Penulis: Dr ENDRI SANOPAKA, SSos, MPM
BATAM, TRIBUNBATAM.id - Pasca pemilihan umum 2024 yang lalu, kita semua seperti tersentak dengan fenomena sunami “Money Politic” yang selama ini telah ditetapkan sebagai salah satu bentuk perbuatan curang dalam pemilihan.
Keberadaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dibentuk secara permanen oleh negara merupakan respon terhadap praktek-praktek tidak baik dalam sebuah hajatan pesta demokrasi, terutama praktek “Money Politic”.
Pada pemilu 2024 yang lalu, semua menjadi tidak berdaya menghadapi serangan praktek jual beli suara (Vote Buying) untuk sebuah upaya memperoleh kursi sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif.
Meskipun hajatan demokrasi berlangsung secara serentak, di antara pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, namun praktek vote buying dilakukan dengan cara yang berbeda.
Baca juga: Kepala Sekretariat Bawaslu Kepri Ingatkan ASN Agar Junjung Tinggi Netralitas Pilkada
Mereka yang bertarung merebut kursi legislatif menghitung dengan cermat target suara yang diinginkan untuk memperoleh angka minimum jumlah suara yang harus diperoleh bagi satu kursi legislatif.
Meskipun tidak semuanya bisa tepat sasaran, namun dianggap paling efektif untuk dapat membeli kursi legislatif dibandingkan dengan jualan ideologi dan program yang ditawarkan oleh partai politiknya.
Sedangkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden, target dari masing-masing pasangan calon adalah menang dalam satu putaran. Itu dengan sasaran perolehan suara di atas lima puluh persen, maka cara membeli suara rakyat tidak hanya dengan membayar secara tunai, tapi juga membangun citra diri sebagai pasangan yang paling simpatik dan layak untuk memimpin Indonesia lima tahun mendatang.
Perdebatan soal baik buruknya money politic menjadi tidak menarik lagi bagi para pemilih. Bahkan dianggap sebagai hal biasa yang memang harus dilakukan oleh mereka yang menginginkan duduk di kursi legislatif.
Penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu yang selama ini menjadikan Money Politic sebagai kejahatan pemilu paling utama, seperti tidak berdaya untuk meneruskan perjuangannya melawan money politic. Karena kehilangan dukungan partisipatif dari pemilih, yang sebagian besar telah terpapar dengan praktek “Vote Buying” yang masif sebagaimana saat Covid-19 menyerang masayarakat dunia.
Semua pihak dibayangi ketakutan saat hajatan pilkada serentak bulan November 2024 mendatang, serangan vote buying akan kembali mewabah di kalangan pemilih, dan akhirnya mempengaruhi pada persepsi pemilih bahwa untuk menjadi pemimpin daerah nanti harus orang yang punya banyak uang. Karena dianggap mampu untuk membeli suara pemilih.
Baca juga: Melalui Program Pengawasan Partisiptif, Bawaslu Kepri Ajak Masyarakat Awasi Pilkada Kepri 2024
Jika persepsi ini terus dibiarkan, dan kemudian mewabah dan merusak pemikiran dari pemilih, maka menjadi sia-sia cita-cita kita saat menginginkan salah satu agenda reformasi adalah memilih langsung pemimpin yang akan melayani rakyat dan dapat menyejahterakan rakyat.
Namun ternyata kita pada akhirnya akan kembali membentuk sebuah sistem negara yang dikuasai oleh oligarki, dan bisa mengarah kepada kembalinya sistem feodalistik yang diperintah oleh seorang raja.
Konsep negara feodalistik adalah negara yang pimpin oleh seorang Raja yang pada masa lalu merupakan orang yang dianggap memiliki kesaktian dan juga kekayaan untuk menguasai sumber daya, termasuk membeli harga diri manusia menjadi budak yang diperlakukan dengan cara yang tidak manusiawi.
Oleh karenanya, Bawaslu perlu melakukan desain ulang atas konsep pengawasan yang dilakukannya. Tidak semata-mata hanya berpedoman pada seperangkat aturan formal yang memuat perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam pilkada.