HUMAN INTEREST
Kisah Kakek Amer di Anambas, Hidup Sebatang Kara di Rantau, Bertahan Jadi Buruh Kasar
Amer Husen sudah 30 tahun menetap di Anambas. Dia tinggal sebatang kara di gubuk dengan jadi buruh kasar. Tadinya dia seorang perantau asal Pekanbaru
Penulis: Novenri Halomoan Simanjuntak | Editor: Dewi Haryati
ANAMBAS, TRIBUNBATAM.id - Lelaki paruh baya itu bernama Amer Husen. Ia tinggal di Desa Nyamuk, Kecamatan Siantan Timur, Kabupaten Kepulauan Anambas.
Di usianya yang menginjak 72 tahun, tubuh pria renta itu tak lagi terlihat kuat seperti cerita masa mudanya dulu, pernah mengarungi lautan mencari ikan.
Dari perkataannya yang pelan dan terbata-bata, bibir kakek yang tinggal sebatang kara itu tampak sudah bergetar.
Dari bibirnya itu pula, tersulut sebatang rokok kretek yang sesekali masih mampu diisapnya dengan sekali tarikan napas.
Duduk beralaskan kardus di gubuk rumahnya yang tampak darurat, kira-kira dengan luas 3 x 3 meter, pria lansia itu menjamu Tribunbatam.id dengan sambutan hangat.
Bermukim di atas laut, bangunan gubuk Amer jauh dari kata layak. Dinding-dinding rumahnya terbuat dari susunan papan bekas yang di bagian sisi-sisinya penuh tempelan.
Belum lagi, atap gubuknya yang dipasang asbes dan seng bekas dibalut daun-daun kering kelapa.
Baca juga: Kisah Polisi Batam Aiptu Sahata, Pernah Dikepung dan Diberondong Senjata Anggota GAM
Kondisi ini membuat lubang-lubang kecil yang menyebabkan bocor kala hujan turun.
Bahkan, di gubuk itu juga Amer tak memiliki kamar mandi yang layak. Hanya terlihat lantai papan yang mulai lapuk dan ember berisi air disekat. Di sanalah Amer membasuh badan dan membuang hajat.
Ya, Amer Husen adalah satu dari sekian perantau yang datang dari kampung asalnya Pekanbaru.
Ia mencoba peruntungannya di Kabupaten Kepulauan Anambas.
Amer mengadu nasib di sana demi membiayai kebutuhan sehari-hari istri dan anak-anaknya yang masih menempuh bangku perkuliahan.
Meski di usianya yang tak lagi muda, tanggungjawab kepala keluarga itu ia tunaikan dengan mengirim sebagian hasil upahnya sebagai buruh kebun dan bangunan di Anambas.
Setiap kali ada lahan warga yang hendak dibersihkan, Amer dengan sungguh meminta pekerjaan tersebut agar diberikan kepadanya.
Dalam sekali membersihkan lahan kebun, ia mengaku biasa mendapat upah Rp 50 ribu sampai dengan Rp 100 ribu.
"Biasa kalau tidak luas dikasih Rp 50 ribu, tapi kalau sedikit luas mau dikasih juga Rp 100 ribu. Kita tak pasang-pasang harga yang penting dikasih," ujarnya.
Baca juga: Pria Asal Lembata NTT Nekat Tinggalkan Kampung Halaman Demi Jadi PMI di Malaysia
Tak terasa sudah 30 tahun lamanya Amer menetap di Anambas. Meski rindu keluarga dan kampung halaman, niat untuk pulang selalu diurungkannya.
Lebih baik, menurutnya, uang itu ia kirimkan untuk memenuhi biaya hidup keluarganya di sana.
"Anak saya tiga, satu ada di Tanjungpinang, satu di Dabo dan satunya lagi di Pekanbaru. Dua di antaranya masih sekolah dan satu sudah kerja," ucapnya.
Dengan kondisinya yang telah renta, tak jarang kebutuhan hidup Amer dibantu oleh tetangga dan warga sekitar di pemukimannya.
Beberapa tetangga dan warga sekitar, terkadang sengaja mengantarkan makan dan minuman untuk disantapnya.
Di samping itu, Amer juga turut mendapat bantuan pemerintah desa setempat. (Tribunbatam.id/Noven Simanjuntak)