Keturunan Tionghoa & India Dilarang Punya Tanah di Yogyakarta, Begini Kisah 5 Warga Ini Menyikapinya

Warga keturunan, terutama dari etnis Cina dan India, tetap tidak berhak memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Sri Sultan Hamengkubuwono X di Bangsal Kencana, Jumat (6/3/2015) mengeluarkan sabdatama. 

TRIBUNBATAM.id- Dua putusan pengadilan, surat untuk dua presiden serta dua rekomendasi badan negara, telah diketok dan diteken.

Isinya, warga keturunan, terutama dari etnis Cina dan India, tetap tidak berhak memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Saya sudah tahu konsekuensinya, tapi saya merasa aturan ini tidak benar," kata Handoko mengutarakan hal itu menggebu-gebu, seperti dikutip TRIBUNBATAM.id dari bbc Indonesia, Jumat (6/1/2018).

Handoko adalah seorang warga Yogyakarta keturunan Cina yang sedang memperjuangkan kesetetaraan ihwal pemilikan tanah di provinsi itu.

"Di Jakarta, gubernur digugat dan bisa masuk penjara. Di sini sepertinya berat sekali. Kalau kita tahu kejahatan, tapi diam saja, siapa yang mau berjuang?" katanya.

Tanah dan bangunan di mana Handoko berpraktik sebagai advokat itu milik keluarganya, namun tanpa sertifikat hak milik (SHM), melainkan akta hak guna bangunan (HGB).

Badan Pertahanan Nasional (BPN) Yogyakarta menggolongkan Handoko dan keluarganya sebagai keturunan Tionghoa alias nonpribumi, istilah yang dihapus oleh UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Sebelumnya, Instruksi Presiden 26/1998 lebih dulu melarang pejabat negara menggunakan istilah pribumi dalam perumusan kebijakan pemerintah.

Handoko adalah satu dari sedikit keturunan Tionghoa yang secara terang-terangan mempersoalkan larangan warga keturunan mempunyai tanah di Yogyakarta.

Handoko bukan orang pertama yang menggugat Instruksi Wakil Kepala Daerah DIY tahun 1975 tentang penyeragaman kebijakan pemberian hak atas tanah kepada WNI nonpribumi.

Ia memperkarakan aturan itu ke Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Yogyakarta. Dua upaya hukum tersebut gagal.

Pada tahun 2001, pengusaha Tionghoa bernama Budi Setyagraha lebih dulu memperkarakan larangan itu. Upayanya juga ditolak Mahkamah Agung.

Sejumlah warga keturunan Tionghoa menolak diwawancara perihal larangan memiliki tanah.

Ada yang bersedia, tapi tak ingin identitasnya disebut. Alasan mereka dari soal keamanan pribadi atau keluarga hingga masa depan jabatan dan usaha.

"Mempertimbangkan posisi saya di berbagai lembaga, terlalu berisiko bagi lembaga yang saya pimpin bila saya menjadi narasumber," demikian salah satu jawaban saya terima.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved