Begitulah ranumnya bunga-bunga karya yang tersebar di era kesusasteraan Riau yang hidup pada zaman Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang.
Budayawan Provinsi Kepuluan Riau (Kepri), Rendra Setyadiharja mengungkap jika Teuku Iskandar (1996) kemudian mencatat di dalam bukunya berjudul Kesusasteraan Klasik Melayu Sepanjang Abad bahwa di era kesusasteraan Riau lebih kurang terdapat 21 pengarang sejak kurun 1779 hingga 1917.
Dalam sebuah kajian lainnya yang ditulis oleh Hafiz Zakariya dan Wiwin Oktasari (2017) yang berjudul From Riau to Singapore: A Content Analysis of the Rushdiah Club’s Major Published Writings (ca. 1890-1950) menjelaskan bahwa, di akhir abad ke-19 juga menjadi saksi berdirinya sebuah kelompok pengkajian yang dikenal dengan nama Rushdiah Club di Pulau Penyengat.
Baca juga: Gubernur Kepri Ansar Ahmad di Pulau Penyengat Minta Daerah Genjot Promosi Wisata
“Bisa dikatakan bahwa Rushdiah Club merupakan organisasi sastra Melayu formal pertama yang didirikan di Indonesia,” ucapnya dalam keterangan yang diterima TribunBatam.id, Kamis (1/2/2024).
Organisasi ini kemudian menyatukan para intelektual dan cendekiawan di Kesultanan Riau-Lingga untuk terlibat dalam berbagai jenis kegiatan sastra dan intelektual.
Selain itu, para intelektual yang tergabung dalam Klub Rushdiah kemudian menghasilkan karya-karya sastra terbaik pada masa itu, yang kemudian menjadi terkenal di dunia Melayu-Indonesia secara keseluruhan.
Klub Rushdiah menggunakan kegiatan percetakan untuk menyebarkan ide-ide mereka dan untuk mengekspresikan perlawanan mereka terhadap kolonialisme Belanda melalui cara-cara tanpa kekerasan.
Dalam penelitian Hafiz Zakariya dan Wiwin Oktasari (2017) kemudian menyebutkan senarai nama-nama penulis Riau yang sebagiannya merupakan anggota Rushdiah Club seperti Raja Ali Haji, Muhammad Said Ibni Haji Sulaiman.
Baca juga: Gubernur Kepri Ansar Ahmad Puji Pj Walikota Tanjungpinang Hasan di Pulau Penyengat
Lalu Sayyid Shaykh al-Hadi, Raja Haji Muhammad Said Ibni Raja Muhammad Tahir, Raja Ali Kelana, Abu Muhammad Adnan atau Raja Abdullah ibni Raja Haji Hasan, Raja Aisyah Sulaiman, Ahmad ibni Yaakob al-Johori, Raja Khalid Hitam, Raja Ahmad Tabib, dan Raja Jumaat ibni Raja Said.
“Karya-karya yang pernah hadir di era itu antara lain karya dalam bidang islami, tasawwuf dan tarikat, syair, puisi, dan non fiksi yang terdiri dari karya-karya dalam bidang sosial, sejarah dan politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesehatan, hukum, dan karya-karya umum (Zakaria dan Oktasari, 2017),”sebutnya.
Dengan senarai tersebut dapat disimpulkan wajar saja jika sebutan “Taman Para Penulis” itu disematkan pada Kawasan Kesultanan Riau-Lingga-Johor-Pahang dan Daerah Taklukkannya pada era itu.
Kesultanan ini bukan saja mewarisi sebuah peradaban Melayu yang kini dikenal dan dipelajari oleh generasi masa kini, akan tetapi warisan yang tak terhingga nilainya yaitu sebuah ilmu pengetahuan hasil dari tradisi kepenulisan dan kepengarangan.
Namun bagaimana riwayat kepenullisan di masa kini?
Baca juga: Ini Fitur Inovatif Aplikasi Travelin Buat Penumpang Pesawat di Bandara Raja Haji Fisabilillah
Sepertinya mata air kepenulisan itu tidak kering hingga saat ini dan terus mengalir. Banyak sastrawan dan penulis yang kemudian meneruskan para penulis-penulis pada era kesusateraan Riau.
Maka tersebutlah nama-nama penulis-penulis gemilang seperti Raja Haji Muhammad Yunus, Raja Hamzah Yunus, Hasan Junus, Tusiran Suseno, B.M Syam, Bhinneka Surya.