 3 sampai 4 jam. Lalu dibajik dengan pahat dan pecahannya dikumpulkan per kubik," ungkapnya.

Selama mengadu nasib di Anambas, Iyan mengaku tak pernah lama menganggur.

Peluang kerja dari permintaan sejumlah rekanan cukup menjanjikan meskipun sebagai buruh pemecah batu.

"Kalau dari satu borongan selesai, biasa ada aja yang nyari buat kerja pecah batu lagi. Makanya, sekarang dua anak saya datang dari Cianjur kesini untuk membantu. Maklum lah biar mereka tahu gimana sulitnya kerja jadi tukang pecah batu," terang Iyan sembari menata letak duduknya di pondok.

Meski perekonomian hidup yang serba pas-pasan, Iyan pun berhasil menunaikan pendidikan anak sulungnya ke tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) pesantren.

Sedang beberapa anaknya yang lain hanya tamat dibangku Sekolah Menengah Pertama. (SMP)

"Alhamdulillah anak yang sulung selesai pesantren, tapi kalau yang nomor dua hanya tamat SMP karena gak mau lanjut lagi. Dua orang lagi di Cianjur masih sekolah SMP baru masuk juga," tuturnya.

Dengan begitu, kata kakek dua cucu ini, tak ada alasan baginya untuk tidak membiayai pendidikan kedua anaknya yang saat ini masih bersekolah di Cianjur. 

"Ya kalau dapat upah pasti saya kirim uang buat keluarga di sana, isteri juga kan hanya ibu rumah tangga dan gak punya penghasilan apa-apa," paparnya.

Bagi Iyan, apapun jenis pekerjaan apabila dinikmati dengan rasa syukur maka akan teras cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Ya meskipun kita berbeda profesi, saya sebagai pemecah batu semoga lah dapat kelancaran semuanya asal halal pintu rejeki itu pasti akan terbuka dari mana saja," katanya. (TRIBUNBATAM.id/Noven Simanjuntak)


 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved