Sedihnya Kisah Pasien di Ambon Ini. Minta Kaki Diamputasi Hingga Terusir dari Rumah Sakit

Ibu muda ini hanya bisa menaruh kedua tangan di atas kepalanya sambil sesekali mengerang kesakitan yang terus menjalar ke tulang kaki hingga tubuhnya

Editor: Mairi Nandarson
kompas.com/Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty
Alwiyah Patty penderita infeksi tulang hanya bisa terbaring lesu sambil ditemani suaminya Azis Hadeo di sebuah kamar kontrakan keluarganya di kawasan Batu Merah Kecamatan Sirimau Ambon, Minggu (30/10/2016). Harapannya untuk mendapatkan kesembuhan di rumah sakit pupus setelah pasien BPJS ini diminta keluar dari rumah sakit tempatnya dirawat pada Jumat pekan lalu 

Dokter Wijaya yang menanganinya di RSUD Haulussy juga meminta Alwiyah agar membeli salep untuk penyembuhan kakinya di apotek. Salap itu seharga Rp 200.000 lebih.

Menurut Alwiyah, saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara, dokter Wijaya juga meminta dokter ahli bedah untuk tidak melakukan operasi.

Padahal, ia mengaku kondisi kakinya sudah sangat parah, bahkan dia sendiri dapat merasakan ada tulang kakinya yang tidak lagi tersusun secara beraturan.

“Jadi saat itu, dokter bedah yang menangani saya meminta berkonsultasi dengan dokter ahli tulang, ternyata yang datang adalah dokter Wijaya, saat itu dia langsung bilang, ini pasien saya, tidak perlu dioperasi cukup berobat di luar dan pakai salep saja,” ujarnya.

Kartu BPJS tak berguna

Meski terdaftar sebagai pasein BPJS, namun selama menjalani perawatan di Rumah Sakit Bhayangkara, Alwiyah dan suaminya harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah.

Tak pelak, selama Awliyah berada di rumah sakit, sang suami membanting tulang untuk mendapatkan uang demi keperluan pengobatan istrinya tersebut.

“Saya juga heran, padahal istri saya menggunakan BPJS, tapi jujur saja selama berobat di rumah sakit kita sudah mengeluarkan uang hingga lebih dari Rp 3 juta, itu belum terhitung biaya obat-obat yang saya beli saat istri saya masuk di RSUD Haulussy,” ujar Azis, sang suami.

Jumlah uang yang dikeluarkan itu, kata Azis, untuk membeli sejumlah obat yang diminta pihak rumah sakit, serta periksa darah selama dua kali.

Karena tidak punya cukup uang, Azis terpaksa meminjam uang kepada keluarganya yang ada di Ambon.

Waktu itu, kata Azis, dia sempat bingung dengan pelayanan rumah sakit. Pasalnya, meski memiliki kartu BPJS mandiri, dia masih saja mengeluarkan uang hingga jutaan rupiah untuk kesembuhan istrinya.

Karena itu dia sempat berusaha untuk menemui pihak BPJS, namun upayanya itu gagal.

“Saat itu saya ingin mengadu ke BPJS, namun perawat di rumah sakit itu bilang kepada saya nanti ketemu dengan kepala ruangan saja, dia bilang nanti seluruh nota pembelian obat disimpan sebagai bukti,” katanya.

Azis mengaku hingga kini uang pengganti yang diharapkan kembali tak juga didapat.

Pihak rumah sakit beralasan bahwa pihak BPJS belum menyetorkan uang ke rumah sakit tersebut, sehingga dia diminta untuk menyimpan nota pembelian obat.

”Perawat itu bilang BPJS belum setor uangnya, makanya saya diminta menyimpan nota yang ada.

Saya hanya diminta untuk menitipkan nomor telepon,” kata dia.

Saat ini, kata Azis, dia hanya bisa pasrah melihat kodnisi istrinya.

Dia mengaku sudah lelah bolak-balik ke rumah sakit karena selalu diperlakukan tidak manusiawi. Apalagi, saat ini dia tidak punya uang untuk biaya perawatan lagi.

“Mau gimana lagi kita sudah bingung entah mau ke rumah sakit mana, kita juga apakah kartu BPJS ini masih berguna atau tidak,” katanya dengan nada kecewa.

