UPAH PEKERJA

Analisa Pengamat Ekonomi di Batam terkait MK Wajibkan Lagi Upah Minimum Sektoral

Editor: Dewi Haryati
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto Rona Tanjung,S.Kom.,M.Si, Dosen Universitas Riau Kepulauan di Batam. Rona beri analisa terkait putusan MK soal Upah Minimum Sektoral (UMS)

BATAM, TRIBUNBATAM.id - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghidupkan kembali Upah Minimum Sektoral (UMS) tentunya mengharuskan penyesuaian di berbagai sektor.

Putusan ini tertuang dalam putusan MK Nomor 168/PUU-XXII/2024 yang mengabulkan sebagian tuntutan sejumlah serikat pekerja soal isu ketenagakerjaan di dalam Undang-undang (UU) Ciptaker teranyar. 

"Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 ... bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai, termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota'," tulis MK dalam putusannya.

Akademisi Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam yang juga pengamat ekonomi, Rona Tanjung menganalisis dampak putusan ini terhadap dinamika ketenagakerjaan dan ekonomi di Batam.

Menurut Rona, implementasi UMS berpotensi meningkatkan beban operasional pelaku usaha, terutama pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 

"UMS cenderung ditetapkan lebih tinggi daripada Upah Minimum Kota (UMK) karena berkorelasi dengan kompleksitas dan risiko pekerjaan pada sektor tertentu. Di Batam, sektor industri seperti elektronik dan galangan kapal umumnya menerapkan UMS yang lebih tinggi untuk mendorong tersedianya tenaga kerja berkualitas," ujar Rona kepada Tribunbatam.id, Selasa (5/11/2024).

Baca juga: Apindo Kepri Tanggapi Putusan MK Soal UU Cipta Kerja, Ketentuan Upah Jadi Atensi

Lebih lanjut menurutnya, meskipun diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup pekerja, UMS di Batam memiliki sejumlah potensi kelemahan.

"Peningkatan beban biaya operasional berpotensi menyulitkan UMKM dalam memenuhi standar upah. Kompleksitas proses penetapan UMS juga dapat menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha dan pekerja," katanya.

Ia mengatakan, UMS yang tinggi pada sektor tertentu dapat memicu efisiensi tenaga kerja oleh pelaku usaha, baik melalui pengurangan jumlah pekerja maupun penerapan otomatisasi.

 "Pada akhirnya berpotensi meningkatkan angka pengangguran," ujar Rona.

Soal pengangguran, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Batam pada 2021 mencapai 11,64 persen.

Angka tersebut mengalami penurunan menjadi 9,56 persen pada 2022 dan menjadi 8,14 persen pada 2023.

Karena itu, Rona berharap implementasi UMS perlu dikelola dengan cermat agar tidak memperburuk kondisi ketenagakerjaan yang ada di Batam. (AMINUDDIN/TRIBUNBATAM.id)

Baca juga Berita TribunBatam.id lainnya di Google News

Berita Terkini