Legenda Tari Tupeng Kesenian Khas Natuna, Dari Ritual Penyembuhan Jadi Warisan Budaya
Natuna simpan kekayaan tradisi dan kebudayaan yang unik dan menarik. Di antaranya Tari Tupeng yang memiliki akar dari Desa Tanjung
Penulis: Birri Fikrudin | Editor: Dewi Haryati
NATUNA, TRIBUNBATAM.id - Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) selama ini dikenal sebagai surga wisata bahari.
Namun di balik pesona alamnya itu, pulau perbatasan ini juga menyimpan ragam kesenian tradisional yang tak kalah menarik, meski sebagian mulai jarang terdengar.
Salah satunya adalah 'Tari Tupeng', kesenian yang memiliki akar dari Desa Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna.
Kesenian ini memiliki cerita asal-usul yang unik, bahkan dipercaya pernah menjadi media pengobatan.
Berbeda dengan kesenian Mendu dan Lang-lang Buana yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia, Tari Tupeng masih terdengar asing di telinga sebagian besar masyarakat, termasuk generasi muda.
Alasannya, tarian ini hanya berkembang di Kecamatan Bunguran Timur Laut, dan kini hanya tampil di momen tertentu, seperti pernikahan, acara budaya, hingga peringatan hari kemerdekaan.
Maestro sekaligus tokoh pelestari Tari Tupeng, Dermawan (67), menceritakan kisah yang diwariskan turun-temurun dari leluhurnya.
Menurutnya, Tari Tupeng lahir di Desa Tanjung yang juga merupakan tanah kelahirannya.
Ia mengatakan, tarian ini dulunya digunakan untuk menyembuhkan seorang putri raja yang jatuh sakit.
“Konon, putri itu tak pernah diizinkan keluar istana karena aturan dari ayahnya sang Raja. Suatu hari, ia memohon untuk melihat alam luar. Sang raja mengizinkan, namun dengan pengawalan ketat dari prajurit dan para dayang,” cerita Dermawan kepada Tribunbatam.id, Jumat (15/8/2025).
Namun, saat berjalan di tepi pantai dan menyaksikan keindahan alam Natuna, sang putri tiba-tiba pingsan.
Setelah dibawa kembali ke istana, Raja pun panik dan memanggil 'Nujum' atau sebutan untuk orang pintar, agar mengetahui penyebabnya.
“Hasil ramalan, putri itu bukan sakit biasa, tapi pingsan karena tak sanggup menahan rasa takjub melihat alam bebas," ujar Dermawan.
Nujum lalu menyarankan dan menyebut kepada raja, bahwa putrinya hanya bisa sembuh dengan tari-tarian khusus untuk menghibur.
Nujum pun mengingat pernah mendengar alunan musik indah dari hutan pada malam purnama ke-15, yang diyakini berasal dari tarian orang Bunian atau suku mistis, dalam kepercayaan masyarakat setempat.
Dengan restu raja, nujum pun akhirnya mendatangi hutan dan mengundang orang Bunian itu ke istana.
Namun, mereka memberi syarat agar para penari harus memakai 'Tupeng' sebutan masyarakat Natuna terhadap topeng atau penutup wajah.
Hal itu, dikarenakan para penari tidak percaya diri untuk menampakkan wajah di istana.
"Syarat itu pun diterima oleh raja, demi kesembuhan sang putri," katanya.
Pada hari yang ditentukan, para penari Bunian datang dan langsung menampilkan tarian dengan tiga pola gerakan, yaitu tari piring, tari tangan, dan tari kain atau selendang.
“Ketika Tari Selendang dimainkan, barulah putri raja siuman dan sadarkan diri,” kata Dermawan.
Dari situlah, tarian tersebut dikenal sebagai Tari Tupeng, diambil dari kata topeng.
Raja yang bergembira, bahkan menikahkan penari Bunian laki-laki yang menjadi tokoh utama penyembuhan dengan putrinya.
Namun, ada satu pesan mistis yang diwariskan hingga saat ini. Sebelum datang ke istana, Raja juga sempat berpesan jumlah penari tidak boleh melebihi 40 orang, atau akan terkena kutukan.
"Sejarahnya, di kala itu ada satu orang penari tambahan yang terkena kutukan, dan hingga kini dipercaya sebagai syekh atau tokoh spiritual dalam memainkan kesenian ini," ungkap Dermawan.
Saat ini, Tari Tupeng biasanya dimainkan oleh dua hingga tujuh orang penari, namun tidak ada batas yang ditentukan.
Selain itu juga dihadirkan dua orang pemeran menggunakan kostum hewan endemik Natuna, yaitu Kekah dan Beruk.
"Dua orang itu disebut pengawal dari penari, yang juga memberikan suasana dari sejarah tarian ini yang berasal dari hutan," jelas Dermawan.
Sementara itu tarian diiringi oleh lima pemusik. Terdiri dari dua pemain alat musik limpung, satu pemain gong, dan dua penabuh gendang.
Meski gerakannya sederhana, harmonisasi musik dan gerakan tubuh menciptakan pertunjukan yang memikat dan menghibur, apalagi dikemas dalam bentuk teater.
Kini, fungsinya bergeser dari media pengobatan menjadi hiburan, dan simbol budaya yang sarat nilai kekompakan, olahraga, dan keceriaan.
“Sekarang, tarian ini bukan lagi untuk mengobati, tapi sebagai warisan budaya yang harus dijaga. Saya mendapatkannya dari ayah saya, dan saya berkomitmen untuk terus melestarikannya,” tegas Dermawan.
Sayangnya, keberadaan Tari Tupeng semakin jarang terlihat.
Minimnya regenerasi penari menjadi tantangan terbesar. Dermawan berharap ada dukungan pemerintah dan kesadaran masyarakat agar tarian ini tetap hidup.
“Tari Tupeng adalah cerita kita, sejarah kita. Kalau hilang dan tidak diwariskan, maka hilanglah satu bagian dari jati diri Natuna,” pungkasnya. (Tribunbatam.id/birrifikrudin)
| 12 Pohon Pinang Bakal Meriahkan HUT ke-26 Natuna di Pantai Piwang, Total Hadiah Jutaan Rupiah |
|
|---|
| Polda Kepri Genjot Produksi 25 Ton Jagung sampai Akhir Tahun, Dukung Ketahanan Pangan |
|
|---|
| Kapolda Kepri Dihadapkan Pertanyaan Kritis Mahasiswa Batam Soal Keterbukaan Informasi |
|
|---|
| Warga Lingga Panik Biawak Besar Masuk ke Kamar-Naik ke Kasur, Akhirnya Telepon Damkar |
|
|---|
| Tangis Nenek Bhayangkara Pecah saat Kebumikan Sang Cucu di TPU Sei Temiang Batam |
|
|---|


Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.