Beliau adalah tokoh yang berjuang menyebarkan agama Islam di wilayah Pantura. Kiai Kafiluddin kemudian membangun masjid di wilayah Desa Menduran pada tahun 1700-an.
Masjid kuno yang sempat direnovasi itu kini masih berdiri kokoh. Hingga kini, banyak masyarakat dari berbagai penjuru berziarah ke makam tokoh pejuang agama Islam itu di Desa Menduran.
"Mbiyen pas cilik, yen lali salat opo ngaji, mesti diciweli wong tuwoku. (Saat kecil, ketika lupa salat dan mengaji, pasti dicubiti orangtua saya-Red)," tutur Mbah Satiyah.
"Pas wis gede nganti saiki, yen telat salat opo ngaji, mesti yen turu aku diimpeni jin sing ngamuk karo aku. Makane aku emoh ninggalke. (Ketika remaja hingga saat ini, saat terlambat salat dan mengaji, selalu saja bermimpi didatangi jin yang memarahi saya. Makanya saya tak mau meninggalkan ibadah," sambung Satiyah.
Suami Satiyah, Mat Kahar sudah lama meninggal dunia sejak anak-anaknya masih kecil. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai enam anak, dua di antaranya sudah meninggal dunia. Satiyah mempunyai empat saudara kandung yang semuanya pun sudah tiada.
"Kalau dengar azan, langsung salat. Salat lima waktu tak mau telat, bahkan tahajud juga dijalani. Ibu itu selalu menasihati kami supaya rajin ibadah. Untuk makan tak pilih-pilih. Apapun di meja dimakan. Sukanya ketela rebus dan minum kopi. Alhamdulillah, ibu tidak pernah sakit. Sejak dulu memang ikut saya," terangnya.
Disinggung berapakah umurnya, Mbah Satiyah pun menjawab tidak tahu. Tetapi, jelas diingatannya, ia pernah melewati masa-masa suram saat penjajahan Belanda di Indonesia.
Mbah Satiyah pun berulang kali terlihat marah saat memori otaknya kembali diputar tentang kekejaman tentara Belanda. Mbah Satiyah menyebut serdadu Belanda kala itu dengan istilah 'Kompeni Ijo'.
"Umurku piro aku rak ngerti. Sing rak iso lali, aku mbiyen tau digebuki Kompeni Ijo. Aku karo perawan-perawan sering ndelik ning sawah yen eneng Kompeni Ijo. Rak nduwe toto. Yen kecekel yo dianiaya.
(Saya tidak tahu berapa umur saya. Tapi yang tidak bisa saya lupa, saya pernah dianiaya tentara Belanda. Saya dan perawan-perawan sering bersembunyi di sawah saat tentara Belanda datang. Tak punya aturan. Karena kalau tertangkap ya dianiaya-Red)," katanya.
Logat Jawa begitu kental terlontar dari bibirnya yang menua, karena memang Mbah Satiyah tak bisa berbahasa Indonesia.
"Anak'e Kiai Khafiludin, aku yo kenal. Enak ki wong saiki, rak eneng perang. Ayo podo rajin ibadah. Ojo podo padu, kabeh kuwi sedulur. (Anaknya Kiai Khafiludin, saya kenal. Enak itu orang sekarang, tidak ada perang. Mari beribadah yang rajin. Jangan saling menghujat, semua itu saudara-Red)," lanjut Mbah Satiyah.
Anak kelima Satiyah, Sukayah (53), mengatakan, ibundanya itu melahirkan enam orang anak termasuk dirinya. Urutannya mulai dari Sumarti, Rebi, Jumadi, Kaswadi, Sukayah, dan Kaswati.
Rebi dan Jumadi sudah meninggal dunia. Sementara cucu Mbah Satiyah berjumlah 20 orang, dan cicitnya berjumlah 40 orang.
"Anak pertamanya yang tinggal jauh berusia sekitar 90 tahun. Kakak saya itu masih hidup, tapi sakit-sakitan dan pikun. Umur ibu itu perkiraan kami sekitar 120-an tahun. Kami pernah berkumpul dan membahasnya.