PILKADA KEPRI 2024

Pengamat Soroti Fenomena Money Politic dan Urgensi Pengawasan Pilkada Kepri 2024

Pengamat politik Kepri soroti fenomena monet politic dan pentingnya pengawasan dari Bawaslu dan pihak lainnya sikapi Pilkada 2024 di Kepri

Editor: Dewi Haryati
TribunBatam.id/Dok Endri Sanopaka
Dr Endri Sanopaka, S. Sos, MPM 

Penulis: Dr ENDRI SANOPAKA, SSos, MPM

BATAM, TRIBUNBATAM.id - Pasca pemilihan umum 2024 yang lalu, kita semua seperti tersentak dengan fenomena sunami “Money Politic” yang selama ini telah ditetapkan sebagai salah satu bentuk perbuatan curang dalam pemilihan.

Keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dibentuk secara permanen oleh negara merupakan respon terhadap praktek-praktek tidak baik dalam sebuah hajatan pesta demokrasi, terutama praktek “Money Politic”.

Pada pemilu 2024 yang lalu, semua menjadi tidak berdaya menghadapi serangan praktek jual beli suara (Vote Buying) untuk sebuah upaya memperoleh kursi sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif.

Meskipun hajatan demokrasi berlangsung secara serentak, di antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, namun praktek vote buying dilakukan dengan cara yang berbeda.

Baca juga: Kepala Sekretariat Bawaslu Kepri Ingatkan ASN Agar Junjung Tinggi Netralitas Pilkada

Mereka yang bertarung merebut kursi legislatif menghitung dengan cermat target suara yang diinginkan untuk memperoleh angka minimum jumlah suara yang harus diperoleh bagi satu kursi legislatif.

Meskipun tidak semuanya bisa tepat sasaran, namun dianggap paling efektif untuk dapat membeli kursi legislatif dibandingkan dengan jualan ideologi dan program yang ditawarkan oleh partai politiknya.

Sedangkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, target dari masing-masing pasangan calon adalah menang dalam satu putaran. Itu dengan sasaran perolehan suara di atas lima puluh persen, maka cara membeli suara rakyat tidak hanya dengan membayar secara tunai, tapi juga membangun citra diri sebagai pasangan yang paling simpatik dan layak untuk memimpin Indonesia lima tahun mendatang.

Perdebatan soal baik buruknya money politic menjadi tidak menarik lagi bagi para pemilih. Bahkan dianggap sebagai hal biasa yang memang harus dilakukan oleh mereka yang menginginkan duduk di kursi legislatif.

Penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu yang selama ini menjadikan Money Politic sebagai kejahatan pemilu paling utama, seperti tidak berdaya untuk meneruskan perjuangannya melawan money politic. Karena kehilangan dukungan partisipatif dari pemilih, yang sebagian besar telah terpapar dengan praktek “Vote Buying” yang masif sebagaimana saat Covid-19 menyerang masayarakat dunia.

Semua pihak dibayangi ketakutan saat hajatan pilkada serentak bulan November 2024 mendatang, serangan vote buying akan kembali mewabah di kalangan pemilih, dan akhirnya mempengaruhi pada persepsi pemilih bahwa untuk menjadi pemimpin daerah nanti harus orang yang punya banyak uang. Karena dianggap mampu untuk membeli suara pemilih.

Baca juga: Melalui Program Pengawasan Partisiptif, Bawaslu Kepri Ajak Masyarakat Awasi Pilkada Kepri 2024

Jika persepsi ini terus dibiarkan, dan kemudian mewabah dan merusak pemikiran dari pemilih, maka menjadi sia-sia cita-cita kita saat menginginkan salah satu agenda reformasi adalah memilih langsung pemimpin yang akan melayani rakyat dan dapat menyejahterakan rakyat.

Namun ternyata kita pada akhirnya akan kembali membentuk sebuah sistem negara yang dikuasai oleh oligarki, dan bisa mengarah kepada kembalinya sistem feodalistik yang diperintah oleh seorang raja.

Konsep negara feodalistik adalah negara yang pimpin oleh seorang Raja yang pada masa lalu merupakan orang yang dianggap memiliki kesaktian dan juga kekayaan untuk menguasai sumber daya, termasuk membeli harga diri manusia menjadi budak yang diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi.

Oleh karenanya, Bawaslu perlu melakukan desain ulang atas konsep pengawasan yang dilakukannya. Tidak semata-mata hanya berpedoman pada seperangkat aturan formal yang memuat perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam pilkada.

Namun juga perlu melakukan upaya sosialisasi dan pendekatan yang lebih menyentuh kepada partai politik dan pemilih akan arti penting masa depan daerah dengan memilih pemimpin bukan karena kemampuan membayar suara. Tapi yang paling dapat diandalkan melayani dan memimpin daerah untuk kepentingan publik bukan kepentingan kelompok dan golongansaja.

Upaya Bawaslu dalam pencegahan akan jauh lebih baik dibandingkan dengan upaya represif yang cenderung terhenti karena kekurangan dukungan public dan berpotensi terjadi perbuatan yang koruptif (rusak).

Baca juga: Bawaslu Kepri Soroti Pemberian Bansos Jelang Pilkada Terutama dari Petahana

Dukungan anggaran yang diberikan oleh negara melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah kepada Bawaslu tentunya merupakan wujud dari keinginan untuk dapat menciptakan pilkada yang bersih dan menghasilkan pemimpin terbaik bagi kemajuan daerah.

Pengawasan partisipatif yang sudah digagas oleh Bawaslu harus didukung penuh oleh seluruh stakeholder menjadi bentuk pengawasan preventif bagi upaya pencegahan penyebaran virus “Vote Buying” yang berpotensi merusak sistem demokrasi yang sudah kita pilih saat ini.

Pengawasan partisipatif akan melibatkan masing-masing individu pemilih untuk dapat mengawasi dirinya sendiri dan juga mengawasi lingkungannyadari potensi diserang oleh virus-virus yang merusak pertahanan sistem demokrasi kita.

Kedaulatan yang ada di tangan rakyat dalam menentukan pemimpin-pemimpin daerah yang dapat melayani dan mengayomi harus didukung dengan penguatan personal pemiliholeh Bawaslu.

Baca juga: Bawaslu Kepri Serukan Pengawasan Partisipatif Cegah Potensi Pelanggaran Pilkada

Dengan demikian keberadaan Bawaslu dalam setiap tahapan pelaksanaan Pilkada, mulai dari pemutakhiran data pemilih sampai dengan nantinya penetapan calon terpilih, harus tetap menjadi garda terdepan bagi menjamin kualitas pelaksanaan pilkada.

Pengalaman Pemilu 2024 yang lalu tidak bisa hanya dijadikan sebuah peristiwa biasa, namun lebih mendorong untuk kita mengantisipasi jangan sampai menjadi patologi dalam sistem demokrasi yang akan membuat demokrasi kita menjadi disfungsi.

Bawaslu tidak bisa hanya menjadi Watchdog, tapi juga pengayom pemilih agar tetap konsisten di dalam menentukan pilihannya sesuai dengan nuraninya.

Bagaimanapun kita tetap berharap Bawaslu akan tetap eksismenjadi penjaga demokrasi dengan pendekatan yang lebih humanis. (*)

Baca juga Berita TribunBatam.id lainnya di Google News

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved