BERITA POLITIK

Putusan MKMK, Sanksi Teguran Lisan Untuk Enam Hakim Konstitusi, Terbukti Langgar Kode Etik

Dalam keputusan tersebut, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan keenam hakim secara bersama-sama terbukti tidak menjaga keterangan atau informasi ra

Editor: Eko Setiawan
YouTube Kompas TV
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), Jimly Asshiddiqie saat sidang putusan terkait pelanggaran etik hakim konstitusi di Gedung MK, Selasa (7/11/2023). 

TRIBUNBATAM.id, JAKARTA - Sanksi teruran lisan diberikan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) kepada enam hakim konstitusi yakni Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic P Foekh, dan M Guntur Hamzah.

Dalam keputusan tersebut, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie mengatakan keenam hakim secara bersama-sama terbukti tidak menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH) yang bersifat tertutup.

"Praktik benturan kepentingan sudah menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena Para Hakim Terlapor secara bersama-sama membiarkan terjadinya praktik pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling mengingatkan," kata Jimly membacakan putusan kolektif, di gedung Mahakamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023).

Keenam hakim tersebut telah melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

"Para Hakim Terlapor secara bersama-sama terbukti melakukan pelanggaran terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan," ucap Jimly Asshiddiqie.

Sehingga, Jimly menegaskan, MKMK menjatuhkan sanksi berupa terguran lisan kepada enam hakim konstitusi terlapor tersebut.

"Menjatuhkan sanski teguran lisan secara kolektif kepada Para Hakim Terlapor," katanya.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).

Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).

Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved