Tak seperti santri lainnya. AS mengaku tidak mendapatkan barang dari mahar yang dia setor. Seperti cincin, gelang, foto dan kantong kain.
Dia juga sempat heran, lantaran dirinya tidak mendapatkan barang sebagai bukti santri Dimas Kanjeng.
Padahal dia sering mendengar, santri Dimas Kanjeng selalu dapat barang-barang di atas supaya uangnya bisa digandakan, bisa kembali berlipat-lipat.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, AS terus menagih kapan uangnya cair.
Kapan maharnya kembali beripat-lipat kepada temannya itu, yang juga merupakan koordinator padepokan tingkat daerah.
Namun, ujar AS, sang koordinator selalu beralasan belum cair.
Dimas Kanjeng masih melakukan proses dan ritual, sehingga uang belum cair.
Alasan lain koordinator, pencairan menunggu meledaknya resi gudang uang di sejumlah daerah.
Diperkirakan pencairan sebulan lagi, dua bulan lagi, atau tahun depan.
Namun, setahun lebih menunggu, AS akhirnya mulai curiga. Sebab, janji koordinator selalu meleset.
AS akhirnya meminta uangnya kembali pada awal tahun 2015. Permintaan itu tak langsung dipenuhi.
Berbekal ngotot dan pantang menyerah, koordinator tersebut mengembalikan uang AS Rp 3,5 juta.
“Untung uang saya kembali. Mungkin karena dia teman saya sehingga uang saya dikembalikan.
Sekarang saya tidak percaya sama padepokan itu. Mungkin Allah memberikan hidayah. Saya saat ini menjalan hidup biasa saja, mencari rezeki halal dengan bekerja yang baik,” katanya.
Ditanya apakah percaya Dimas Kanjeng melakukan penipuan, AS mengaku percaya. Sebab, dia sudah ditangkap polisi.
Menurut dia, polisi tidak sembarangan menetapkan seseorang menjadi tersangka.