Nasib Pengungsi Rohingya di Bangladesh Memprihatinkan. Mandi Sekali Seminggu
Letak geografis yang hanya dipisahkan Sungai Naf menjadikan Banglades sebagai salah satu tujuan utama pelarian orang-orang Rohingya
Khadija (25), punya dua putra masing-masing berusia tiga tahun kelahiran Myanmar, dan putra bungsunya, tujuh bulan, lahir di barak ini tepat 15 hari hari setelah tiba di Banglades pada November 2016, menyusul operasi militer di negara bagian Rakhine pada bulan sebelumnya.
"Air bersih terbatas. Setiap hari kami dapat dua ember air, jika ada cukup air maka anak-anak saya bisa mandi.
Saya mandi sekali seminggu dan membawa air dari tempat penampungan yang agak jauh. Kalau suami sedang di rumah maka ia mengambil air," katanya.
Akses kesehatan
Khadija berbagi barak dengan bibinya yang juga punya anak berkebutuhan khusus.
Praktis di barak ini hanya dihuni perempuan dan anak-anak karena suami Khadija buruh di kota dan tidak setiap minggu pulang.
Keberadaan anak kecil tampak di mana-mana, sebagian tak berpakaian dan sebagian berpakaian lusuh tanpa alas kaki pula walaupun lingkungan tempat tinggal becek.
Keputusan politik Myanmar, yang mayoritas penduduknya Buddha, sejauh ini belum ada terkait pemecahan status Rohingya.
Di Myanmar, kelompok minoritas Rohingya itu tidak diakui sebagai warga negara tetapi dianggap sebagai pendatang asal Bangladesh meskipun mereka telah hidup di Myanmar secara turun temurun.
Myanmar tidak mengenal istilah Rohingya dan menggunakan sebutan orang-orang Bengali.
Di Banglades, mereka juga tidak dianggap sebagai warga negara.
Menurut Bank Dunia, negara itu baru saja masuk kategori pendapatan menengah ke bawah dengan pendapatan per kapita antara 1.006 dollar dan 3.955 dollar AS atau sekitar Rp 13,5 juta hingga Rp 53 juta, status yang sudah diduduki Indonesia sejak 1990-an.
Kondisi ekonomi itu tak membantu memudahkan pemerintah setempat dalam mengurus pengungsi, kata Bupati Cox's Bazar, Mohammad Ali Hossain.
"Negara kami tidak kaya. Rata-rata penghasilan kami sangat rendah tetapi kami kesulitan mengubah nasib kami. Sumber daya di daerah-daerah terutama Cox's Bazar, tidak cukup.”
“Sebagian besar kawasan terdiri dari hutan dan perbukitan. Lingkungan setempat dirusak oleh orang-orang ini, pohon-pohon dan kawasan perbukitan rusak dan oleh karenanya lingkungan kami tercemar."
