Prinsip yang sama juga berlaku bagi kita saat ini. Allah tidak hanya melepaskan kita dari hukuman dosa, tetapi Ia menghendaki kita untuk hidup dalam rencana-Nya, beribadah kepada-Nya, dan membawa jiwa-jiwa untuk diselamatkan.
4. Musa Taat kepada TUHAN dan Menjalankan Apa yang TUHAN Perintahkan
(Imamat 8:4; Bilangan 7:1; 11:24).
Dari ketiga ayat yang kita baca di atas, jelas sekali pola ketaatan Musa: dia menerima perintah/firman, dia sampaikan kepada orang banyak, dan memastikan perintah/firman itu dilakukan dan diselesaikan dengan baik.
Pola ini bukan hanya dalam ketiga ayat itu saja, tetapi menjadi ciri khas kepemimpinan dan gaya hidup Musa. Di dalam dunia pekerjaan sehari-hari, seorang bawahan yang dengar-dengaran kepada majikannya dan melakukan semua yang diperintahkan dengan baik, ia akan semakin mendapat perkenanan majikannya dan mendapatkan kesempatan lebih banyak untuk berhadapan dengan majikannya tersebut.
Terlebih lagi dengan TUHAN yang begitu mengasihi kita, Dia tentu akan berkenan kepada orang yang dengar-dengaran, taat, melakukan serta menyelesaikan apa yang Ia firmankan.
5. Musa hanya bertindak kalau TUHAN memerintahkannya (Bilangan 9:15-23; Keluaran 13:21-22).
Dalam berbagai kesempatan, kecuali satu peristiwa, Musa hanya mau bertindak jika memang TUHAN yang perintahkan. Sikap ini bukan berarti Musa adalah pribadi yang tidak percaya diri atau tidak mau bertanggung jawab, sebaliknya merupakan sikap penundukan diri yang luar biasa kepada TUHAN, yaitu dengan menempatkan TUHAN sebagai pemimpin utama atas bangsa Israel dan Musa hanyalah hamba-Nya. Karakter penundukan diri kepada TUHAN ini mengangkat Musa semakin tinggi dalam posisi kepemimpinannya.
6. Musa selalu menginginkan penyertaan TUHAN di mana pun Ia berada. Ia lebih memilih berada di padang gurun bersama TUHAN daripada ada di tanah perjanjian namun tidak berjalan bersama TUHAN (Keluaran 33:1-5, 12-17).
Ketika bangsa Israel melakukan penyembahan kepada patung lembu emas dan mengklaim patung tersebut sebagai allah yang telah membebaskan mereka dari Mesir, tindakan itu begitu menyakitkan TUHAN dan membuat-Nya marah (Keluaran 32:1-35).
TUHAN memutuskan bahwa Ia tidak akan berjalan bersama Israel ke Tanah Perjanjian, dan menyuruh malaikat yang menuntun mereka, tetapi Musa menolak untuk disuruh berangkat dari padang gurun Sinai ke Tanah Perjanjian jika bukan TUHAN sendiri yang memimpin dia dan bangsa Israel.
Sikap seperti ini merupakan hal yang luar biasa. Musa menunjukkan bahwa bagi dia penyertaan TUHAN; bukan berkat TUHAN, adalah segala-galanya.
7. Musa menginginkan hadirat TUHAN dengan segala risiko (Keluaran 33:18-23).
Masih dalam percakapan Musa dengan TUHAN, dalam Keluaran 33:18, Musa ingin melihat TUHAN di dalam kemuliaan-Nya. Ini adalah permintaan yang sangat berisiko oleh karena keselamatan karena karya salib Kristus belum terjadi, pembenaran (justification) belum terjadi, sehingga siapa pun berisiko mati kalau melihat TUHAN dalam kemuliaan-Nya (ayat 20).
Namun keinginan Musa ini sangat sejalan dengan karakter TUHAN yang sangat ingin dekat dengan umat-Nya. Oleh karena itulah, oleh kasih karunia-Nya, TUHAN mengatur sedemikian rupa sehingga Musa dapat melihat sekelibat sosok-Nya, tetapi tidak wajah-Nya.
Permintaan yang sangat dalam ini menjadi pertanyaan bagi semua umat TUHAN di segala masa: sejauh apa kita menginginkan hadirat TUHAN? Seberapa jauh kita ingin ada dan melihat kemuliaan-Nya?
Tommy Tenney dalam bukunya “God Chaser” (1998) menuliskan bahwa jika kita ingin benar-benar melihat TUHAN, kita harus siap mati: mati atas keinginan duniawi, mati atas hasrat dosa dan hidup bagi Kristus. Paulus menjelaskan hal ini dalam Roma 6:1, Galatia 2:20, Filipi 1:21 dan Filipi 3:13-14.