BATAM, TRIBUNBATAM.id - Sembari membuka pintu ruangannya, wanita berkerudung hitam itu tersenyum dan menawarkan minum.
Ia merupakan seorang Pendamping Korban Perlindungan Perempuan dan Anak UPTD PPA Provinsi Kepri untuk shelter Batam, Tetmawati Lubis.
Wanita yang lahir di Buayan, 7 Juni 1971 ini akrab disapa dengan Bu Butet.
Ia tampak senang menceritakan pengalamannya sebagai seorang pendamping korban Perlindungan Perempuan dan Anak.
Berawal dari Ibu Rumah Tangga (IRT) biasa, Tetmawati bergabung dengan Ibu-Ibu PKK dan Posyandu karena dirinya suka dengan kegiatan-kegiatan sosial.
Apalagi kegiatan Posyandu berhubungan dengan Ibu dan Anak.
"Di Posyandu itu lingkup yang kecil. Karena saya RT juga, jadi saya mengenal dan hafal juga warga saya. Jadi kalau ada 2 kali tak datang, saya datangi ke rumahnya. Ternyata ribut dengan suaminya sampai babak belur. Nah awalnya darisitu. Banyak kejadian-kejadian," ujar Tetmawati.
Baca juga: BESOK, Minggu (18/4/2021) Sejumlah Wilayah Kepri Diperkirakan Hujan Disertai Petir
Ia menceritakan kasus pertama yang ia hadapi adalah pelecehan seksual anak yatim yang tinggal bersama bibinya pada 2010 lalu.
Kemudian, si korban ikut bibinya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah majikannya.
"Anak itu usianya 10 tahun. Kemudian disetubuhi oleh majikannya. Si korban diancam, kalau mengadu dia akan diusir," ujarnya.
Kejadian itu terungkap saat anak tersebut mengigau dan menangis. Dan anak itu dibawa kerumahnya. Tetmawati menolong korban dan melaporkan kejadian tersebut ke Dinas Pemberdayaan Perempuan.
Awalnya ia memang tak mengetahui untuk melapor ke pihak kepolisiannya. Makanya dirinya hanya melapor kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan.
"Sejak saat itu saya berfikir, kalau bukan saya yang tangani kasus ini, mereka mengadu ke siapa lagi. RT RW setempat saja tak berani juga menghadapinya. Waktu itu posisi saya masih kader posyandu. Karena itu berhasil, orang-orang malah tau saya spesialis itu," ujarnya.
Setelah mendampingi beberapa kasus, ia ditarik di Kelurahan bagian pelaporan.
Setahun kemudian, ditarik ke Kantor Kecamatan untuk menerima laporan kasus pelecehan seksual, KDRT, dan lain sebagainya dan bekerja selama 3 tahun.
"Waktu Pak Rudi (Wali Kota Batam) dilantik saya masuk di Dinas TP2nya. Saya sempat bingung kerja saya apa. Ternyata seperti yang saya jalani selama ini. Sempat saya diragukan karena hanya basic kader Posyandu. Tapi SK saya sudah keluar dan saya harus bertanggungjawab," katanya.
Selama ini, kata Tetmawati, sebelum adanya shelter, korban dirawat di rumahnya sendiri.
Diberikan makan, minum dan merawatnya sebelum proses hukumnya selesai.
"Biasa 3 hari sampai 4 hari. Tapi ada juga yang sebulan sampai suaminya kirim tentara, siapapun untuk menakut-nakiti saya," katanya.
Karena pekerjaan yang dilakukan Tetmawati tergolong ekstrim, suami, kelima anaknya, dan keluarga lainnya sempat tidak mendukung dengan pekerjaannya ini.
Namun Tetmawati tak berkecil hati niatnya untuk membantu orang lain.
"Alhamdulilah sekarang mereka mendukung. Kata-kata mereka sekarang, kami bangga punya ibu seperti ini," katanya.
Kesehariannya, sebelum difasilitasi mobil dinas dari Pemerintah Provinsi Kepri, Tetmawati mobilitas dengan angkutan umum, Damri dan ojek untuk mendatangi korban atau mengurus kasusnya.
Namun tak ada rasa takut, ia tetap bertekad untuk menolong korban sampai kasusnya selesai di pihak kepolisian.
"Kadang saya sering diteror juga. Tapi saya sangat senang, ketika seorang perempuan datang ke saya nangis-nangis, tapi pulang bisa tersenyum lagi," katanya.
Kasus yang paling terkesan adalah, Tetmawati pernah diancam seorang pengacara.
Hal itu setelah anaknya sedang dirawat dirumahnya lantaran terkena kekerasan oleh ayahnya sendiri.
Tetmawati mengakui sejak 2020 lalu trend kasus yang paling marak adalah pelecehan seksual. Apalagi ditengah anak-anak sering belajar online.
"Saya harap orangtua juga mengawasi," katanya.
Dalam pendampingan terhadap korban, Tetmawati harus berlaku dan bersikap seperti usia korban. Mulai dari anak-anak hingga dewasa.
"Jadi kalau bujuk anak-anak biar mau cerita kasus itu kita harus sabar. Kita ikuti kemauannya. Misalnya bermain, beli ice cream, digendong dan lainnya. Tapi harus ceritakan. Kalau sudah remaja dan dewasa sudah enak ceritanya. Walaupun kadang agak sulit juga apabila korban posisinya tertutup. Tapi saya tertantang disitu. Saya terus mencoba," paparnya.
Kalau kasus anak, Tetmawati mengaku harus mendekati orangtuanya terlebih dahulu. Dan disarankan pasca kejadian, anak-anak harus dibawa ke psikolog untuk menghilangkan trauma.
"Kadang mereka dengar suara laki-laki saja takut loh. Sampai mereka pegang tangan kita erat-erat," katanya.
Karir Tetmawati terus berjalan. Saat ini Tetmawati sudah bekerja di Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi Kepulauan Riau.
Bertugas di Shelter Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan Perempuan Anak (UPTD PPA) di Komplek Frensiana Blok B7 Botania, Kelurahan Belian, Batam Kota, Kota Batam.
Shelter ini menerima pengaduan kekerasan kepada anak dan perempuan, pendampingan terhadap kerban dan memberikan pelayanan seperti kesehatan dan memberikan shelter (rumah aman) bagi korban jika diperlukan.
"Alhamdulilah, sekarang saya diberikan 1 orang staff dan mobil dinas. Sehingga sangat memudahkan saya dalam menjalankan tugas," katanya.
Ia mengimbau jika ada perempuan yang sudah disiksa oleh suaminya bertahun-tahun, ia menyarankan jangan takut untuk melapor.
Boleh ke Shelter ataupun ke pihak kepolisian.
"Selama ini banyak wanita yang bertahan-tahan walaupun udah dikerasin sama suaminya," tuturnya.
Selain itu, ia juga bekerjasama dengan Polda Kepri. Salah satunya untuk pembuatan berita acara.
"Saya juga merasa senang. Lantaran Polda Kepri satu-satunya pilot project di Indonesia yang orang sipil bisa mendampingi korban," katanya. (TRIBUNBATAM.id / Roma Uly Sianturi)
*Baca juga Berita Tribun Batam lainnya di Google
Berita Tentang Batam