Pihak keluarga, kata Azis, menginginkan agar kaki istrinya dapat diamputasi.

Sebab, bakteri yang ada di tulang kaki istrinya itu akan menyebar kemana-mana.

Mereka ikhlas kaki Alwiyah yang tersisa diamputasi karena tidak ingin melihat dia terus menderita.

Dia mengaku setelah kaki kanan Awliyah diamputasi pada tahun 2012 silam, istrinya tidak lagi merasakan kesakitan. Namun kini, penyakit itu kembali menjalar ke kaki kiri istrinya.

“Kasihan saya tahu betul penderitaannya, dan kami ingin kakinya diamputasi karena kaki sebelah kanan yang diamputasi juga tidak sakit lagi.

Kami hanya ingin penyakitnya tidak menjalar kemana-mana,” harapnya.

Jawaban BPJS

Secara terpisah, Kepala BPJS Maluku Asri Rahmat Ritonga kepada Kompas.com mengatakan, pihaknya telah menindaklanjuti persoalan tersebut dengan berkoordinasi dengan manajemen Rumah Sakit Bhayangkara dan juga dokter yang menangani pasien tersebut.

“Kami sudah menindaklanjuti kasus ini, kami telah berkoordinasi dengan manajemen RS Bhayangkara.

Setelah itu kami juga telah meminta penjelasan dari dokter Wijaya,” ungkar Rahmat, Senin (31/10/2016).

Rahmat mengatakan, berdasarkan penjelasan dari dokter Wijaya, keputusan dokter menolak amputasi kaki kiri Alwiyah karena tidak ada indikasi medis yang memungkinkan dilakukan operasi tersebut.

“Jadi kami telepon ke dokter Wijaya dan beliau menjawab bahwa pasien ini tidak ada indikasi medis untuk dilakukan amputasi, yang memintakan kan pihak keluarga, dan itu ada prosedurnya,” terangnya.

Pihak BPJS sendiri, kata dia, tidak bisa memaksa dokter atau pihak rumah sakit untuk mengikuti keinginan pasien.

Sebab, tanggung jawab pelayanan medis berada di tangan dokter yang menanganinya.

“Karena tindakan apa yang akan diambil dan dibutuhkan itu ada pada dokter. Jadi, pasien memang tidak berhak untuk memaksakan itu,” ujarnya.

Menurut Rahmat, jika amputasi dilakukan karena keinginan keluarga pasien, maka ketentuannya pasien tersebut tidak akan terjamin dalam BPJS.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28, jelas Rahmat, bahwa tindakan yang dijamin dalam BPJS Kesehatan adalah sesuai dengan indikasi medis.

“Jadi kalau atas permintaan sendiri itu sebetulnya tidak ditanggung oleh BPJS kesehatan karena tidak ada indikasi medisnya.

Kami mempercayakan semuanya kepada dokter. Kami juga tidak bisa memaksa dokter untuk lakukan saja amputasi sesuai permintaan pasien,” terangnya.

Terkait perlakuan pihak rumah sakit yang dinilai merugikan pasien, Rahmat menyatakan hal itu karena berdasarkan petunjuk dokter tersebut, bahwa kondisi pasien tidak harus diamputasi.

“Alasan pihak rumah sakit juga sama, mereka khawatir kalau terjadi sesuatu yang dituntut mereka,” katanya.

Untuk biaya pengobatan sebesar Rp 3 juta lebih yang ditanggung pasien, Rahmat mengatakan pihaknya segera membayarkannya dalam waktu dekat.

Menurutnya, biaya yang dikeluarkan pasien BPJS harusnya tidak perlu terjadi karena telah dijamin.

“Paling lambat seminggu biaya yang dikeluarkan pasien itu akan diganti.
Kami juga sudah koordinasi dengan manajemen rumah sakit,” katanya.

Sementara itu, dokter Wijaya yang dikonfirmasi Kompas.com tidak mau berkomentar terkait masalah tersebut.

”Saya tidak mau, Anda bikin surat resmi dulu, masukan ke saya, baru akan saya tanggapi,” ujarnya.(Kontributor Ambon, Rahmat Rahman Patty)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved