PERSPEKTIF
Desentralisasi dan Otonomi: Sebuah Mimpi Daerah untuk Lebih Mandiri
Komisi II DPR RI menginisiasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah
TRIBUNBATAM.id - Sejak bergulirnya era reformasi di tahun 1998, daerah mendapatkan angin segar yakni hak atau kewenangan mengelola daerah dengan porsi lebih besar.
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah diberikan kewenangan yang cukup luas untuk berupaya dalam memajukan daerahnya masing-masing melalui desentralisasi.
Adapun pengertian Desentralisasi menurut Rondinelli adalah penyerahan, perencanaan, pembuat keputusan, serta kewenangan administratif dari pemerintah pusat terhadap organisasi wilayah, satuan administrasi daerah, organisasi semi otonom, pemerintah daerah, organisasi non pemerintah, atau juga LSM.
Dengan kata lain, desentralisasi diharapkan dan bertujuan untuk kemajuan dan kemandirian suatu daerah. Agar daerah mampu maju sesuai karakteristik dan potensi daerah tersebut. Dan tujuan akhirnya adalah untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ini, daerah mulai menggeliat menggali potensi unggulan masing-masing daerah, terutama sektor pertambangan.
Tetapi tak berselang lama, Undang-Undang ini mulai dievaluasi dan beberapa kali direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 hingga menjadi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dari berbagai revisi ini, Pemerintah pusat merasa daerah overlap dalam pelaksanaan kewenangan nya. Bahkan tak jarang di daerah mulai muncul raja-raja kecil yang haus akan kuasa, sehingga keluar dari tujuan otonomi daerah sejatinya yakni kemajuan dan kemandirian serta kesejahteraan untuk masyarakat.
Beberapa waktu lalu, Komisi II DPR RI menginisiasi Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Berbagai hal dibahas dari Komisi II DPR RI maupun dari sisi Pemerintah Daerah. Dari hasil RDP tersebut, ternyata sebagian besar dari Provinsi, Kabupaten dan Kota APBD nya bergantung pada Dana Transfer atau Bagi Hasil Pemeritah Pusat. Dari sini dapat dilihat bahwa ternyata pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi belum berjalan sesuai diharapkan.
Di sisi lain, banyak hal kewenangan dan kepentingan Pemerintah Pusat yang berakibat daerah tak mampu untuk mengeksplorasi potensi daerah masing-masing. Tumpang tindihnya aturan antar lintas kementerian dalam menyikapi suatu kewenangan daerah selalu menjadi masalah yang pelik.
Lalu, bagaimana dengan Provinsi Kepulauan Riau? Provinsi Kepulauan Riau yang usianya masih berkisar 25 tahun, dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah tidaklah terlalu buruk.
Memang APBD Provinsi Kepulauan Riau masih ada ketergantungan pada Dana Transfer dan Dana Bagi Hasil yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Sebagai informasi, Pendapatan Asli Daerah di tahun 2025 ditargetkan sebesar Rp. 1,76 Triliun atau sebesar 44 persen.
Provinsi Kepulauan Riau pada dasarnya mampu menjadi Provinsi yang mandiri dan maju. Ada beberapa potensi di Provinsi Kepulauan Riau yang belum bisa maksimal dikelola. Hal ini jika Pemerintah Pusat memberikan kewenangan lebih dalam pengelolaan beberapa potensi yang dimiliki Provinsi Kepulauan Riau antara lain :
- Free Trade Zone menyeluruh di Bintan dan Karimun
- Pengelolaan labuh jangkar
