BATAM TERKINI

BURUH Batam Siap Turun ke Jalan, Tolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Alfitoni, Waketum PPEE FSPMI, sekaligus Ketua DPW Partai Buruh Kepri mengatakan, buruh menolak aturan baru dalam Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 karena dinilai bertentangan dengan Pergub.

BATAM, TRIBUNBATAM.id - Buruh Batam mengaku siap menggelar aksi turun ke jalan menolak Permenaker Nomor 5 Tahun 2023.

Meski aturan itu tidak diterapkan untuk semua industri, namun Permenaker tersebut dinilai bertentangan dengan peraturan Gubernur.

"Pembayaran upah minimun Kota, sudah ditetapkan melalui SK Gubernur di setiap Provinsi yang ada di Indonesia. Namun anehnya malah Kemenaker mengeluarkan Permenaker, yang jelas-jelas bertentangan dengan SK Gubernur," kata Alfitoni Waketum PPEE FSPMI, sekaligus Ketua DPW Partai Buruh Kepri, Jumat (17/3/2023).

Alfitoni menjelaskan, dalam SK Gubernur mengenai penetapan Upah Minimum Kota menegaskan bahwa setiap perusahaan wajib membayarkan upah sesuai dengan yang sudah ditetapkan melalui SK Gubernur.

"Bagi perusahaan yang tidak menjalankan SK Gubernur, undang-undang menegaskan bahwa hal tersebut merupakan pidana. Nah sekarang Permenaker membuat aturan perusahaan bisa membayar upah 75 persen. Dengan alasan perusahaan terdampak ekonomi global," kata Alfitoni.

Dia menegaskan, aturan tersebut sangat tidak masuk akal.

Baca juga: GEGER Transaksi Janggal Kemenkeu Hingga Rp 300 Triliun, DPR RI Singgung PPATK

"Kita sebagai buruh di Kepri, jelas menolak hal tersebut. Saat ini kita sedang berkoordinasi dengan pusat, untuk mengambil langkah yang akan kita lakukan," kata Alfitoni.

Dia menegaskan langkah-langkah yang mereka laksanakan yang pertama akan menggugat Permenaker tersebut, sesuai aturan yang berlaku.

Selanjutnya mereka juga akan melaksanakan unjuk rasa.

Alfitoni juga mengatakan, presiden mengeluarkan aturan bahwa pengusaha dilarang membayar upah pekerja di bawah upah minimum.

"Ini kenapa  Menteri mengeluarkan peraturan menteri membolehkan pengusaha memotong gaji pekerja nya 25 persen atau membayar upah 75 persen," kata Alfitoni.

Sebelumnya, di tengah upaya buruh di Indonesia memperjuangkan penolakan Omnibus Law dan undang-undang Cipta kerja, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Republik Indonesia justru mengeluarkan Permenaker nomor 5 tahun 2023.

Isi aturan dalam Permenaker itu cukup merugikan kalangan buruh.

Adapun isi dalam Permenaker nomor 5 tahun 2023 tentang pengaturan jam kerja dan juga upah bagi perusahaan padat karya yang berorientasi yang terdampak perubahan ekonomi global, bisa melakukan pengaturan waktu kerja yang disesuaikan dengan pembayaran Upah.

Penyesuaian waktu kerja sebagaimana dimaksud dilakukan tujuh jam sehari dan 40 jam seminggu.

Selanjutnya, penyesuaian juga bisa dilaksanakan dengan enam hari kerja dalam seminggu, delapan jam sehari dan 40 jam satu minggu.

Perusahaan industri padat karya tertentu berorientasi ekspor yang terdampak perubahan ekonomi global dapat melakukan penyesuaian besaran upah ekerja atau buruh dengan ketentuan upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh paling sedikit 75 persen dari upah yang biasa  diterima, atau dipotong sebesar 25 persen.

Adapun industri yang disebutkan dalam Permenaker tersebut yang terdampak ekonomi global yakni :

1. Industri tekstil dan pakaian jadi

2. Industri alas kaki

3. Industri kulit dan barang kulit

4. Industri furnitur, dan

5. Industri mainan anak.

Permenaker nomor 5 tahun 2023 ini di terbitkan dan ditetapkan oleh Kementerian ketenagakerjaan di Jakarta pada 8 Maret 2023.

Menanggapi hal tersebut Ketua FSPMI Kota Batam, Yafet Ramon, mengatakan, dikeluarkan Permenaker 5 tahun 2023 membuat kondisi buruh saat ini sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Ramon mengatakan, saat ini buruh sedang berjuang melakukan penolakan omnibuslaw cipta kerja, namun malah Menaker mengeluarkan aturan baru. 

Buruh Kota Batam pun mengecam keras dikeluarkannya Permenaker 5 Tahun 2023. 

Permenaker yang dikeluarkan menurut buruh sangat  bertentangan dengan UU serta PP yang sudah ditetapkan oleh pemerintah sendiri. 

Di samping itu, Permenaker tersebut tidak jelas dan rentan disalahgunakan oleh pengusaha untuk membayar upah murah. 

Selain itu, produk ekspor kurs yang digunakan adalah dolar atau euro, sedang upah buruh dibayar dengan rupiah.

Jika upah buruh dikurangi 25 persen, maka hal tersebut mengeksploitasi tenaga buruh.

"Dengan tegas kita menolaknya, meski aturan itu tidak menyangkut perusahaan manufacturing. Tetapi hal ini bisa disalahgunakan oleh perusahaan yang ada di luar kawasan," katanya.

Di samping itu aturan tersebut juga menimbulkan kecemburuan sosial dengan perusahaan tekstil lokal, contoh yang hasil produksinya beredar di Indonesia. (TRIBUNBATAM.id/Ian Sitanggang)



 

Berita Terkini